30 Oct 2011

Aku Malu




Lamat-lamat ia berjalan di atas jalan dan langit yang menghitam ini. Tubuh ringkihnya tidak sepadan dengan senyuman yang ia umbar setiap detik. Ia juga tersenyum padaku.

"Koran Mas, koran.."

Saya terdiam. Hanya membalas dengan sebalut senyum kecil. Ingin rasanya aku menumpahkan rasa malu ku saat itu juga. Di bawah lampu lalu lintas yang sedang memerah. Bersama lolongan suara puluhan kendaraan yang menderu. Aku malu dengan nenek ini. Beliau tersenyum, semangat mengais rejeki masih membubung tinggi, walau hari sudah menjelang tengah malam. Beliau juga masih tersenyum padaku, kepada semua orang.

Beliau tersenyum lagi. Raut mukanya, tampak lebih tua dari nenek saya yang sudah memiliki 14 cicit. Beliau sungguh nampak sangat tua. Tapi, senyumnya mampu mengaburkan semuanya. Semangatnya, melunturkan rasa malasnya. Gairahnya mencerahkan pekatnya malam itu. Tidak seperti aku.

Aku malu. Aku ingin menangis. (Sungguh) malu.

Hari ini

Ayah dengarkanlah, aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

Lirik itu. Tiba-tiba naluriku tersentak. Suara Riki mengalihkan perhatianku. Ia bersenandung dengan lirik itu. Aku terdiam. Pikiranku melayang, membayangkan sudah berapa tahun anak berumur 13 tahun ini hidup tanpa ayahnya. Bukan karena ayahnya tidak ada, tapi karena hal lain. Hal yang tidak ia pahami sejak dia masih balita. Hal yang terlalu dini untuk ia -bersama saudarnya harus menjalani hidup seperti ini. Sebuah kenyataan hidup. Sepertinya, dia memang sangat rindu dengan ayahnya.

Lirik itu terdengar semakin keras. Sumber suaranya, tepat di depan Taman Baca ini, melantunkan gema lagu ini beriringan dengan suara dangdut. Namun, lagu ini semakin terlihat dominan. Suasana makin syahdu, saat semua adik-adik di ruangan ini menyanyikan bersama-sama. Tanpa komando. Saya terkesima. Terdiam.

Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku

Mata saya memandangi satu per satu adik-adik ku di ruangan ini. Degrit, Ia hanya nampak tak acuh, melanjutkan goresan pensil warnanya. Aku pun tak tahu, apakah dia tahu siapa ayahnya. Atau apakah dia pernah menanyakan dimana ayahnya. Pertanyaan itu semakin membuat hatiku ngilu. 

Apakah mereka semua rindu ayahnya? Sementara aku?

Febri, Ayu, Dharma, Nane, Catur, Rizka, Oktavia, Anggi, Devi, Anggun, Guntur.....semua bernyanyi. Sementara hatiku semakin menganga. Sebisa mungkin aku menyembunyikan mataku yang sudah akan meleleh ini. Nyanyain mereka. Tawa mereka. Kebersamaan mereka. Adakah yang mereka sesali dari hidupnya?

Aku malu. Benar-benar malu. Aku rindu rumah.

No comments:

Post a Comment