Hidup itu seperti rutinitas untuk mengisi dunia di antara
dua hal saja: hidup sampai mati. Titik. Tinggal bagaimana warna hidup itu bisa
membingkai masa sempit di dunia ini menjadi hal yang menarik, dan tentunya
bukan sekedar satu warna rutinitas yang monoton.
Seperti pagi ini, mungkin sudah menjadi takdir saya yang
harus seperti ini. Toh, saya sebenarnya juga tidak terlalu mengeluh dengan
nasib ini. Agenda setiap minggu saya adalah membersihkan seluruh rumah seorang
diri. Mirip pembantu rumah tangga, hanya saya punya shift wajib hari minggu.
Mulai dari menyapu, ngepel, cuci piring, sampai ngatur-ngatur barang yang
sangat berantakan –karena tidak pernah dirapikan selama sepekan. Hitung-hitung
olahraga pagi, mengingat rumah ini lumayan melebar. Berseni bukan?
Kedua, saya ke pasar. Sudah menjadi hal biasa bagi saya,
berbelanja sayuran atau lauk mentah untuk keperluan masak. Hari ini: kangkung,
lombok abang, pencit dan ikan pindang. Sisanya masih ada stok di kulkas, begitu
kata juru masak rumah ini alias tante saya. Oke, budhal bareng adik.
Semua bahan sudah didapatkan, minus pencit. Dan ternyata,
mencari sebiji pencit saya harus thowaf ke seluruh penjual sayuran se-pasar.
Waktu hampir setengah jam habis dengan tangan hampa. Tidak ada pencit, adanya
pencit mateng alias mangga. Jam sudah merembet setengah delapan. Padahal jam
delapan harus ke kampus, ada janjian Closing OJT jeh!
Sampai rumah, saya masih harus mencari sebiji pencit di
warung sayur belakang kampung ini. Hasilnya pun masih nihil. Nasib, batinku. Ya
sudahlah, akhirnya pencit pun harus dicari Om ku ke rumah kenalannya, hehe.
“Nyambel nggak ono pencite nggak enak,” kata tanteku.
Tak piker digawe sayur asem, padahal saya sudah berpikir
untuk diganti dengan buah asam atau buah belimbing wuluh. Jam delapan kurang
seperempat. Sudah pasti telat, tidak bisa ke kampus segera. Akhirnya saya
hubungi ukhti Lutfia untuk handle pagi ini. Lagian, saya pun masih harus bantu
di dapur, adoooh hari minggu adalah hari menjadi ibu rumah tangga bagi saya,
haha.
Tepat jam setengah sembilan saya baru bisa berangkat. Saya
hanya mandi dang anti baju saja. Walaupun nasi sudah matang plus lauk ala
kadarnya sudah tersedia, saya tidak mungkin menyempatkan sarapan pagi ini.
Ingat, sarapan di rumah membutuhkan waktu 15 menit: 5-7 menit untuk maka,
sisanya saya harus mencuci piring segunung Krakatau. Mending saya kabur, haha.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Tapi menjelang berangkat saya sudah mendapat kabar tidak
mengenakkan, para OJT sudah datang tapi tidak ada satu pun kru yang ada di
kantor. Inilah mungkin saat-saat dilematis jika anda menjadi pemimpin. Jika
anda mengoarkan untuk melakukan A kepada anggota, sementara anda sendiri tidak
bisa melakukannya, itu seperti boomerang 700 ton yang tiba-tiba menyambar anda
dari belakang. Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa, tidak ada satu pun
anggota anda yang melakukannya. Benar-benar menyakitkan! Suer!
Saya merasakan itu berkali-kali. Tapi berkali-kali itu pun
tidak mampu mereduksi rasa bersalah saya, serta beban moral saya di kemudian
hari. Itu justru menjadi beban akumulatif yang seperti sengaja bersemayam
maniez di dalam benak saya. Walaupun, ketidakbisaan saya untuk melakukan hal
yang saya utarakan itu bukan karena rencana saya, bukan keinginan saya, dan di
luar kendali saya. Tapi siapa peduli dengan alasan saya? Sepertinya saya perlu
menjadi manusia setengah dewa untuk mengatasi hal ini. Mustahil.
