28 Nov 2011

Lifespan Development


Hidup itu seperti rutinitas untuk mengisi dunia di antara dua hal saja: hidup sampai mati. Titik. Tinggal bagaimana warna hidup itu bisa membingkai masa sempit di dunia ini menjadi hal yang menarik, dan tentunya bukan sekedar satu warna rutinitas yang monoton.

Seperti pagi ini, mungkin sudah menjadi takdir saya yang harus seperti ini. Toh, saya sebenarnya juga tidak terlalu mengeluh dengan nasib ini. Agenda setiap minggu saya adalah membersihkan seluruh rumah seorang diri. Mirip pembantu rumah tangga, hanya saya punya shift wajib hari minggu. Mulai dari menyapu, ngepel, cuci piring, sampai ngatur-ngatur barang yang sangat berantakan –karena tidak pernah dirapikan selama sepekan. Hitung-hitung olahraga pagi, mengingat rumah ini lumayan melebar. Berseni bukan?

Kedua, saya ke pasar. Sudah menjadi hal biasa bagi saya, berbelanja sayuran atau lauk mentah untuk keperluan masak. Hari ini: kangkung, lombok abang, pencit dan ikan pindang. Sisanya masih ada stok di kulkas, begitu kata juru masak rumah ini alias tante saya. Oke, budhal bareng adik.

Semua bahan sudah didapatkan, minus pencit. Dan ternyata, mencari sebiji pencit saya harus thowaf ke seluruh penjual sayuran se-pasar. Waktu hampir setengah jam habis dengan tangan hampa. Tidak ada pencit, adanya pencit mateng alias mangga. Jam sudah merembet setengah delapan. Padahal jam delapan harus ke kampus, ada janjian Closing OJT jeh!

Sampai rumah, saya masih harus mencari sebiji pencit di warung sayur belakang kampung ini. Hasilnya pun masih nihil. Nasib, batinku. Ya sudahlah, akhirnya pencit pun harus dicari Om ku ke rumah kenalannya, hehe.

“Nyambel nggak ono pencite nggak enak,” kata tanteku.

Tak piker digawe sayur asem, padahal saya sudah berpikir untuk diganti dengan buah asam atau buah belimbing wuluh. Jam delapan kurang seperempat. Sudah pasti telat, tidak bisa ke kampus segera. Akhirnya saya hubungi ukhti Lutfia untuk handle pagi ini. Lagian, saya pun masih harus bantu di dapur, adoooh hari minggu adalah hari menjadi ibu rumah tangga bagi saya, haha.

Tepat jam setengah sembilan saya baru bisa berangkat. Saya hanya mandi dang anti baju saja. Walaupun nasi sudah matang plus lauk ala kadarnya sudah tersedia, saya tidak mungkin menyempatkan sarapan pagi ini. Ingat, sarapan di rumah membutuhkan waktu 15 menit: 5-7 menit untuk maka, sisanya saya harus mencuci piring segunung Krakatau. Mending saya kabur, haha.

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Tapi menjelang berangkat saya sudah mendapat kabar tidak mengenakkan, para OJT sudah datang tapi tidak ada satu pun kru yang ada di kantor. Inilah mungkin saat-saat dilematis jika anda menjadi pemimpin. Jika anda mengoarkan untuk melakukan A kepada anggota, sementara anda sendiri tidak bisa melakukannya, itu seperti boomerang 700 ton yang tiba-tiba menyambar anda dari belakang. Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa, tidak ada satu pun anggota anda yang melakukannya. Benar-benar menyakitkan! Suer!

Saya merasakan itu berkali-kali. Tapi berkali-kali itu pun tidak mampu mereduksi rasa bersalah saya, serta beban moral saya di kemudian hari. Itu justru menjadi beban akumulatif yang seperti sengaja bersemayam maniez di dalam benak saya. Walaupun, ketidakbisaan saya untuk melakukan hal yang saya utarakan itu bukan karena rencana saya, bukan keinginan saya, dan di luar kendali saya. Tapi siapa peduli dengan alasan saya? Sepertinya saya perlu menjadi manusia setengah dewa untuk mengatasi hal ini. Mustahil.

