Judul
postingannya agak allay ya? Maklum, banyak yang bilang gitu *ngaku juga*. Tulisan
ini cuman mau saya dedikasikan untuk mengukir sebuah memori tentang masa lalu,
biar kelak ketika uda tua, bisa dikenang lagi. Bukankah memang ingatan manusia
sangat terbatas?
Yeah, tulisan
ini akan bertutur catatan pribadi tentang Hari Raya Idul Fitri 1433 H yang
barusan saja selesai. Karena baru kali ini saya berkesempatan untuk
beraktivitas di kampung halaman selama 8 hari. Ini rekor saya selama 8 tahun
terakhir. Karena tahun-tahun sebelumnya, saya cuman lebaran 3-5 hari di desa
saya yang bernama desa Rahayu yang arti harfiahnya adalah “baik, bagus,
cantik”.
Terapi Kaki Kekar
Agenda paling
umum yaitu saling bermaafan ke sanak famili dan juga tetangga. Kultur sosial
dan gotong royong yang sangat kental di desa saya, membuat sekat individu
sangat tipis. Begitu pula untuk momen ini, yang dituju bukan hanya tetangga
kanan kiri, namun juga semua tetangga jauh yang bisa dijangkau oleh kaki dan
tekad.
Yup, kalau soal
kaki, mengelilingi satu satu RT saja sudah payah, apalagi satu RW. Tapi
walaupun musim kemarau juga sangat menyengat, banyak dari warga desa yang
bahkan mampu berkeliling beberapa RW. Ambil contoh saya. Kemarin, saya cuman
mengeliling 2 RT saja, menurun dari tahun lalu yang sampai 4 RT. Itu saja saya
lalu hampir 2 jam lho.
Faktor jarangnya
saya berinteraksi di desa menjadi sebab utama. Jarang pulang, jadi pastinya
jarang ketemu dengan tetangga-tetangga jauh. Kedua soal panas. Jam setengah 10
saja serasa sudah terik. Dan terakhir mungkin soal partner jalan. Teman
seumuran saya sudah banyak yang sudah menikah. Kalau pun ada yang belum,
rumahnya jauh dari rumah saya.
Faktor doniman
yg terakhir adalah, karena saya harus menyimpan energi untuk bersilaturahim ke
keluarga besar. Atau mungkin, keluarga super besar. Maklum, dari Emak saya saja
ada 6 saudara dan ditambah dari Bapak ada 13 om/tante/pak dhe/bu dhe/lek yang
harus saya kunjungi. Belum termasuk garis dar nenek yang merembet-merembet
menjadi puluhan. Itu juga masih ditambah dari sepupu-sepupu saya yang sudah
berkeluarga yang berjumlah hampir 3o-an. Ditambah pula keluarga dari besan
(mertua) adik saya yang juga tak kalah banyak.
Praktis, butuh
dua hari untuk meng-khatam-kan semuanya. Di hari pertama saya baru selesai
silaturahim sampai jam 9-an malam. Padahal itu sudah dimulai dari jam 8
paginya. Keren kan beudh :3
Ziaroh ke Makam Kakek
Ini adalah
lebaran ke-2 tanpa almarhum kakek saya tapi menjadi yang pertama untuk ziaroh
ke makam beliau buat saya. Dari lahir sampai saya dewasa ini, hanya meniggalnya
kakek saya yang membuat saya sedih berkepanjangan.
Saat saya berada
di pusara kuburan, saya berdzikir dan berdo’a cukup khusyu’ karena sepinya area
pemakaman. Namun, lama kelamaan mata saya mulai sembab. Banyak memori dengan
beliau yang tiba-tiba menyeruak pikiran.
Banyak hal yang
saya pelajari dari beliau, dari ilmu kehidupan sampai hal-hal kecil yang sering
kita bicarakan bersama. Dahulu, saat saya masih awal-awal sekolah, saya tinggal
bersama beliau sampai hampir 6 tahun. Di sini, saya menganggap beliau seperti
Ayah sendiri. Karena beliaulah yang mengajak sholat Jum’at kali pertama (sholat
Jum’at bagi laki-laki, menurut saya itu sangat memorable), tidur di sawah untuk menjaga pencurian
tanaman Jagung, mengajari cara membuat laying-layang, sampai cara berburu dan
beternak jangkrik juga diajari beliau.
Sebagai petani,
kita juga sering ke sawah. Beliau sering mengajari saya untuk mencangkul,
memberitahu pola tanam padi/tembakau/jagung/dll, pengairan sawah, pemupukan,
sampai kadang juga bercerita tentang musim paceklik yang memelas hati. Sering,
ketika pulang dari sawah, kita membawa hasil tanaman polo pendhem yang langsung
bisa dimasak ketika sampai di rumah. Ini pula yang menyebabkan saya sangat maniak
dengan rebusan umbi-umbian macam talas, singkong, wi, bothe, dll.
Hal yang paling
saya kenang dari beliau adalah ketika musim penghujan, listrik di desa sering
mati. Terutama ketika malam hari. Desa kami yang sangat terpencil membuat desa
kita seperti kuburan ketika beranjak maghrib. Tidak ada hal yang bisa kita
lakukan. Keluar rumah juga tidak mungkin. Nah, biasanya kita mendengarkan
bersama siaran ketoprak dari radio berbatere. Atau terkadang pindah ke siaran
wayang. Walapun terkadang saya tidak faham bagaimana alur ceritanya (karena
saya tidak begitu fasih berbahasa karma inggil).