Jika hal itu adalah hal yang masuk kategori menyakitkan, hal
yang lebih menyakitkan adalah seperti ini: saya ngomong A untuk ditaati anggota.
Semua anggota bilang “iya”, tapi sementara saya tidak bisa melakukannya karena
alasan yang tidak bisa dikendalikan tadi, pasti ada yang nyeteluk “ngapain
harus A, yang ngomong saja juga nggak nglakuin”.
Tapi ketika saya ngomong A, semua sepakat A. Dan saya saja
yang melakukannya, dengan wajah belepotan dan jamuran, tapi tidak ada satu pun
yang mau ambil peduli dengan kebelepotan saya. “Itu kan kewajiban pemimpin
memberi contoh, kita kan anggota, berbuat salah tidak apa-apa”. Repot kan?
Berkali-kali saya dihadapkan pada kenyataan ini, serba
merepotkan. Jika saya mau dan diijinkan memilih sesuai kehendak saya pribadi,
mending saya memecat diri saya jauh sebelum menjadi pemimpin. Repot! Suer deh!
Tapi kenapa saya memilih untuk bertahan? Ini jawabannya juga
jauh lebih repot.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Sama repotnya dengan rapat siang ini. Mirip konpres artis.
Siapa ngefans artis itu, bakalan lihat konpres sambil mengebu-gebu, atau bahkan
sambil bawa baskom untuk tempat ilernya. Bagi yang tidak ngefans, pasti tidak
datang. Mau diobrak ribuan kali pun, tidak akan datang. Bagi yang agak ngefans,
ya cuman datang dengan membawa segudang aktivitasnya dia. Maksudnya, ia merasa hanya
perlu datang saja disambi aktivitasnya yang jauh lebih penting.
Iklim seperti ini seperti asam sulfat bagi saya, pekat
sekali. Bahkan lebih pekat daripada oli knalpot yang sudah terkorosi. Mau
dipilah susahnya minta ampun. Mau dibiarkan, lama kelamaan menggerogoti sistem
yang sudah ada. Mau dibuang, banyak yang bilang sayang. Padahal saya sih
oke-oke saja kalau mau asal buang.
Auuu ahh, gelap. Mending bicaraain hasil rapatnya saja ya.
Kita rapat seperti debat politisi, panaass. Apalagi Surabaya sudah tiga hari
tidak hujan, semakin panas lagi karena tidak ada pengganjal mulut siang ini.
Mentok. Kita dikalahkan dengan buntunya ide dan minimnya kepala yang mau
berpikir, mungkin.
Sholat dzuhur. Akhirnya kita dapat pencerahan, rapat selesai
dengan keputusan yang sama dengan keputusan awal. Lha terus, ngapain dari tadi
kita berdebat? Aneh ya manusia itu, saya
juga lebih aneh. Atau memang tipikal manusia sepeti itu? Sudahlah, toh debatnya
juga tidak main sikut, paling banter cuman gebrak kursi, meja dan memegang
pisau di atas meja itu saja. Tidak lebih.
Para OJT'er :)
Jam satu siang. Saya (lagi-lagi) sudah telat. Rencana saya
dari dua hari yang lalu gagal. Saya harus ke Taman Baca jam 1 siang karena ada
program yang harus saya jalankan bersama teman-teman pengajar lainnya. Konsep
sudah siap, jobdesk juga sudah beres. Hanya tinggal menunggu eksekusi, tapi
realitas berkata lain. Kita banyak yang gagal memenuhi rencana kemarin.
Saya sendiri telat karena rapat tadi yang cukup molor. Pengajar
lain maunya bareng saya. Satunya lagi tidak ada kendaraan, dan yang terakhir
masih sevis sepeda motor bututnya sejak jam delapan pagi hingga jam 1 siang
ini. Padahal saya sendiri juga harus makan dulu, sejak tadi pagi saya belum
sarapan guys! Sementara perut saya –sebenarnya harus diisi dua biji obat, tiga
kali dalam sehari. Akhirnya saya menawar fisik saya, “dua kali saja ya”. Sambil
tak lupa dikasih emotion :-). Akhirnya perut saya (terpaksa) mengangguk setuju.