Jika hal itu adalah hal yang masuk kategori menyakitkan, hal yang lebih menyakitkan adalah seperti ini: saya ngomong A untuk ditaati anggota. Semua anggota bilang “iya”, tapi sementara saya tidak bisa melakukannya karena alasan yang tidak bisa dikendalikan tadi, pasti ada yang nyeteluk “ngapain harus A, yang ngomong saja juga nggak nglakuin”.

Tapi ketika saya ngomong A, semua sepakat A. Dan saya saja yang melakukannya, dengan wajah belepotan dan jamuran, tapi tidak ada satu pun yang mau ambil peduli dengan kebelepotan saya. “Itu kan kewajiban pemimpin memberi contoh, kita kan anggota, berbuat salah tidak apa-apa”. Repot kan?

Berkali-kali saya dihadapkan pada kenyataan ini, serba merepotkan. Jika saya mau dan diijinkan memilih sesuai kehendak saya pribadi, mending saya memecat diri saya jauh sebelum menjadi pemimpin. Repot! Suer deh!

Tapi kenapa saya memilih untuk bertahan? Ini jawabannya juga jauh lebih repot.

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Sama repotnya dengan rapat siang ini. Mirip konpres artis. Siapa ngefans artis itu, bakalan lihat konpres sambil mengebu-gebu, atau bahkan sambil bawa baskom untuk tempat ilernya. Bagi yang tidak ngefans, pasti tidak datang. Mau diobrak ribuan kali pun, tidak akan datang. Bagi yang agak ngefans, ya cuman datang dengan membawa segudang aktivitasnya dia. Maksudnya, ia merasa hanya perlu datang saja disambi aktivitasnya yang jauh lebih penting.

Iklim seperti ini seperti asam sulfat bagi saya, pekat sekali. Bahkan lebih pekat daripada oli knalpot yang sudah terkorosi. Mau dipilah susahnya minta ampun. Mau dibiarkan, lama kelamaan menggerogoti sistem yang sudah ada. Mau dibuang, banyak yang bilang sayang. Padahal saya sih oke-oke saja kalau mau asal buang.

Auuu ahh, gelap. Mending bicaraain hasil rapatnya saja ya. Kita rapat seperti debat politisi, panaass. Apalagi Surabaya sudah tiga hari tidak hujan, semakin panas lagi karena tidak ada pengganjal mulut siang ini. Mentok. Kita dikalahkan dengan buntunya ide dan minimnya kepala yang mau berpikir, mungkin.

Sholat dzuhur. Akhirnya kita dapat pencerahan, rapat selesai dengan keputusan yang sama dengan keputusan awal. Lha terus, ngapain dari tadi kita berdebat? Aneh  ya manusia itu, saya juga lebih aneh. Atau memang tipikal manusia sepeti itu? Sudahlah, toh debatnya juga tidak main sikut, paling banter cuman gebrak kursi, meja dan memegang pisau di atas meja itu saja. Tidak lebih.

Para OJT'er :)


Jam satu siang. Saya (lagi-lagi) sudah telat. Rencana saya dari dua hari yang lalu gagal. Saya harus ke Taman Baca jam 1 siang karena ada program yang harus saya jalankan bersama teman-teman pengajar lainnya. Konsep sudah siap, jobdesk juga sudah beres. Hanya tinggal menunggu eksekusi, tapi realitas berkata lain. Kita banyak yang gagal memenuhi rencana kemarin.

Saya sendiri telat karena rapat tadi yang cukup molor. Pengajar lain maunya bareng saya. Satunya lagi tidak ada kendaraan, dan yang terakhir masih sevis sepeda motor bututnya sejak jam delapan pagi hingga jam 1 siang ini. Padahal saya sendiri juga harus makan dulu, sejak tadi pagi saya belum sarapan guys! Sementara perut saya –sebenarnya harus diisi dua biji obat, tiga kali dalam sehari. Akhirnya saya menawar fisik saya, “dua kali saja ya”. Sambil tak lupa dikasih emotion :-). Akhirnya perut saya (terpaksa) mengangguk setuju.