Ketika kita
diam, menyimak dengan seksama dari radio yang ditaruh di atas meja. Yang hanya
berteman sebuah lampu teplok kecil, saya tiduran di kursi, dan beliau juga
tiduran di kursi seberang saya. Sesekali terdengar banyolan kecil yang membuat
kita tertawa bersama. Hingga saya tertidur duluan hingga keesokan harinya saya
telah bangun dengan kondisi berselimut.
Jujur, saya
hampir menangis ketika mengingat itu semua. Insya Allah, saya akan menuliskan
tulisan untuk mengenang beliau di blog ini.
Ngemong Ponakan
Satu tradisi
yang selalu berjalan dari tahun ke tahun setiap kali Idul Fitri tiba adalah NO
VACATION! Karena apa? Karena memang tidak punya kendaraan untuk berekreasi. Jadi,
paling banter cuman modal motor lalu ke tempat-tempat wisata terdekat kalau
memang ingin berekreasi. Kalau tidak, berekreasi dari rumah ke rumah saudara
sudah cukup memuaskan batin dan juga perut tentunya (banyak makanan).
Nah, untuk edisi
lebaran kali ini, saya cuman pergi ke satu tempat, yakni Gua Ngerong. Gua bukan
gue, juga bukan loe-gue-end, hehe. Sebagai kabupaten yang dilalui Pegunungan
Kapur Utara, Tuban memiliki banyak spot wisata gua dan tentunya sumber mata
air. Nah, Gua Ngerong merupakan paduan dari keduanya. Gua yang mengalirkan air
dari mulutnya.
Sebenarnya, saya
ke sini cuman buat ngemong ponakan saya. Namanya Bunga ehhh...namanya Neli,
umurnya hampir 4 tahun kurang dikit. Saya ke sana dengan adik saya, yang
mungkin bagi banyak orang kita dikira Bapak-Ibu-Anak yang sedang berekreasi,
hehe. Daaannn..karena ini musim liburan besar, Gua yang memiliki ribuan ikan
dan ribuan kelelawar ini sampai penuh sesak.
Biasanya, setiap
kali ke sini, pengunjung memiliki tradisi member makan ikan dan bulus putih
(sejenis penyu). Namun, mungkin karena pengunjung membeludak jadi perut ikannya
juga kekenyangan. Neli yang mencoba melemparkan roti pun jarang disentuh oleh
ikannya.
Agenda ngemong
kali ini adalah nyebur ke sungai mata air. Jujur saja, airnya bening, namun
agak amis dan asin. Maklum, ini pegunungan kapur dan ikan kan emang amis. Saya
pun ikutan njebur dengan modal celana kolor dan kaos untuk menemani Neli
berenang dari ujung ke ujung. Bak seorang Bapak mengajari anaknya renang
(padahal saya gak bisa renang lho,hehe).
Hampir dua jam
di sini, saya sampai njedindil dengan dagu menggigil keras. Bahkan, kedua
rahang saya pun ikutan bersimponi melantunkan melodi tak bernama, haha. Yang
lucu, tubuh Neli sampe membiru gara-gara kedingininan. Dan kita pun pulang
membawa jajan yang terbuat dari gula yang diputar. Entah apa namanya.
Ponakan saya
jumlahnya ada puluhan, bahkan saya tidak hafal semua nama panggilannya (apalagi
nama lengkapnya yang sepanjang gerbong kereta api). Lucunya, kadang saya juga
sering salah panggil nama mereka, hehe. Dan, keponakan saya yang sering saya
emong lagi namanya adalah Selo, the unyuest baby that i ever saw. Umurnya baru
11 bulan dan lucunya gak ketulungan. Apalagi dengan pipi tembembnya bak bakpau
bulet.
Ngemong Selo
seperti main sepak bola. Kenapa? Karena dia sering dioper-oper sana sini.
Misalkan sama Ibunya sudah bosen, pindah ke neneknya, pindah ke omnya, pindah
ke saya, pindah ke adik saya, pindah ke emak saya, pindah ke tentangga, dll.
Apalagi sebagai anak laki-laki yang baru bisa merangkak, dia sangat aktif
sekali dan seperti anak kecil pada umumnya, dia sering rewel.
Tapi, walaupun
rewelnya gak ketulungan, tetep saja dia ngegemesin. Pipinya, giginya yang baru
berjumlah 4 (2 atas, 2 bawah), tingkahnya, senyumnya, ngakaknya, sampai
rewelnya menggemaskan! Enak banget ya jadi anak kecil? Merepotkan tapi justru
membuat hati bahagia. Jadi pengen punya anak *eh*.
Terkadang saya
ajak dia jalan-jalan pake sepeda onthel keliling kampung. Kadang saya lempar-lempar
ke atas bak nglempar lembing, kadang saya ajak balapan merangkak, atau sekedar
nyuapin pisang yang menjadi buah favoritnya. Sering kali tiap saya
menggendonya, selalu ada tetangga yang nyeletuk.
“Wes cocok
cung,” (sudah cocok, nak)
“Cocok opo Mbah?
Cocok gendong anak?” (Cocok apa Mbah? Cocok menggendong anak?”
Tahu sendiri lah
maksud parodi bin sindiran itu, hehe. Cukup menyayat hati tapi juga memotivasi
diri, hahahaha.
bersambung....
No comments:
Post a Comment