¬¬¬¬¬¬¬¬
Di gang Dolly. Saya tidak berharap kenyataan di depan saya
ini benar-benar nyata. Tapi inilah realitas yang tidak sesuai harapan saya ini.
Wisma di sini, semakin tahun semakin menjamur, mengikuti regresi linier dengan
gradien positif pertumbuhan jamur di musim penghujan. Yah, walaupun di Surabaya
agak susah ditemukan jamurnya, hehe.
Tapi setidaknya, saya juga terhibur dengan kondisi Taman
Baca yang semakin berwarna dan ramai. Ada sebelas anak hari ini, dengan tujuh
pengajar. Banyak sekali ya? Hiperbolis sering harus dipakai untuk memompa
motivasi diri, dari pada pesimistif.
Hari ini diagendakan untuk Lomba Ranking 1 ala Taman Baca.
Mirip di tipi-tipi gitu sistemnya. Hanya untuk mengondisikan pesertanya saja
yang sangat amat butuh perjuangan empat lima sampai dua ribu sebelas. Bagikan
pulpen, kroyokan. Bagi kertas, tawuran. Suruh nulis nama, berantem. Aba-aba
dimulai pun harus diucapkan empat kali dengan empat mulut pengajar yang berbeda.
Subhanallah yah, sesuatu banged.
Toh, akhirnya semua bisa dimulai.
Melihat pertanyaan pertama, dahi saya langsung berkerut.
Kalau semua pertanyaannya kayak gini, dan sistemnya menggunakan sistem gugur,
salah langsung mundur, dari pertanyaan pertama saja pasti sudah rontok semua!
Alamaak, ini yang membuat soal kayaknya masih galau dengan Tugas Akhir. Atau?
Entahlah.
Soal diganti: Ibu kota provinsi Jawa Barat adalah?
Diam. Rame. Berisik. Tidak ada satu pun yang menjawab atau
pun sekedar keceplosan jawaban sebenarnya. Pengajar hanya geleng-geleng jempol
kaki.
“Kak, dikasih ABC-an, pertanyaannya susah,” Catur memelas.
Pengajar saling berpandangan. “Oke, A bla...B blaa..C
blaaa..”
Sudah dikasih jawaban ABC-an pun, masih ada yang menjawab
“SURABAYA”. Alamaakkkk...
Edisi koplak selanjutnya: “Persatuan Indonesia itu sila
keberapa dalam Pancasila?”
Riuhh. Banyak yang tahu. Tapi ada juga yang tidak tahu.
“Keenam Kak!”
Hah? Pengajar melongo lagi.
“Ya bener, pancasila itu ada yang keenam,” Bagas memancing ikan
bermasalah di tambak ikan yang tercemar permasalahan.
“Kok bisa dik?” tanya pengajar, karena si anak sudah kelas 2
SD, masak sudah amnesia Pancasila seperti Mahasiswa?
“Yang keenam itu sila untuk Catur! Nanti aku buat sendiri”
Adoh, ini yang terlihat paling goblok adalah saya. Mengapa
saya bisa tertawa dengan kebodohan yang disengaja untuk mengetes kebodohan kita?
Fiiuhh.
Lanjooott: “Indonesia merdeka tahun, bulan dan tanggal
berapa?”
Tiga menit berselang. “Ayo, angkat jawabannya semuanya”
Apa? Ada yang menjawab 2007, maksud loe?
Ini yang paling parah: “ 28 Oktober 2010”
Nah lho, maksudnya apa dengan jawaban itu? Kayaknya itu
tanggal kelahiran adiknya dia.
Mengelus dada. Diam. Dan mringis (saya mringis apa mrongos
ya?)
Pas soal eksperimen. Kita sediakan air dan oli, mau kita
campurkan. Pertanyaannya: mana yang akan berada di bagian atas: air, oli atau
tercampur mirip es marimas.
Itu juga ada yang jawab es marimas. “Kan enak,” alasannya
polos. Ya ampuuun.
Sepertinya, lomba ranking 1 ini justru menjadi ajang untuk
mencari siapa yang paling koplak diantara semuanya. Hitung-hitung hiburan.