¬¬¬¬¬¬¬¬

Di gang Dolly. Saya tidak berharap kenyataan di depan saya ini benar-benar nyata. Tapi inilah realitas yang tidak sesuai harapan saya ini. Wisma di sini, semakin tahun semakin menjamur, mengikuti regresi linier dengan gradien positif pertumbuhan jamur di musim penghujan. Yah, walaupun di Surabaya agak susah ditemukan jamurnya, hehe.

Tapi setidaknya, saya juga terhibur dengan kondisi Taman Baca yang semakin berwarna dan ramai. Ada sebelas anak hari ini, dengan tujuh pengajar. Banyak sekali ya? Hiperbolis sering harus dipakai untuk memompa motivasi diri, dari pada pesimistif.

Hari ini diagendakan untuk Lomba Ranking 1 ala Taman Baca. Mirip di tipi-tipi gitu sistemnya. Hanya untuk mengondisikan pesertanya saja yang sangat amat butuh perjuangan empat lima sampai dua ribu sebelas. Bagikan pulpen, kroyokan. Bagi kertas, tawuran. Suruh nulis nama, berantem. Aba-aba dimulai pun harus diucapkan empat kali dengan empat mulut pengajar yang berbeda. Subhanallah yah, sesuatu banged.

Toh, akhirnya semua bisa dimulai.

Melihat pertanyaan pertama, dahi saya langsung berkerut. Kalau semua pertanyaannya kayak gini, dan sistemnya menggunakan sistem gugur, salah langsung mundur, dari pertanyaan pertama saja pasti sudah rontok semua! Alamaak, ini yang membuat soal kayaknya masih galau dengan Tugas Akhir. Atau? Entahlah.

Soal diganti: Ibu kota provinsi Jawa Barat adalah?

Diam. Rame. Berisik. Tidak ada satu pun yang menjawab atau pun sekedar keceplosan jawaban sebenarnya. Pengajar hanya geleng-geleng jempol kaki.

“Kak, dikasih ABC-an, pertanyaannya susah,” Catur memelas.

Pengajar saling berpandangan. “Oke, A bla...B blaa..C blaaa..”

Sudah dikasih jawaban ABC-an pun, masih ada yang menjawab “SURABAYA”. Alamaakkkk...

Edisi koplak selanjutnya: “Persatuan Indonesia itu sila keberapa dalam Pancasila?”

Riuhh. Banyak yang tahu. Tapi ada juga yang tidak tahu. “Keenam Kak!”

Hah? Pengajar melongo lagi.

“Ya bener, pancasila itu ada yang keenam,” Bagas memancing ikan bermasalah di tambak ikan yang tercemar permasalahan.

“Kok bisa dik?” tanya pengajar, karena si anak sudah kelas 2 SD, masak sudah amnesia Pancasila seperti Mahasiswa?

“Yang keenam itu sila untuk Catur! Nanti aku buat sendiri”

Adoh, ini yang terlihat paling goblok adalah saya. Mengapa saya bisa tertawa dengan kebodohan yang disengaja untuk mengetes kebodohan kita? Fiiuhh.

Lanjooott: “Indonesia merdeka tahun, bulan dan tanggal berapa?”

Tiga menit berselang. “Ayo, angkat jawabannya semuanya”

Apa? Ada yang menjawab 2007, maksud loe?

Ini yang paling parah: “ 28 Oktober 2010”

Nah lho, maksudnya apa dengan jawaban itu? Kayaknya itu tanggal kelahiran adiknya dia.

Mengelus dada. Diam. Dan mringis (saya mringis apa mrongos ya?)

Pas soal eksperimen. Kita sediakan air dan oli, mau kita campurkan. Pertanyaannya: mana yang akan berada di bagian atas: air, oli atau tercampur mirip es marimas.

Itu juga ada yang jawab es marimas. “Kan enak,” alasannya polos. Ya ampuuun.

Sepertinya, lomba ranking 1 ini justru menjadi ajang untuk mencari siapa yang paling koplak diantara semuanya.  Hitung-hitung hiburan.

