Tercoretlah satu mimpi saya di
bulan maret. Bertemu dengan penulis favorit, Dewi Lestari! Sebagai
Supernova-maniac, saya berasa dipertemukan oleh takdir untuk meledakkan mimpi
menulis dalam diri yang sudah lama tiarap. Dalam tulisan ini, saya akan share semua ilham dalam Dee’ss Coaching
Clinic.
Bertempat di Pepusakaan Bank
Indonesia, Dee hadir dalam senyum dan semangat kota Pahlawan. Dee aslinya lebih cantik daripada di layar tivi dan sangat langsing, walaupun anak sulungnya
sudah berusia 10 tahun. Kami ber-35 dirasuki ilmu berjibun yang jarang bisa di
dapatkan oleh sembarang orang.
Coaching kali ini sangat special
bagi Dee, karena baru pertama kali di gelar dan langsung merambah para
penggemar fanatiknya di tujuh kota besar se-Indonesia.
Dee mengawali penuturannya dengan
visi besar dari dirinya yang mengggandeng Bentang Pustaka selaku penerbit buku
Supernova dalam acara DCC ini. Dengan model seleksi tulisan review buku, Dee
mendatangi penggemarnya yang memang ada niat dan keinginan kuat untuk menulis.
Maka, muncullah nama-nama dari beragam latar belakang. Dari emak-emak rumpi,
sampai anak SMP yang imut.
#Kisah Dee
Tulislah hal
yang ingin kamu baca
Dee kecil adalah petualang
imajinasi, menggemari segala jenis bacaan. Kesukaannya berlanjut saat remaja
pada serial bersambung dalam majalah Gadis, menelurkannya Perahu Kertas.
“Karena saya ingin sekali membaca karya remaja yang sekarang nyaris tidak ada,”
tegasnya.
Serial supernova lahir dari
keprihatinan atas konflik dan perang atas nama agama yang menyeruak hebat di
awal tahun 2000-an. Efek epifani begitu
Dee menyebutnya, melahirkan Supernova yang berinti pencarian jati diri semi
spiritualitas.Ada suatu masa dimana Dee mengambil les memasak roti. Terilhami
oleh adonan ragi (biang), lahirlah
buku Madre yang juga sudah difilmkan.
Kesembilan bukunya terinspirasi
atas hal yang ingin disampaikan ke orang, dan menjadi buku yang paling ingin ia
di baca. Standar buku minimal adalah membuat penulisnya tertarik untuk
membacanya. Hal itu menjadi tolak ukur pertama sebelum orang lain, sebelum
pembaca.
Di sela pengerjaan Supernova
sendiri, Dee terkadang “menyambi” dengan menulis buku lain, baik yang baru
maupun mengumpulkan tulisan lama. Semenjak beberapa bukunya diterbitkan, terkadang
Dee juga terlibat dalam pembuatan soundtrack, bahkan juga membawakan lagunya
sendiri. Namun Dee mengakui bahwa menulis adalah darahnya. Kebutuhan dalam
hidupnya.
#Syarat
Menjadi Penulis
Ade Rai
tidak kekar dalam semalam
Begitu pula dengan menulis, setiap
penulis tidak ada yang instan. Semua dimulai dari nol, bertahap dan konsiten.
Dee sendiri “hanya” mampu menuliskan rata-rata setiap hari adalah dua lembar.
Tapi ingat, konsisten!
Hanya ada kriteria umum
untuk menjadi penulis: mampu berpikir
kreatif, tekun berlatih, tahu buku apa yang mau ditulis dan memiliki deadline.
Poin pertama bisa dilatih dengan
meningkatkan intuisi dan kepekaan terhadap sekitar. Poin kedua itulah yang
terpenting. Dee memberikan ilustrasi seperti membagi makanan. Jika ada penulis
menargetkan buku dengan 170-250 halaman, itu terdapat sekitar 50.000 kata. Jika
dicicil setahun, cuman memakan setengah halaman setiap hari. Kecil, tapi
konsisten itu wajib!
#Menulis Itu
Menggali
Satu hal yang nyaris semua
pembaca buku Dee mengalami adiksi, adalah ciri khasnya Dee: mampu memandang hal
biasa dari sudut pandang yang baru dan segar. Serial Supernova menjadi semacam
kampium karyanya, yang kita senantias dibuat geleng kepala berkali-kali.
“Bagaimana jjika kalian menjadi seekor cicak,” serunya dalam proses imajinasi kreatif.
Pandangilah setiap benda di
sekitar menjadi sebuah kejadian unik. Imajinasikan melebihi batas nalar yang
tak sewajarnya. Karena bagi Dee, mau diakui atau tidak, semua manusia mengalami
siklus hidup yang sama, memiliki perasaan yang sama dan punya persoalan yang
sama. Tugas penulis adalah, menjadikan hal itu menjadi unik.