Kebetulan pas anteng :)
¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Waktunya sholat ashar.
“Ayo dik sholaattt..” saya sudah nguber-nguber mirip ngejar
maling di pelataran lokalisasi. Semua adik-adiknya mayoritas pasti akan kabur kalau
diajak sholat, apalagi yang laki-laki, bandelnya seperti saya dulu (pengakuan
dosa, haha).
“Nggak mau kak...” untaian itu sudah menjadi jawaban klasik
seperti janji politis waktu musim kampanye. Tanpa bukti, tanpa alasan mengapa,
dan tanpa boleh ada sanggahan.
“Oke..siapa yang ikut sholat, nanti kakak belikan jajan,
siapa yang mau ikut?”
GRRRUUUDUUUKK.. saya disruduk banteng, tiba-tiba mereka
semua bergairan seperti mendapatkan harta karun berupa mobil berlapis emas plus tanda tangannya Limbad pula (nyambung
nggak sihhh?). Mereka mendadak menjadi anak maniez yang baeegh hati, suka
menolong, suka menabung dan jujur apa adanya.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Di masjid. Sesaat sebelum takbir pertama.
“Ka, jangan lupa jajannya ya,” Wisnu menagih hutang yang
sudah limabelas abad belum dilunasi. Bahkan waktu mau sholat saja masih
diingatkan. Sepertinya saya salah, yang telah memberikan disorientasi alasan
mengapa dia harus sholat. Tak apalah, untuk pembelajaran, kilahku mengada-ada.
Salam, sholat selesai. Sedetik kemudian.
“Kak, jangan lupa janjinya ya, jajannnn”
Ya Allah, ampunilah dosaku.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Habis jajan selesai.
Mereka ternyata lebih jinak lho. Bisa diajari ngaji semua. Bahkan yang
mengharukan, ada anak namanya Fifin yang minta diajari ngaji sama saya.
Awalnya, ia memandangi saya pelan sedari tadi. Awalnya saya mengira, dia tidak
mau mengaji, karena saya masih menyimak temannya yang lain. Ada tiga orang yang
saya simak. Dan ternyata dia antre untuk minta saya ajari. Subhanallah, saya
terharu hari ini. Ia menunggui saya.
“Sudah sampai mana dik?” tanyaku pelan.
“Belum kak”
“Belum ngaji maksudnya?”
“iya,” ia tersipu malu.
“Oh gitu, habis ini ngajinya yang rutin ya,”
“Ya Ka” jawabnya dengan wajah tembebnya yang chubby amat.
“Ayo, dibuka halaman pertama”
Ya, dia belum ngaji sama sekali. Saya pun mengajari mulai
dari Iqro’ pertama bagian alif-ba.
“Ini yang mirip orang berdiri, bacanya A, kalau yang mirip
perahu terus dibawahnya ada titik, bacanya Ba”
Sederhana bukan kawan? Tapi saya sungguh terenyuh karena
semangat dan perhatiannya padaku. Subhanallah!
“Setelah ini, ngajinya harus rajin ya. Setiap hari harus
ngaji”
“Iya Ka,” ujarnya bersama lekukan lesung pipinya.
Subhanallah yah?
¬¬¬¬¬¬¬
Jam sudah menunjukkan setengah lima lewat sedikit. Saya
harus pamitan. Tapiii...Baunyaaaaa....
Bau durian sodara! Saya nggak doyan buah satu ini! Baunya
sukses membuat kepala saya berpesta pora, mengikuti alunan karaoke wisma depan
sana. Ternyata, istrinya Pak Kartono sedang berpesta durian. Beliau membawa
banyak durian dari desa. Saya ditawari, tapi melihat saja sudah membuat saya
mau pingsan. Ditambah, Satria juga ternyata nggak doyan, hehe. Kayaknya kita
memang jodoh, haha. Dan kita pun pamitan pulang.
