29 Aug 2012

Iedz ‘33 Asyoi Boi! (bagian 1)

Judul postingannya agak allay ya? Maklum, banyak yang bilang gitu *ngaku juga*. Tulisan ini cuman mau saya dedikasikan untuk mengukir sebuah memori tentang masa lalu, biar kelak ketika uda tua, bisa dikenang lagi. Bukankah memang ingatan manusia sangat terbatas?

Yeah, tulisan ini akan bertutur catatan pribadi tentang Hari Raya Idul Fitri 1433 H yang barusan saja selesai. Karena baru kali ini saya berkesempatan untuk beraktivitas di kampung halaman selama 8 hari. Ini rekor saya selama 8 tahun terakhir. Karena tahun-tahun sebelumnya, saya cuman lebaran 3-5 hari di desa saya yang bernama desa Rahayu yang arti harfiahnya adalah “baik, bagus, cantik”.

Terapi Kaki Kekar
Agenda paling umum yaitu saling bermaafan ke sanak famili dan juga tetangga. Kultur sosial dan gotong royong yang sangat kental di desa saya, membuat sekat individu sangat tipis. Begitu pula untuk momen ini, yang dituju bukan hanya tetangga kanan kiri, namun juga semua tetangga jauh yang bisa dijangkau oleh kaki dan tekad.

Yup, kalau soal kaki, mengelilingi satu satu RT saja sudah payah, apalagi satu RW. Tapi walaupun musim kemarau juga sangat menyengat, banyak dari warga desa yang bahkan mampu berkeliling beberapa RW. Ambil contoh saya. Kemarin, saya cuman mengeliling 2 RT saja, menurun dari tahun lalu yang sampai 4 RT. Itu saja saya lalu hampir 2 jam lho.

Faktor jarangnya saya berinteraksi di desa menjadi sebab utama. Jarang pulang, jadi pastinya jarang ketemu dengan tetangga-tetangga jauh. Kedua soal panas. Jam setengah 10 saja serasa sudah terik. Dan terakhir mungkin soal partner jalan. Teman seumuran saya sudah banyak yang sudah menikah. Kalau pun ada yang belum, rumahnya jauh dari rumah saya.

Faktor doniman yg terakhir adalah, karena saya harus menyimpan energi untuk bersilaturahim ke keluarga besar. Atau mungkin, keluarga super besar. Maklum, dari Emak saya saja ada 6 saudara dan ditambah dari Bapak ada 13 om/tante/pak dhe/bu dhe/lek yang harus saya kunjungi. Belum termasuk garis dar nenek yang merembet-merembet menjadi puluhan. Itu juga masih ditambah dari sepupu-sepupu saya yang sudah berkeluarga yang berjumlah hampir 3o-an. Ditambah pula keluarga dari besan (mertua) adik saya yang juga tak kalah banyak.

Praktis, butuh dua hari untuk meng-khatam-kan semuanya. Di hari pertama saya baru selesai silaturahim sampai jam 9-an malam. Padahal itu sudah dimulai dari jam 8 paginya. Keren kan beudh :3

Ziaroh ke Makam Kakek
Ini adalah lebaran ke-2 tanpa almarhum kakek saya tapi menjadi yang pertama untuk ziaroh ke makam beliau buat saya. Dari lahir sampai saya dewasa ini, hanya meniggalnya kakek saya yang membuat saya sedih berkepanjangan.

Saat saya berada di pusara kuburan, saya berdzikir dan berdo’a cukup khusyu’ karena sepinya area pemakaman. Namun, lama kelamaan mata saya mulai sembab. Banyak memori dengan beliau yang tiba-tiba menyeruak pikiran. 

Banyak hal yang saya pelajari dari beliau, dari ilmu kehidupan sampai hal-hal kecil yang sering kita bicarakan bersama. Dahulu, saat saya masih awal-awal sekolah, saya tinggal bersama beliau sampai hampir 6 tahun. Di sini, saya menganggap beliau seperti Ayah sendiri. Karena beliaulah yang mengajak sholat Jum’at kali pertama (sholat Jum’at bagi laki-laki, menurut saya itu sangat memorable),  tidur di sawah untuk menjaga pencurian tanaman Jagung, mengajari cara membuat laying-layang, sampai cara berburu dan beternak jangkrik juga diajari beliau.

Sebagai petani, kita juga sering ke sawah. Beliau sering mengajari saya untuk mencangkul, memberitahu pola tanam padi/tembakau/jagung/dll, pengairan sawah, pemupukan, sampai kadang juga bercerita tentang musim paceklik yang memelas hati. Sering, ketika pulang dari sawah, kita membawa hasil tanaman polo pendhem yang langsung bisa dimasak ketika sampai di rumah. Ini pula yang menyebabkan saya sangat maniak dengan rebusan umbi-umbian macam talas, singkong, wi, bothe, dll.

Hal yang paling saya kenang dari beliau adalah ketika musim penghujan, listrik di desa sering mati. Terutama ketika malam hari. Desa kami yang sangat terpencil membuat desa kita seperti kuburan ketika beranjak maghrib. Tidak ada hal yang bisa kita lakukan. Keluar rumah juga tidak mungkin. Nah, biasanya kita mendengarkan bersama siaran ketoprak dari radio berbatere. Atau terkadang pindah ke siaran wayang. Walapun terkadang saya tidak faham bagaimana alur ceritanya (karena saya tidak begitu fasih berbahasa karma inggil).

