24 Aug 2010

Ramadhan di Dolly



Cerah. Pagi ini berseri. Lewat buaian semangat pagi, saya memulai hari ini dengan model puasa minus. Ku awali jengkal waktu hari ini dengan aksi bungkam mulut. Di tengah krisis energi yang sudah merajalela, saya pun harus turut hemat energi. Terlebih sekarang bulan puasa. Kalau saya berkoar-koar terus, kasihan setiap serangga yang lewat di depan mulut saya. Bisa tewas mengenaskan akibat racun sianida “bau mulut”. Tentu saya tidak mau menambah dosa lewat cara tak berperihewani seperti itu.

Tapi semua itu hanya bualan semata. Hari ini saya sengaja memilih puasa bicara karena mulai bada dzuhur nanti saya harus mengeluarkan segala kemampuan nyerocos saya sampai menjelang tarawih. Ya, hari ini ahad ceria. Waktu bertandang ke kawasan favorit kaum adam, Dolly. Ini bulan puasa, jadi jangan dipikir yang iya-iya. Lho?!. Taman Baca, ini destinasi mingguan saya bersama dengan rekan-rekan senasib sepenanggungan. Mencoba mengukir pahatan artistik batuan cadas di tengah kelamnya lautan lumpur. Walaupun kami sadar tak mampu selihai Michaelangelo, tapi kami senantiasa mau berusaha dan berharap.

Hari ini seperti biasa akan kami semua akan berdiskusi ria sambil belajar dengan adik-adik di Taman Baca. Yang membuat agak special adalah ini merupakan hari perdana ekspansi kawasan binaan akan dilaksanakan. Tepatnya di kawasan TPA yang konon menurut sejarah merupakan kawasan Bandar narkoba terbesar se-Dolly. Plus akan ada buka bersama dadakan. Serba dadakan karena info buka bersama hanya diberitahukan 36 jam sebelum acara. Praktis, menejemen gradakisasi harus diterapkan lagi. Bukan system ngawur namun lebih mencari kecepatan bertindak dan responsibility yang akurat. Cepat tanggap.
*****
Tak banyak omong. Lebih banyak koordinasi saya lakukan lewat sms dengan HP saya yang hobi sekarat. Hindari berbicara atau pun telepon. Hingga kala menginjak dzuhur. Ambil nafas dalam-dalam. Tahan. Enam jam kemudian. Waktu buka telah tiba :). Makaaaannn. Tambah nglantur.

Kembali ke jalan yang lurus. Selepas sholat dzuhur saya awali dengan obrak-obrak teman-teman putra untuk menyiapkan skenario nanti siang sampai malam. Tak terlalu formal, malah terlalu banyak tersenyum bersama (membuat tersenyum=pahala rek). Awalnya total pengajar yang datang ada : ghoni, pramono, erik, surya, heri, fizi, wiwin, mbak tyas, ecca, dwi, mbak asri dan mbak devi. Berkah ramadhan, jadi banyak yang ingin beramal. Soalnya tak jarang saya harus duet dalam menghadapi 20-an anak manusia yang mentolo njitaki siji-siji.

Selepas sholat. Kaki saya melangkah menuju serambi utara manarul ilmi. Setelah saya harapkan beberapa bulan, akhirnya saya mendapatkan jawaban hari itu. Dari seorang mahasiswa ITS yang menghibahkan sebagian dana untuk kegiatan di Taman Baca. Lumayan banyak. Di tengah-tengah krisis keuangan dan ketidakpastian sistem finansial Taman Baca, setidaknya ini nampak seperti hembusan embun pagi di tengah tandusnya gurun Gobi. Mulailah saya mencerocos ria. Tak lama, sekitar sejam saja. Dilanjutkan dengan koordinasi pemberangkat jamaah Tenaga Kerja Ikhlas (TKI) menuju kawasan seberang.

Saya meluncur sendirian menuju taman Bungkul. Sebenarnya ingin boncengan sama teman namun saya  urungkan hobi nebeng saya karena keberadaan mereka di taman baca lebih segera dibutuhkan. Di sana saya hendak menemui seseorang yang akan menghibahkan beberapa minuman susu kemasan untuk buka bersama nanti. Tak banyak cing cong, saya langsung ambil sambil tersenyum dan seutas kalimat terima kasih saya haturkan. Tidak ada imbalan apa-apa karena saya yakin mereka ikhlas dunia akhirat. Terlebih melihat keteguhan hatinya yang telepon saya tengah malam dan mondar-mandir menentukan lokasi ketemuan sambil membawa dua dus  plus satu kresek bersama temannya yang dibonceng.