Sekilas, Negara sekuler bernama Dolly ini bisa saya amati
dari Taman Baca sampai tempat parkir di ujung gang. Ada orang jualan kelontong
berteriak keras mencoba mengalahkan suara karaoke, ada ibu rumah tangga menyapu
halaman, ada orang bahu membahu mengangkat setumpuk bir, ada perempuan muda
mulai bersolek, ada pengunjung sedang berkaraoke bebas tak tahu (suara) diri,
anak kecil dua tahun yang ikutan joged mengimbagi suara karoke wisma di depan
rumahnya, dua orang laki-laki paruh baya yang cangkrungan menyemburkan asap
rokoknya, dan suara malaikat kecil di ujung Taman Baca yang semakin mengecil.
Apakah kehadiran saya di sini berarti bagi mereka?
¬¬¬¬¬¬
Dari Ngagel, kediaman Satria, saya harus kembali ke kampus.
Ke kantor lagi, sejenak.
Sepi, tak berpenghuni. Saya harus mendinginkan kepala
terlebih dahulu, dan mengistirahatkan energi sejenak. Saya capek. Capek
kepanasan. Capek di jalan. Sudah tahu Surabaya panas, sudah tahu kulit hitam
mirim sawo busuk, tapi tetap saja ngotot pakai jaket hitam pula. Heat transfer
memuncak, lengkap!
Ba’da sholat maghrib, saya menuju kawasan Tenggilis untuk
memenuhi panggilan ngelesi rutin. Anak didik saya ini namanya Adin, anak SMAN 1
Surabaya, anak Band (penggebuk drum) dan gaul abies deh. Kata Mbak Tyas, lewat
pandangan pertama dengan dia, pasti seorang cewek sukses dibuat klepek-klepek
di tempat, haha.
Dan seperti biasa, entah mengapa jatah telinga saya seperti
berjumlah dua ribu sebelas ya? Setiap, dan pasti setiap sebelum mulai les,
ibunya selalu curhat ke saya. Curhatnya memang diawali dengan perkembangan
akademik anaknya, tapi ujungnya pasti tidak berujung, ngalor ngidul. Curhat
sembarang hal. Seperti hari ini.
Beliau curhat kisah dan kronologis bagaimana BB-nya hilang.
Lengkap, detail sekali dari tokoh utama, figuran, alur, klimaks dan sisi
dramanya. Juga kisah beberapa keponakannya, juga suaminya, juga anaknya yang
sulung, juga restoran favoritnya, bla..bla..
“Padahal saya itu biasanya yang selalu bilang ke keluarga:
hapenya jangan sampai lupa, eh saya yang justru kehilangan,” saya pun
manggut-manggut seperti saat melayani ‘klien’ curahatan saya, seperti biasanya. Sesekali juga berujar menanggapi,
terkadang (justru) ngasih wejangan juga. Aampuuun.
Nah, pada bagian ini, tiba-tiba saya teringat dengan sesi
wawancara dengan OJT bernama Kenan Sihombing, salah satu OJT’er ITS Online.
Seharusnya saya yang diwawancarai, tapi ehh...saya ternyata harus menjadi
pendengar curhatannya dia, satu setengah jam, haha. Atau memang saya yang
terlampau hiperaktif untuk mengetahui kisah dan rahasia orang lain? Atau saya
memang mending menjadi psikolog dari pada engineer –seperti kata teman saya?
Haha.
Setengah jam, sesi curhat selesai. Les baru dimulai. Saya
mengajari tentang tata nama kimia dan reaksi kimia sederhana. Pelan-pelan,
hingga satu setengah jam usai. Gara-gara hal seperti ini, bisa hafal di luar
kepala untuk semua materi Mafia dari kelas 1 sampai kelas 3. Bahkan (bukan
pamer, hanya sedikit congkak), saya pun pernah ngelesi anak SNMPTN yang
akhirnya tembus FK Unair!
Sudah mau pulang, tapi disediakan sepiring Tahu Tekk (eling
Himatekk, haha). Sambil makan, saya kembali menjadi pendengar. Dia bertanya
tentang semua hal yang berbau dengan keprofesian, terkait jurusan yang harus
dia ambil IPA atau IPS. Dan saya pun mendengarkan lagi, dan mencerocos terus.
Padahal tahu tekk ini pedas sangat, sementara saya juga masih sariawan akut.