Ketika kita diam, menyimak dengan seksama dari radio yang ditaruh di atas meja. Yang hanya berteman sebuah lampu teplok kecil, saya tiduran di kursi, dan beliau juga tiduran di kursi seberang saya. Sesekali terdengar banyolan kecil yang membuat kita tertawa bersama. Hingga saya tertidur duluan hingga keesokan harinya saya telah bangun dengan kondisi berselimut.

Jujur, saya hampir menangis ketika mengingat itu semua. Insya Allah, saya akan menuliskan tulisan untuk mengenang beliau di blog ini.

Ngemong Ponakan
Satu tradisi yang selalu berjalan dari tahun ke tahun setiap kali Idul Fitri tiba adalah NO VACATION! Karena apa? Karena memang tidak punya kendaraan untuk berekreasi. Jadi, paling banter cuman modal motor lalu ke tempat-tempat wisata terdekat kalau memang ingin berekreasi. Kalau tidak, berekreasi dari rumah ke rumah saudara sudah cukup memuaskan batin dan juga perut tentunya (banyak makanan).

Nah, untuk edisi lebaran kali ini, saya cuman pergi ke satu tempat, yakni Gua Ngerong. Gua bukan gue, juga bukan loe-gue-end, hehe. Sebagai kabupaten yang dilalui Pegunungan Kapur Utara, Tuban memiliki banyak spot wisata gua dan tentunya sumber mata air. Nah, Gua Ngerong merupakan paduan dari keduanya. Gua yang mengalirkan air dari mulutnya.


Sebenarnya, saya ke sini cuman buat ngemong ponakan saya. Namanya Bunga ehhh...namanya Neli, umurnya hampir 4 tahun kurang dikit. Saya ke sana dengan adik saya, yang mungkin bagi banyak orang kita dikira Bapak-Ibu-Anak yang sedang berekreasi, hehe. Daaannn..karena ini musim liburan besar, Gua yang memiliki ribuan ikan dan ribuan kelelawar ini sampai penuh sesak.

Biasanya, setiap kali ke sini, pengunjung memiliki tradisi member makan ikan dan bulus putih (sejenis penyu). Namun, mungkin karena pengunjung membeludak jadi perut ikannya juga kekenyangan. Neli yang mencoba melemparkan roti pun jarang disentuh oleh ikannya.
Agenda ngemong kali ini adalah nyebur ke sungai mata air. Jujur saja, airnya bening, namun agak amis dan asin. Maklum, ini pegunungan kapur dan ikan kan emang amis. Saya pun ikutan njebur dengan modal celana kolor dan kaos untuk menemani Neli berenang dari ujung ke ujung. Bak seorang Bapak mengajari anaknya renang (padahal saya gak bisa renang lho,hehe).

Hampir dua jam di sini, saya sampai njedindil dengan dagu menggigil keras. Bahkan, kedua rahang saya pun ikutan bersimponi melantunkan melodi tak bernama, haha. Yang lucu, tubuh Neli sampe membiru gara-gara kedingininan. Dan kita pun pulang membawa jajan yang terbuat dari gula yang diputar. Entah apa namanya.


Ponakan saya jumlahnya ada puluhan, bahkan saya tidak hafal semua nama panggilannya (apalagi nama lengkapnya yang sepanjang gerbong kereta api). Lucunya, kadang saya juga sering salah panggil nama mereka, hehe. Dan, keponakan saya yang sering saya emong lagi namanya adalah Selo, the unyuest baby that i ever saw. Umurnya baru 11 bulan dan lucunya gak ketulungan. Apalagi dengan pipi tembembnya bak bakpau bulet.

Ngemong Selo seperti main sepak bola. Kenapa? Karena dia sering dioper-oper sana sini. Misalkan sama Ibunya sudah bosen, pindah ke neneknya, pindah ke omnya, pindah ke saya, pindah ke adik saya, pindah ke emak saya, pindah ke tentangga, dll. Apalagi sebagai anak laki-laki yang baru bisa merangkak, dia sangat aktif sekali dan seperti anak kecil pada umumnya, dia sering rewel.

Tapi, walaupun rewelnya gak ketulungan, tetep saja dia ngegemesin. Pipinya, giginya yang baru berjumlah 4 (2 atas, 2 bawah), tingkahnya, senyumnya, ngakaknya, sampai rewelnya menggemaskan! Enak banget ya jadi anak kecil? Merepotkan tapi justru membuat hati bahagia. Jadi pengen punya anak *eh*.

Terkadang saya ajak dia jalan-jalan pake sepeda onthel keliling kampung. Kadang saya lempar-lempar ke atas bak nglempar lembing, kadang saya ajak balapan merangkak, atau sekedar nyuapin pisang yang menjadi buah favoritnya. Sering kali tiap saya menggendonya, selalu ada tetangga yang nyeletuk.

Wes cocok cung,” (sudah cocok, nak)

Cocok opo Mbah? Cocok gendong anak?” (Cocok apa Mbah? Cocok menggendong anak?”

Tahu sendiri lah maksud parodi bin sindiran itu, hehe. Cukup menyayat hati tapi juga memotivasi diri, hahahaha.


bersambung....

No comments:

Post a Comment