Kebetulan pas anteng :)

¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Waktunya sholat ashar.

“Ayo dik sholaattt..” saya sudah nguber-nguber mirip ngejar maling di pelataran lokalisasi. Semua adik-adiknya mayoritas pasti akan kabur kalau diajak sholat, apalagi yang laki-laki, bandelnya seperti saya dulu (pengakuan dosa, haha).

“Nggak mau kak...” untaian itu sudah menjadi jawaban klasik seperti janji politis waktu musim kampanye. Tanpa bukti, tanpa alasan mengapa, dan tanpa boleh ada sanggahan.

“Oke..siapa yang ikut sholat, nanti kakak belikan jajan, siapa yang mau ikut?”

GRRRUUUDUUUKK.. saya disruduk banteng, tiba-tiba mereka semua bergairan seperti mendapatkan harta karun berupa mobil berlapis emas plus tanda tangannya Limbad pula (nyambung nggak sihhh?). Mereka mendadak menjadi anak maniez yang baeegh hati, suka menolong, suka menabung dan jujur apa adanya.

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Di masjid. Sesaat sebelum takbir pertama.

“Ka, jangan lupa jajannya ya,” Wisnu menagih hutang yang sudah limabelas abad belum dilunasi. Bahkan waktu mau sholat saja masih diingatkan. Sepertinya saya salah, yang telah memberikan disorientasi alasan mengapa dia harus sholat. Tak apalah, untuk pembelajaran, kilahku mengada-ada.

Salam, sholat selesai. Sedetik kemudian.

“Kak, jangan lupa janjinya ya, jajannnn”

Ya Allah, ampunilah dosaku.

¬¬¬¬¬¬¬¬¬

Habis jajan selesai.  Mereka ternyata lebih jinak lho. Bisa diajari ngaji semua. Bahkan yang mengharukan, ada anak namanya Fifin yang minta diajari ngaji sama saya. Awalnya, ia memandangi saya pelan sedari tadi. Awalnya saya mengira, dia tidak mau mengaji, karena saya masih menyimak temannya yang lain. Ada tiga orang yang saya simak. Dan ternyata dia antre untuk minta saya ajari. Subhanallah, saya terharu hari ini. Ia menunggui saya.

“Sudah sampai mana dik?” tanyaku pelan.

“Belum kak”

“Belum ngaji maksudnya?”

“iya,” ia tersipu malu.

“Oh gitu, habis ini ngajinya yang rutin ya,”

“Ya Ka” jawabnya dengan wajah tembebnya yang chubby amat.

“Ayo, dibuka halaman pertama”

Ya, dia belum ngaji sama sekali. Saya pun mengajari mulai dari Iqro’ pertama bagian alif-ba.

“Ini yang mirip orang berdiri, bacanya A, kalau yang mirip perahu terus dibawahnya ada titik, bacanya Ba”

Sederhana bukan kawan? Tapi saya sungguh terenyuh karena semangat dan perhatiannya padaku. Subhanallah!

“Setelah ini, ngajinya harus rajin ya. Setiap hari harus ngaji”

“Iya Ka,” ujarnya bersama lekukan lesung pipinya. Subhanallah yah?

¬¬¬¬¬¬¬

Jam sudah menunjukkan setengah lima lewat sedikit. Saya harus pamitan. Tapiii...Baunyaaaaa....

Bau durian sodara! Saya nggak doyan buah satu ini! Baunya sukses membuat kepala saya berpesta pora, mengikuti alunan karaoke wisma depan sana. Ternyata, istrinya Pak Kartono sedang berpesta durian. Beliau membawa banyak durian dari desa. Saya ditawari, tapi melihat saja sudah membuat saya mau pingsan. Ditambah, Satria juga ternyata nggak doyan, hehe. Kayaknya kita memang jodoh, haha. Dan kita pun pamitan pulang.