Bibir saya mirip digandoli gajah kebakaran, berat dan panas!
“Kalau memang kamu punya keinginan masuk IPA, kamu
setidaknya harus bisa memilih bahwa dua tahun lagi kamu juga harus memilih
jurusan kuliah dan profesi yang berhubungan dengan IPA. Jangan sampai ilmu IPA
selama dua tahunmu percuma karena kamu mengambil jurusan sosial. Banyak contoh kasusnya,”
saya bijak sekali ya? Haha. #norak
¬¬¬¬¬¬¬¬
Hujan sudah reda. Surabaya malam sudah tidak terlampau sumuk.
Saya masih harus melaju tiga puluhan kilometer di ujung barat sana. Santai
saja. Walaupun pikiran saya dipenuhi banyak pikiran. Termasuk pikiran kasus
dari tadi sore, dari sumber masalah hidup saya, Hape. Kasus kok terus-terusan.
Sabar hoe :-)
Di rumah, semua sudah terlelap. Niat hati mau langsung
chatting dengan seseorang yang sudah buat janji dari kemarin, tapi pulsa modem
belum dikirim juga, apes. Bengong, akhirnya saya bersihkan kamar mandi yang
kotor sekali. Aneh kan? Saya bersihkan kamar mandi sekitar jam sebelas tadi,
haha.
Ini sambil ngetik curhatan sehari, dengan harapan saya punya
kenangan di masa depan tentang perjalanan hari ini. Simple sih, hanya saja bagi
saya setiap hari adalah spesial. Tidak akan kita temui satu pun hari yang sama
dalam putaran waktu dunia. Toh, daripada olahan data T(u)A saya juga masih
stagnan untuk sementara ini. Eh, hari ini saya menempuh perjalanan 96
kilometer! Ini bukan rekor sih.
Eits, tugas riset penelitian saya bersama teman-teman koplak
saya yang lain belum selesai! Tapi otak saya sudah buntu, besok saja gan. Ane
mau bobo dulu, have a nice dream.
Tengah Malam, 28 Nov
6 comments:
Sampeyan rajin nyatet agenda sehari-hari ya mas.. sebuah curhatan yang sistematis. kalau dikumpulin bisa jadi novel sekelas fiksi,,
salut sama konsistensi nulisnya
:D
Wah, makasih sudah berkunjung :)
sebenarnya lbih ke arah bercerita, hanya sy itu orngnya males cerita ke orng lain, lbh enak klo sy tuliskan. Siapa yg mau baca ya silahkan, klo g juga tdk mengharap.
Novel? Nggak bangeeettss, haha
ayo nulis Rin, nulis buku :)
nulis buku pingin juga sih. but, itu tantangan yang beraaat. pasalnya saya ndak tau mau bkin buku macam apa pula.
padahal kalau mau profit oriented, ada ekspektasi hasil jualan buku bisa buat tambahan "sangu" LJ. hehe
walaupun jelas bukan "profit" yang jadi orientasi/landasan utama para penulis buku (seperti panjenengan)
ayo mas, bagi-bagi ilmunya nulis buku :D
Buat buku? Paling gampang itu buat buku rame2, jadi atau tdk jadi biar bisa ditanggung rame-rame pula. Bisa juga Pedekate dg penulis yg sudah beberapa kali nerbitin buku (ini metode sy, tepe2 ke Mas Rifai dan Satria, hehe)
menulislah apa yg ada terdekat dg kalian, begitu tukang wejangan berkata.
mas hud emg cocok jd psikiater galauers ya mas. cocok bgt. padahal awalnya saya msh gak percaya lho mas (walaupun udh sering dibicarakan dirapat).keren. :D
Hahaha...Oh ya? Klo gitu, saya buka klinik konsultasi saja ya? Tarif diskon 15% khusus penghuni lantai 6 deh, hehe..
Saya akhirnya sepakat dg diri saya sndiri, bahwa bakat konseling curhatan yg sy punyai itu sy anggap sbgai ladang kebaikan. Bukankah mendengarkan curhat orng galau dan memberikan sedikit "wejangan" itu amal? hehe..
Post a Comment