Saya lanjutkan menuju Taman Baca. Menemani semilir angin yang mengelus tubuh. Pelan sambil melamun. Berharap sesuatu yang menjadi angan masa depan. Tentang Taman Baca. Membentuk asa. Entah mimpi atau bukan. Hampir dua tahun saya di sini. Ada seulas senyum yang ingin saya persembahkan di sini. Sebelum saya lulus nanti. Dan sebelum ruh ini kabur dari raga saya. Walaupun jalan di depan serasa semakin sempit. Semakin runyam. Sepi. Namun saya yakin, ada banyak pelita di samping saya. Keberadaanmu kawan, adalah untaian pelita bagiku. Bagi mereka.

Sampai di Putat Jaya gang 2A. Tak seperti hari-hari biasa, bulan ramadhan juga merambah perubahaan di kawasan sini. Tak ada suara karaoke. Tidak ada pula wisma buka. Ya, tidak ada tantangan berarti di bulan suci ini. Biasanya, aneka jenis menu sajian favorit kaum hidung belang ada di sini semua. Lengkap dengan beberapa tipe dan tarif yang beragam. Namun selama sebulan penuh nanti, hanya akan ada kalimat : DITUTUP, Selama Bulan Ramadhan.

Sampai di depan taman baca. Satu persatu adik-adik menyalami secara bergantian. Jujur saya bahagia melihat setiap senyuman mereka. Walaupun saya sadar, tak bisa mengubah karakternya. Apalagi menjamin masa depannya kelak. Satu hal hal yang masih absurd. Terlebih melihat semangat teman-teman pengajar yang ikhlas untuk berpanas-panas ria menuju ke sini. Tanpa bayaran. Bensin, gunakan uang pribadi. Kalau capek, urusan mereka sendiri. Ikhlas jaya!

Mulai mencerocos lagi. Siapkan nafas dalam-dalam. Hembuskan. Dan siap disemprotkan jutaan kata untuk meladeni empat anak yang serame ibu-ibu arisan. Hingga sampai kata terakhir. Heh, saya kehabisan ide. Tidak ada yang mau belajar lagi. Akhirnya saya justru malah ikut-ikutan maen puzzle. Maklum, masa kecil saya cukup suram. Kurang bahagia. Membangun sebuah model kuda tiruan sembari saya terangkan Sistem Pencernaan manusia. Aneh kan? Saya pakai model kuda tadi untuk menjelaskan perjalanan makanan dari mulut sampai ditampung di dalam rektum. Hingga.

“Kak, tahu kenapa gigi manusia itu kadang bisa bengkak?,” ujar Dhatun.

Pertanyaan berat sekali. Adik satu ini pertanyaannya kritis sekali nan kontekstual. Pernah juga bertanya kanapa orang dipukul itu bisa bengkak? Tiga tahun saya tidak bersentuhan dengan dunia biologi atau pun medis. Apa akan saya jawab memakai analisa integrasi numerik? Teori elastisitas metalurgi? Kesetimbangan momen statis? Atau menggunakan teorema osilasi getaran? Nyerah. Saya tak mampu menjawabnya.

Hingga panggilan itu datang. Saya harus menuju ke Masjid Mujahidin. Mengais sedekah dari lembaga infaq Surabaya. Tepatnya saya bersama Pramono akan mengambil nasi dan air minum untuk. Tancap gas. Diskusi kita cukup singkat, namun ternyata hampir semua pihak dari situ sangat berminat sekali dengan daerah Dolly. Terbukti saat saya membawa kameraman mereka, dia cerita banyak sekali tentang pembinaan anak-anak. Dan waktu buka bersama justru mereka memilih ke taman baca daripada di masjid atau tempat lainnya. Ada empat titik selain taman baca yang menjadapatkan jatah hari itu. Semua disekitar Islamic Center Surabaya.

Di tengah-tengah itu, ekspansi ke TPA juga akan segera dilaunching. Tanpa banyak koordinasi, yang penting aksi. Surya dan Heri yang sedari tadi sudah nampak lumutan menunggu, telah menyiapkan energinya untuk meladeni adik-adik binaan baru. Ditambah dengan faishol, jadilah grup Trio Kwek Kwek. Plus Wiwin dan Fizi. Saya optimis, mereka bisa menghandle daerah situ. Lha anak-anaknya sudah jinak semua:)

Justru keributan terjadi di Taman Baca. Dua puluhan anak tak selaras dengan kuantitasnya. Yang ada justru parade karnaval dalam ruangan 3x3 meter. Sumpek. Sumuk. Dengan hingar bingar suara anak-anak yang tak terkendali. Hingga suasana bisa dikendalikan oleh The Last Ice Blender, Erik Sugiarto. Hehehe. Dengan taktik jitunya dia berhasil membuai adik-adinya dengan rayuan pulau kelapa. Tak berselang lama.

