9 Jun 2015

Apa itu Cinta, Hidup, dan Tuhan?


Tercoretlah satu mimpi saya di bulan maret. Bertemu dengan penulis favorit, Dewi Lestari! Sebagai Supernova-maniac, saya berasa dipertemukan oleh takdir untuk meledakkan mimpi menulis dalam diri yang sudah lama tiarap. Dalam tulisan ini, saya akan share semua ilham dalam Dee’ss Coaching Clinic.

Bertempat di Pepusakaan Bank Indonesia, Dee hadir dalam senyum dan semangat kota Pahlawan. Dee aslinya lebih cantik daripada di layar tivi dan sangat langsing, walaupun anak sulungnya sudah berusia 10 tahun. Kami ber-35 dirasuki ilmu berjibun yang jarang bisa di dapatkan oleh sembarang orang.

Coaching kali ini sangat special bagi Dee, karena baru pertama kali di gelar dan langsung merambah para penggemar fanatiknya di tujuh kota besar se-Indonesia.

Dee mengawali penuturannya dengan visi besar dari dirinya yang mengggandeng Bentang Pustaka selaku penerbit buku Supernova dalam acara DCC ini. Dengan model seleksi tulisan review buku, Dee mendatangi penggemarnya yang memang ada niat dan keinginan kuat untuk menulis. Maka, muncullah nama-nama dari beragam latar belakang. Dari emak-emak rumpi, sampai anak SMP yang imut.


#Kisah Dee

Tulislah hal yang ingin kamu baca

Dee kecil adalah petualang imajinasi, menggemari segala jenis bacaan. Kesukaannya berlanjut saat remaja pada serial bersambung dalam majalah Gadis, menelurkannya Perahu Kertas. “Karena saya ingin sekali membaca karya remaja yang sekarang nyaris tidak ada,” tegasnya.

Serial supernova lahir dari keprihatinan atas konflik dan perang atas nama agama yang menyeruak hebat di awal tahun 2000-an. Efek epifani begitu Dee menyebutnya, melahirkan Supernova yang berinti pencarian jati diri semi spiritualitas.Ada suatu masa dimana Dee mengambil les memasak roti. Terilhami oleh adonan ragi (biang), lahirlah buku Madre yang juga sudah difilmkan.

Kesembilan bukunya terinspirasi atas hal yang ingin disampaikan ke orang, dan menjadi buku yang paling ingin ia di baca. Standar buku minimal adalah membuat penulisnya tertarik untuk membacanya. Hal itu menjadi tolak ukur pertama sebelum orang lain, sebelum pembaca.

Di sela pengerjaan Supernova sendiri, Dee terkadang “menyambi” dengan menulis buku lain, baik yang baru maupun mengumpulkan tulisan lama. Semenjak beberapa bukunya diterbitkan, terkadang Dee juga terlibat dalam pembuatan soundtrack, bahkan juga membawakan lagunya sendiri. Namun Dee mengakui bahwa menulis adalah darahnya. Kebutuhan dalam hidupnya.


#Syarat Menjadi Penulis

Ade Rai tidak kekar dalam semalam

Begitu pula dengan menulis, setiap penulis tidak ada yang instan. Semua dimulai dari nol, bertahap dan konsiten. Dee sendiri “hanya” mampu menuliskan rata-rata setiap hari adalah dua lembar. Tapi ingat, konsisten!

Hanya ada kriteria umum untuk  menjadi penulis: mampu berpikir kreatif, tekun berlatih, tahu buku apa yang mau ditulis dan memiliki deadline.

Poin pertama bisa dilatih dengan meningkatkan intuisi dan kepekaan terhadap sekitar. Poin kedua itulah yang terpenting. Dee memberikan ilustrasi seperti membagi makanan. Jika ada penulis menargetkan buku dengan 170-250 halaman, itu terdapat sekitar 50.000 kata. Jika dicicil setahun, cuman memakan setengah halaman setiap hari. Kecil, tapi konsisten itu wajib!


#Menulis Itu Menggali

Satu hal yang nyaris semua pembaca buku Dee mengalami adiksi, adalah ciri khasnya Dee: mampu memandang hal biasa dari sudut pandang yang baru dan segar. Serial Supernova menjadi semacam kampium karyanya, yang kita senantias dibuat geleng kepala berkali-kali.

“Bagaimana jjika kalian menjadi seekor cicak,” serunya dalam proses imajinasi kreatif.

Pandangilah setiap benda di sekitar menjadi sebuah kejadian unik. Imajinasikan melebihi batas nalar yang tak sewajarnya. Karena bagi Dee, mau diakui atau tidak, semua manusia mengalami siklus hidup yang sama, memiliki perasaan yang sama dan punya persoalan yang sama. Tugas penulis adalah, menjadikan hal itu menjadi unik.

