Dugaan saya tentang Gua Tetes adalah Gua kecil dengan lorong
pendek dan minim batuan stalaktit yang biasanya memenuhi Gua-Gua di Tuban.
Maklum, saya kenyang wisata ke Gua. Dari Gua yang banyak kelelawar, banyak
ikannya seperti sungai, yang panjang sampai satu kilometer, yang batuannya
mirip berlian warna-warni, sampai Gua yang banyak monyetnya. Saya khatam semua.
Hasilnya, saya pun melangkah gontai menuju tempat wisata terdekat dari rumah Bang Ali ini. Terlebih, di bagian depan pintu masuk, hanya ada papan 50x10 cm bertuliskan tangan (jelek) yang menunjukkan informasi bahwa di sini ada Gua. Jalanan berbatu tak beraturan. Parkiran pun sepi. Lengkap sudah pesimisme saya.
Hasilnya, saya pun melangkah gontai menuju tempat wisata terdekat dari rumah Bang Ali ini. Terlebih, di bagian depan pintu masuk, hanya ada papan 50x10 cm bertuliskan tangan (jelek) yang menunjukkan informasi bahwa di sini ada Gua. Jalanan berbatu tak beraturan. Parkiran pun sepi. Lengkap sudah pesimisme saya.
Yang agak menghibur dari perjalan ini adalah jalanan curam
ke bawah yang sangat menantang kaki. Semakin ke bawah, nampak pula hamparan
lanskap yang sedang kita lewati, pertemuan dua buah bukit dengan dasar jurang
yang berupa sungai. Saking tinggi dan saking dalamnya jurang di bawahnya,
membuat saya takjub sekaligus ngeri.
Gua apa yang muncul dari dasar jurang, tanya saya dalam
hati. Terlebih daerah ini bukanlah kawasan kapur yang biasanya menjadi dasar
terbentuknya Gua alam. Anehnya, semakin lama, suara gemericik air yang kami
dari atas semakin jelas suaranya. Pasti ada air terjun.
Menjelang separuh perjalanan yang merupakan titik tengah
menuju jurang dan puncak bukit, kami disediakan pemandangan yang WOW! Ada
puluhan air terjun yang sambung menyambung menjadi satu terpampang jelas dari
atas. Mirip sekali dengan air terjun Niagara. Bedanya, ini Niagara versi
Lumajang beudh!
Lingkaran merah: kumpulan 3 orang dan 2 air terjun lainnya
Bayangan Gua pun lenyap berubah menjadi air terjun menantang
untuk didaki. Yap, sambungan antar air terjun ini berupa bebatuan yang licin
berlumut dan sangat curam. Kami harus mendaki dari dasar untuk bisa sampai air
terjun di atasnya lagi, lagi, dan lagi. Beberapa dari sambungan itu tidak bisa
dilalui karena kemiringan sampai 70-80 derajat.
Butuh keahlihan mendaki yang expert untuk bisa menyelesaikan seluruh jajaran sambungan air terjun ini. Di level paling gampang pun, saya terkadang terpeleset, lamban atau tidak bisa naik sama sekali. Beda sama Bang Ali yang seperti berjalan di atas jalan tol. Bebas hambatan karena kakinya kokoh tak tertandingi.
Sampai pada tingkat air terjun kelima (seingat saya), kami disediakan Gua tetes seperti yang dimaksudkan judul wisata ini. Beneran Gua tetes, karena saat berada di dalam Gua, ada tetesan air dari atas “atap” Gua. Namun sejujurnya, tidak ada yang istimewa dari Gua ini. Batuannya biasa saja. Isinya juga tidak luas/panjang, hanya seluas gardu siskamling.
Hal lain yang menghibur itu adanya mata air yang mengalir
deras dari dalam Gua. Batuan yang memang tidak semempesona batuan stalaktit,
namun membentuk hal-hal aneh seperti seperti isi otak manusia, alat berburu
zaman purba, tiang rumah dan yang paling banyak itu seperti karang laut.
ALAY!
Lalu, saya bertanya: mengapa disebut Gua tetes? Padahal, daya tarik utama dari kawasan ini adalah air terjun yang sambung menyambung menjadi satu serta pemandangan tebing bukit-jurang yang nampak sangat luas. Mengapa namanya bukan air terjun bla..bla..bla.. saja? Entahlah.
Tidak ada akses jalan sampai ke dasar jurang. Posisi air terjun Niagara itu berada di level middle, jadi masih separuh jalan lagi untuk bisa sampai nyungsep ke dasar jurang. Saat kami naik lagi ke atas, kami disuguhi kenyataan bahwa ada 2 air terjun tinggi di seberang air terjun Niagara itu.
Dan lebih menakjubkan lagi, ternyata di belakang jalan setapak kami, ada air terjun yang sangat amat tinggi sekali. Saya yakin kalau ketinggian airnya mencapai 200 meter lebih! Namun sayang, tidak ada akses jalan ke sana.
“Ayo lewat jalan ini mas, kita ke air terjun itu,” ajak Bang
Ali sembari menunjukkan semak-semak yang jelas-jelas di situ tidak ada jalan.
Benar-benar mental petualang.
Saya tolak mentah-mentah. Kesadaran saya menolak untuk nyemplung sia-sia ke dasar jurang karena
sejujurnya saya tidak pandai mendaki. Mleset sedikit, bisa nyemplung jurang
sekaligus akhirat (entah kalau ada keajaiban elang terbang yang menyelamatkan).
Lha dalamnya kalau 500 meter ada lho. Itu hitungan vertikal!
Ini gueh yang ikutan alay!
Saya juga membayangkan jika di sini terjadi longsor, sungguh mengerikan jadinya. Curamnya sangat terlihat di mata dan terasa di kaki. Naik sampai separuh jalan saja, mulut saya serasa bermetamorfosis menjadi mulut ikat combro, terbuka dan menganga lebar menyaring oksigen!
Nafas ngosngosan dan kaki gempor, oleh-oleh saya dari sana.
Hal ini tidak dialami oleh Bang Ali, mungkin kakinya blasteran dengan kakinya
Samson, hahaha. Btw nich, dari awal perjalanan kita salah kostum lho. Masak naik
kita berbasah-basah ria memakai kemeja dan celana rapi.
Next post: wisata ke pondok pesantren indah nan megah yang (sangat) mirip mall
Next post: wisata ke pondok pesantren indah nan megah yang (sangat) mirip mall
No comments:
Post a Comment