“Ayo mas, ganteni aku, suaraku entek,” Avatar ini sedang kehabisan nafas dengan keringat bercucuran seperti habis berantem. Saya praktis tidak bisa. Karena otak saya sudah jadi dodol. Sedang karatan untuk berimajinasi membuai anak kecil. Juga karena saya tidak akan melepaskan TPA begitu saja.

Adzan maghrib berkumandang. Bukan rasa bahagia yang kali pertama nampak. Jutru keberadaan kita di dalam ruangan sempit itu sukses membuat proses sumukisasi. Panas. Pengap. Di tambah dengan polah adik-adiknya yang tak terkendali. Saling jegal menjegal menjadi satu. Sungkur-sungkuran. Sampai maki-makian. Hanya untuk berebut makanan. Seakan mereka cuek bebek dengan kondisi Bung Ghoni yang tubuhnya basah kuyup oleh keringatnya untuk meladeni tuyul-tuyul tak tahu aturan ini. “Urusanmu dewe boi,” pikirku.

Saat makan telah tiba. Alhamdulillah, adiknya sudah jinak semua. Semua pengajar juga bisa makan bersama. Dengan kedatangan Mbak Menik serta krunya, suasana semakin terkendali. Mungkin jaim soalnya mau difoto. Dan tiba-tiba datanglah guest star hari ini. Seseorang yang beberapa kali nyasar demi ingin berbuka di sini. Pak Kahima bersama menteri serta ajudannya. Mas Hanif Azhar aka niv, jeng jeng jeng. (sambil diiringi orkesta Erwin Gutawa). Eh ternyata mereka hanya mencari takjil di sini.  Hehe, bener nggak niv?

Kembali saya harus melangkah. Menuju TPA lagi. Mengantarkan Mbak Menik menemui Mbak Asri. Tadi sore diisi oleh pengajian sama mbak-mbaknya. Saat itu, kondisi sudah senyap. Pertanda keadaannya terkendali. Namun yang ada malah teman-teman pengajar ikhwan yang sedang makan. Tampangnya, mirip korban penggusuran PKL. Walaupun perut keroncongan, namun mereka bisa diajak bercanda.

Kembali ke taman baca lagi. Apa yang saya lihat kawan? Teman-teman pengajar akhwat TPA sedang makan di sini! Astaghfirullah, saat ikhwannya sudah bisa bersendawa ria, eh malah akhwatnya belum dikasih sebutir nasi pun. Maaf rek.

Sambil menunggu kru ekspedisi Dolly yang sedang sholat maghrib. Saya sempatkan untuk mengobrol singkat dengan Pak kartono. Tapi ternyata otak saya sedang payah. Hingga rombongan kita full team. Jangan sampai ada yang tercecer sebiji pun. Bisa fatal akibatnya meninggal seorang di sini. Dan saatnya menuju ke manarul Hari ini penceramahnya adalah Pak Nuh, setahun sekali boi. “Dari Dolly menuju Pak Nuh”. Agaknya ini judul yang pas dari saya.

Dengan teknik menyetir ala anak kampungan Surabaya, saya berhasil menuju Manarul tepat Sholat Isya dimulai. Hanya telat serakaat saja. Saya tidak akan membahas resume ceramahnya. Karena justru yang saya rasakan malah keganjilan dalam diri saya sendiri. Memasuki rakaat ke-4 Tarawih, tubuh saya tiba-tiba bergetar. Tangan saya gemetar. Pikiran berputar. Perut saya ngilu. Perih.

“Ya Allah, saya belum berbuka,” jawabku yang membuat sholat saya makin tidak bisa khusyu’. Yang lebih parah. Selepas sholat witir, saat saya bersemangat menuju warung.

“Ya Allah, kuciku sepeda motorku ilang”

Astaghfirullah. Namun saya kembali tersenyum saat melihat Pak Nuh memberikan tanda tangan kepada anak kecil sebelum meladeni para petinggi ITS lainnya. Apa maknanya kawan?

2 comments:

deadyrizky said...

ini yang mengkoordinir siapa ya?
JMMI?
top dah!

hudahoe said...

Bukan lah...
Ini program swadaya mahasiswa. Jadi yang mengkoordinasikan ya mahasiswa kumpulan ITS, Uniar sama IAIN. Ini sudah ekspansi di dua tempat di Dolly, rencana sudah ada beberapa titik di kawasan situ yang membutuhkan goresan tangan dari mahasiswa. Wanna joint with us?
(koyoke ora mungkin)

Post a Comment