Sekilas, Negara sekuler bernama Dolly ini bisa saya amati dari Taman Baca sampai tempat parkir di ujung gang. Ada orang jualan kelontong berteriak keras mencoba mengalahkan suara karaoke, ada ibu rumah tangga menyapu halaman, ada orang bahu membahu mengangkat setumpuk bir, ada perempuan muda mulai bersolek, ada pengunjung sedang berkaraoke bebas tak tahu (suara) diri, anak kecil dua tahun yang ikutan joged mengimbagi suara karoke wisma di depan rumahnya, dua orang laki-laki paruh baya yang cangkrungan menyemburkan asap rokoknya, dan suara malaikat kecil di ujung Taman Baca yang semakin mengecil. Apakah kehadiran saya di sini berarti bagi mereka?

¬¬¬¬¬¬

Dari Ngagel, kediaman Satria, saya harus kembali ke kampus. Ke kantor lagi, sejenak.
Sepi, tak berpenghuni. Saya harus mendinginkan kepala terlebih dahulu, dan mengistirahatkan energi sejenak. Saya capek. Capek kepanasan. Capek di jalan. Sudah tahu Surabaya panas, sudah tahu kulit hitam mirim sawo busuk, tapi tetap saja ngotot pakai jaket hitam pula. Heat transfer memuncak, lengkap!

Ba’da sholat maghrib, saya menuju kawasan Tenggilis untuk memenuhi panggilan ngelesi rutin. Anak didik saya ini namanya Adin, anak SMAN 1 Surabaya, anak Band (penggebuk drum) dan gaul abies deh. Kata Mbak Tyas, lewat pandangan pertama dengan dia, pasti seorang cewek sukses dibuat klepek-klepek di tempat, haha.

Dan seperti biasa, entah mengapa jatah telinga saya seperti berjumlah dua ribu sebelas ya? Setiap, dan pasti setiap sebelum mulai les, ibunya selalu curhat ke saya. Curhatnya memang diawali dengan perkembangan akademik anaknya, tapi ujungnya pasti tidak berujung, ngalor ngidul. Curhat sembarang hal. Seperti hari ini.

Beliau curhat kisah dan kronologis bagaimana BB-nya hilang. Lengkap, detail sekali dari tokoh utama, figuran, alur, klimaks dan sisi dramanya. Juga kisah beberapa keponakannya, juga suaminya, juga anaknya yang sulung, juga restoran favoritnya, bla..bla..

“Padahal saya itu biasanya yang selalu bilang ke keluarga: hapenya jangan sampai lupa, eh saya yang justru kehilangan,” saya pun manggut-manggut seperti saat melayani ‘klien’ curahatan saya, seperti  biasanya. Sesekali juga berujar menanggapi, terkadang (justru) ngasih wejangan juga. Aampuuun.

Nah, pada bagian ini, tiba-tiba saya teringat dengan sesi wawancara dengan OJT bernama Kenan Sihombing, salah satu OJT’er ITS Online. Seharusnya saya yang diwawancarai, tapi ehh...saya ternyata harus menjadi pendengar curhatannya dia, satu setengah jam, haha. Atau memang saya yang terlampau hiperaktif untuk mengetahui kisah dan rahasia orang lain? Atau saya memang mending menjadi psikolog dari pada engineer –seperti kata teman saya? Haha.

Setengah jam, sesi curhat selesai. Les baru dimulai. Saya mengajari tentang tata nama kimia dan reaksi kimia sederhana. Pelan-pelan, hingga satu setengah jam usai. Gara-gara hal seperti ini, bisa hafal di luar kepala untuk semua materi Mafia dari kelas 1 sampai kelas 3. Bahkan (bukan pamer, hanya sedikit congkak), saya pun pernah ngelesi anak SNMPTN yang akhirnya tembus FK Unair!

Sudah mau pulang, tapi disediakan sepiring Tahu Tekk (eling Himatekk, haha). Sambil makan, saya kembali menjadi pendengar. Dia bertanya tentang semua hal yang berbau dengan keprofesian, terkait jurusan yang harus dia ambil IPA atau IPS. Dan saya pun mendengarkan lagi, dan mencerocos terus. Padahal tahu tekk ini pedas sangat, sementara saya juga masih sariawan akut. Bibir saya mirip digandoli gajah kebakaran, berat dan panas!