Karena itulah, menjadi penulis haruslah menjadi pengamat yang baik terlebih dahulu. Bekennya ia sebut expanding our awareness.  Kepekaan penulis atas hal detail dalam seni berkehidupan adalah syarat utama dalam pencarian ide kreatif dalam menulis.

Ketidaksamaan dalam hidup menjadikan penggalian ide tulisan makin dalam. Bagi Dee, sebenarnya menulis adalah penggalian hidup terhadap diri sendiri, meluaskan jangkauan pemahaman atas batasan pemahaman hirearki atas satu-dua pandangan objektif saja.

Dan, karena menulis itu adalah intuisi probadi, hal ini perlu dilatih terus menerus. Terlepas dari tanggapan pembaca yang baik –juga buruk, tugas penulis adalah menjaga konsistensi untuk selalu menulis, Ibarat yin dan yang, komentar baik-buruk akan senantiasa ada dalam wujud pembaca, tulisan, atau justru penghargaan. Jadi minimal, buatlah menulis sebagai hadiah buat kalian sendiri. Bukan untuk mencari pengakuan.


#Fokus dan Deadline

Menjadikan menulis sebagai profesi tidak mudah. Tanpa perencanaan matang, tulisan bisa mengambang, bercabang dan lelah mencari ujung. Dee sendiri mengaku sudah bersahabat dengan deadline. Baginya, deadline itu berfungsi untuk merealisasikan yang abstrak.

Banyak penulis merasa ide biasanya berkeliaran bebas di atas kepala justru saat sedang menulis. Banyaknya ide yang ada, justru sering menjadi boomerang, men-divergen-kan alur ide yang sudah ada. Menyiasati ide yang liar, Dee membagi tips dengan model “Celengan Ide”.

Setiap ide yang mucul, semua ditampung, jangan dipaksakan membuangnya –karena khawatir tidak fokus. Tapi semua harus terukur, terencana sesuai deadline. Penulis tidak bisa memaksakan alteregonya sendiri dalam proses penulis. Hal ini perlu disadari bahwa di depan penulis, ada yang namanya penerbit dan pembaca yang sedang menunggu.

Jadi. berdamai dengan ide, tapi juga bersahabat dengan deadline.


#Teknik Kepenulisan

Saya mengingat halaman pertama buku Gelombang, ilustrasi pertama tentang sosok Jaga Portibi seolah berada di sebelah saya. Riset, kemampuan ini adalah salah satu yang khas dari Dee. Dalam setiap tulisannya, semua diskripsi nampak riil di dunia nyata. Sampai kita tidak tahu batas fakta dan fiktifnya. Karena Dee sendiri mengakui, tidak bisa memaksakan semua setting dalam ceritanya ada dalam dunia nyata. Memfiksikan sesuatu yang fakta, begitu kaidahnya.

Dalam kepenulisan seri Gelombang, Dee menekankan unsur verisimilitude (tidak ada padanan terjemahan yang pas).  Hal ini ditujukan agar setiap konflik cerita menjadi semi-realistis.

Panjangnya jumlah halaman novel, sering kali membuat nafas penulis bisa habis di tengah jalan. Sebelum mulai menulis, Dee selalu membuat mind map yang disebut “Struktur tiga babak”. Diawali dengan pembentukan setting dan karakter tokoh, dilanjutkan dengan membagi-bagi penyambungan antar tokoh dalam peristiwa, konflik, lalu penyelesaian.

Dengan cara ini, penulis sudah bisa mengetahui dari awal titian cerita dari awal sampai ending. Sisanya, penulis tinggal merangkai bahasanya saja.

Dee lagi makan hehe


Epilog

Pesan paling mengena dari Dee adalah tentang kedisiplinan dalam menulis. Dee sendiri sempat mengalami fase kegalauan atas ritme menulisnya ketika melahirkan anak pertamanya. “Apa saja masih memiliki waktu, ruang dan kemampuan untuk menulis?”. Dan bingo! Kedisiplinanlah yang menjawabnya. Sekarang, dia memiliki waktu menulis di sekitar jam 4 pagi sampai pagi sebelum anaknya bangun.


Displin menulis menjadikannya sebagai salah satu penulis produktif di Indonesia. Walaupun, Dee sendiri mengaku kalau kecepatan menulisnya tergolong lambat, Hanya satu buku dalam 1,5 tahun. Yah, mungkin begitulah semua penulis besar. Merendah –yang sejatinya meroket.

Ya, Ade Rai tidak kekar dalam semalam!




*) postingan sangat nelat

No comments:

Post a Comment