Karena itulah, menjadi penulis
haruslah menjadi pengamat yang baik terlebih dahulu. Bekennya ia sebut expanding our awareness. Kepekaan penulis atas hal detail dalam
seni berkehidupan adalah syarat utama dalam pencarian ide kreatif dalam
menulis.
Ketidaksamaan dalam hidup
menjadikan penggalian ide tulisan makin dalam. Bagi Dee, sebenarnya menulis
adalah penggalian hidup terhadap diri sendiri, meluaskan jangkauan pemahaman
atas batasan pemahaman hirearki atas satu-dua pandangan objektif saja.
Dan, karena menulis itu adalah
intuisi probadi, hal ini perlu dilatih terus menerus. Terlepas dari tanggapan
pembaca yang baik –juga buruk, tugas penulis adalah menjaga konsistensi untuk
selalu menulis, Ibarat yin dan yang, komentar baik-buruk akan
senantiasa ada dalam wujud pembaca, tulisan, atau justru penghargaan. Jadi
minimal, buatlah menulis sebagai hadiah buat kalian sendiri. Bukan untuk
mencari pengakuan.
#Fokus dan
Deadline
Menjadikan menulis sebagai
profesi tidak mudah. Tanpa perencanaan matang, tulisan bisa mengambang,
bercabang dan lelah mencari ujung. Dee sendiri mengaku sudah bersahabat dengan
deadline. Baginya, deadline itu berfungsi
untuk merealisasikan yang abstrak.
Banyak penulis merasa ide
biasanya berkeliaran bebas di atas kepala justru saat sedang menulis. Banyaknya
ide yang ada, justru sering menjadi boomerang, men-divergen-kan alur ide yang
sudah ada. Menyiasati ide yang liar, Dee membagi tips dengan model “Celengan Ide”.
Setiap ide yang mucul, semua
ditampung, jangan dipaksakan membuangnya –karena khawatir tidak fokus. Tapi
semua harus terukur, terencana sesuai deadline. Penulis tidak bisa memaksakan
alteregonya sendiri dalam proses penulis. Hal ini perlu disadari bahwa di depan
penulis, ada yang namanya penerbit dan pembaca yang sedang menunggu.
Jadi. berdamai dengan ide, tapi
juga bersahabat dengan deadline.
#Teknik
Kepenulisan
Saya mengingat halaman pertama
buku Gelombang, ilustrasi pertama tentang sosok Jaga Portibi seolah berada di
sebelah saya. Riset, kemampuan ini adalah salah satu yang khas dari Dee. Dalam
setiap tulisannya, semua diskripsi nampak riil di dunia nyata. Sampai kita tidak tahu
batas fakta dan fiktifnya. Karena Dee sendiri mengakui, tidak bisa memaksakan
semua setting dalam ceritanya ada dalam dunia nyata. Memfiksikan sesuatu yang
fakta, begitu kaidahnya.
Dalam kepenulisan seri Gelombang,
Dee menekankan unsur verisimilitude (tidak
ada padanan terjemahan yang pas). Hal
ini ditujukan agar setiap konflik cerita menjadi semi-realistis.
Panjangnya jumlah halaman novel, sering kali
membuat nafas penulis bisa habis di tengah jalan. Sebelum mulai menulis, Dee selalu membuat mind map yang disebut “Struktur tiga babak”. Diawali dengan pembentukan setting dan karakter tokoh, dilanjutkan dengan membagi-bagi penyambungan antar tokoh dalam peristiwa, konflik, lalu penyelesaian.
Dengan cara ini, penulis sudah
bisa mengetahui dari awal titian cerita dari awal sampai ending. Sisanya,
penulis tinggal merangkai bahasanya saja.
Dee lagi makan hehe |
Epilog
Pesan paling mengena dari Dee
adalah tentang kedisiplinan dalam menulis. Dee sendiri sempat mengalami fase
kegalauan atas ritme menulisnya ketika melahirkan anak pertamanya. “Apa
saja masih memiliki waktu, ruang dan kemampuan untuk menulis?”. Dan bingo!
Kedisiplinanlah yang menjawabnya. Sekarang, dia memiliki waktu menulis di
sekitar jam 4 pagi sampai pagi sebelum anaknya bangun.
Displin menulis menjadikannya
sebagai salah satu penulis produktif di Indonesia. Walaupun, Dee sendiri
mengaku kalau kecepatan menulisnya tergolong lambat, Hanya satu buku dalam 1,5
tahun. Yah, mungkin begitulah semua penulis besar. Merendah –yang sejatinya meroket.
Ya, Ade Rai tidak kekar dalam semalam!
Ya, Ade Rai tidak kekar dalam semalam!
*) postingan sangat nelat
No comments:
Post a Comment