12 Nov 2011

Sabar yo Hud!



Lima belas meter di depan sana. Satu bangunan berlantai enam itu nampak sudah menjadi rumah kedua saya. Kakiku melangkah pelan. Pelan sekali. Hingga enam belas langkah, nafas itu masih menggebu. Hingga entakan kaki ketujuhbelas, semuanya runtuh. Air mata saya tumpah. Kunang-kunang di depan mata menari. Memutari pandangan ku yang terulas menuju birunya langit.

Pernahkah anda merasakan kepasrahan total dengan kehidupan? Saat semua energi, usaha dan do'a yang anda curahkan tidak menghasilkan apa pun? Saat harapan tinggi yang anda usung, tak secuil pun terwujud? Kala semangat anda harus beradu dengan realitas yang menggilas total heroisme itu? 

Kondisi itulah yang sedang saya alami hampir mendekati tiga bulan terakhir. Saya sedang frustasi akut. Mendiamkan begitu saja sebuah masalah yang super besar, tergeletak begitu saja. Urusan yang berkenaan dengan hidup-mati saya. Hal yang berimbas pada sisa hidup saya di dunia, juga tentang akhirat yang penuh misteri itu. Tentang masa depan, tentang banyak orang, tentang keabsuran duniawi-keabadian. Kompleks.

Ia tidak saya sentuh sama sekali. Setelah ikhtiar sekuat jiwa-raga yang dulu pernah saya lakukan, kini semua tinggallah kenangan saja. Tidak berimbas apapun pada kejernihan urusan ini. Saya mendiamkannya terus. Dan hanya berdo'a saja. Berharap, waktu yang akan menjawab dan menyelesaikannya. Entah sampai kapan.

Seperti roh gentayangan. Sekuat apapun saya berusaha melupakan hal ini, sekuat itu pula nuraniku menariknya. Saat hati sudah tak mampu lagi untuk tidak peduli, saat itu pula saya linglung. Saya ingin melakukan sesuatu, hal yang bisa memperbaiki keadaan. Tapi saya tidak bisa, bahkan sebiji kebaikkan pun tidak bisa saya hasilkan untuk menjernihkan persoalan ini. Saya benar-benar merasa tidak berguna. Musproh!

Tidak berguna!

Sungguh, ku akui saya tidak berguna. Kalimat ini selalu mensugestikan pesimisme akut dalam jiwa saya. Sugesti ini pula yang membuat saya selalu cepat lelah dalam melakukan aktivitas harian. Gara-garanya satu: pikiran saya selalu bercabang! Konsentrasi saya selalu terbelah-belah, hingga energi yang harus saya serap untuk mengaktifkan otak jauh lebih banyak.

Bahkan jika sudah terlampau parah, bisa sampai menjalar pada mimpi buruk dini hari. Atau justru malah aktivitas yang terbengkalai seharian diganti dengan tidur seharian total! Yang paling sering adalah menurunnya daya konsentrasi saya secara drastis. Terlampau susah jika disuruh fokus. Saya tidak bisa mendefiniskan ada apa di dalam diri saya. Apa saya gila? Mungkin saja. Neurotis, gejala dini menjadi gila.

"Allah memberikan persoalan kepada manusia sesuai kadar kita. Jika masalah itu terlampau berat, maka bagilah dengan saudara-saudaramu. Jika masih berat, letakkan sebentar dan pikullah lagi. Jika sudah tidak bisa diangkat lagi, biarkan waktu yang menjawabnya. Hanya manusia lah yang kan menyelesaikan masalahnya, atau waktu yang menyelesaikannya..."

Nasehat berulang-ulang terucap. Tapi uraian di atas saja yang sering saya ingat. Saya membiarkan masalah ini terdiam saja. Tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Tidak juga dengan kedua orang tuaku, atau teman-teman kampus, lab, kantor, pengajar, atau yang lain. Nihil. Biarlah hanya saya dan Dia yang tahu. Hanya itu saja.

"Sabar yo Hud," orang yang entah keberapa melontarkan kata itu. Ya, saya harus bersabar. Entah sampai kapan. Bersama untaian nasehat dari orang, yang entah siapa pun itu.

2 comments:

upik abu said...

Sing sabar yo (mas) Hud!

saya sudah comment:D:D
hehehe

hudahoe said...

eaaa qq :)

salam gawe "situ" yah, dpt bahan gosipan baru nih, hehe

Post a Comment