“Kalau memang kamu punya keinginan masuk IPA, kamu setidaknya harus bisa memilih bahwa dua tahun lagi kamu juga harus memilih jurusan kuliah dan profesi yang berhubungan dengan IPA. Jangan sampai ilmu IPA selama dua tahunmu percuma karena kamu mengambil jurusan sosial. Banyak contoh kasusnya,” saya bijak sekali ya? Haha. #norak

¬¬¬¬¬¬¬¬

Hujan sudah reda. Surabaya malam sudah tidak terlampau sumuk. Saya masih harus melaju tiga puluhan kilometer di ujung barat sana. Santai saja. Walaupun pikiran saya dipenuhi banyak pikiran. Termasuk pikiran kasus dari tadi sore, dari sumber masalah hidup saya, Hape. Kasus kok terus-terusan. Sabar hoe :-)

Di rumah, semua sudah terlelap. Niat hati mau langsung chatting dengan seseorang yang sudah buat janji dari kemarin, tapi pulsa modem belum dikirim juga, apes. Bengong, akhirnya saya bersihkan kamar mandi yang kotor sekali. Aneh kan? Saya bersihkan kamar mandi sekitar jam sebelas tadi, haha.

Ini sambil ngetik curhatan sehari, dengan harapan saya punya kenangan di masa depan tentang perjalanan hari ini. Simple sih, hanya saja bagi saya setiap hari adalah spesial. Tidak akan kita temui satu pun hari yang sama dalam putaran waktu dunia. Toh, daripada olahan data T(u)A saya juga masih stagnan untuk sementara ini. Eh, hari ini saya menempuh perjalanan 96 kilometer! Ini bukan rekor sih.

Eits, tugas riset penelitian saya bersama teman-teman koplak saya yang lain belum selesai! Tapi otak saya sudah buntu, besok saja gan. Ane mau bobo dulu, have a nice dream.

Tengah Malam, 28 Nov

6 comments:

Arinda said...

Sampeyan rajin nyatet agenda sehari-hari ya mas.. sebuah curhatan yang sistematis. kalau dikumpulin bisa jadi novel sekelas fiksi,,
salut sama konsistensi nulisnya
:D

hudahoe said...

Wah, makasih sudah berkunjung :)
sebenarnya lbih ke arah bercerita, hanya sy itu orngnya males cerita ke orng lain, lbh enak klo sy tuliskan. Siapa yg mau baca ya silahkan, klo g juga tdk mengharap.
Novel? Nggak bangeeettss, haha

ayo nulis Rin, nulis buku :)

An said...

nulis buku pingin juga sih. but, itu tantangan yang beraaat. pasalnya saya ndak tau mau bkin buku macam apa pula.

padahal kalau mau profit oriented, ada ekspektasi hasil jualan buku bisa buat tambahan "sangu" LJ. hehe

walaupun jelas bukan "profit" yang jadi orientasi/landasan utama para penulis buku (seperti panjenengan)

ayo mas, bagi-bagi ilmunya nulis buku :D

hudahoe said...

Buat buku? Paling gampang itu buat buku rame2, jadi atau tdk jadi biar bisa ditanggung rame-rame pula. Bisa juga Pedekate dg penulis yg sudah beberapa kali nerbitin buku (ini metode sy, tepe2 ke Mas Rifai dan Satria, hehe)

menulislah apa yg ada terdekat dg kalian, begitu tukang wejangan berkata.

Marsha Alviani said...

mas hud emg cocok jd psikiater galauers ya mas. cocok bgt. padahal awalnya saya msh gak percaya lho mas (walaupun udh sering dibicarakan dirapat).keren. :D

hudahoe said...

Hahaha...Oh ya? Klo gitu, saya buka klinik konsultasi saja ya? Tarif diskon 15% khusus penghuni lantai 6 deh, hehe..

Saya akhirnya sepakat dg diri saya sndiri, bahwa bakat konseling curhatan yg sy punyai itu sy anggap sbgai ladang kebaikan. Bukankah mendengarkan curhat orng galau dan memberikan sedikit "wejangan" itu amal? hehe..

Post a Comment