4 May 2011

Sahabat Terbaik: Pertama


Sejauh ini, aku punya dua orang sahabat akrab. Mungkin paling akrab dan dekat secara personal. Walaupun jarak memisahkan kita ratusan kilometer, namun posisi mereka belum tergantikan (lebay poenja). Namun dua orang ini memiliki karakter yang bertolakbelakang. Karena perbedaan ini pula, saya sering berdebat hebat sampai eyel-eyelan dengan mereka berdua. Karena kedua-duanya juga berbeda dengan saya. Walaupun pemikiranku juga tidak jauh berbeda dengan keduanya.

Sahabat pertama, seorang perfeksionis sejati. Dibumbui dengan jiwa-jiwa kholeris tingkat akut. Teman saya ini suka men-judge suatu keadaan dengan cara pandangnya sendiri. Tidak mau mempedulikan kondisi orang yang menjalani atau proses yang terjadi. Saya pun sering menjadi korbannya. “Koen iku...bla.....bla...bla....,”

Saya sering muak dengan cara dia mengetrek-ngetrek kesalahan orang dengan nada sinis plus getir, nyindir dan nyinyir. Dia suka membanding-bandingkan. Dengan sesuatu yang jauh lebih bagus hasilnya, dengan yang lebih perfect! Parahnya, dia sering membandingkan dengan dirinya sendiri. Huft, menjengkelkan!

“Aku lho bisa seperti ini....bla...bla...bla....”

Saya termasuk tipikal orang yang sangat benci dibandingkan dengan orang lain. Kalau dia sudah berbicara tentang dirinya sendiri, saya sudah pasang penawarnya: Tidak saya reken! No reken u!

Tapi secara pribadi saya salut dengan dia. Walaupun dia suka membanggakan dirinya (entah narsis dengan wajah gantenganya, kedermawannya, materi yang dia hasilkan, idealisme, perjuangannya, dll), saya selalu kagum dengan dia secara personal. Dengan tuntutan pribadi yang selalu berharap yang terbaik dan paling baik, dia bisa membuktikan bahwa dia bisa meraihnya!

Termasuk waktu dia jatuh ke lembah hitam, saat jiwanya sudah tidak lagi di dunia walaupun nyawa dan raganya masih bersatu. Dia berhasil bangkit! Sangar!

Dia bisa menjadi terbaik di dunianya. Dari akademik, IPK cumlaude. Organisasi, dia bisa mencapai tataran tertinggi organisasinya. Paras wajah di atas rata-rata. Sudah berbisnis sejak maba. Mandiri finansial entah dari semester berapa. Hafalan surat, sangat banyak dan cepat hafal. Totalitas dalam semua amanahnya, tidak pernah setengah-setengah!

Ya, semua dia lakukan dengan totalitas pengabdian! Saya masih ingat ketika dia merangkap-rangkap aktivitas yang membuat saya geleng-geleng jempol kaki. Saat dia mengurusi Tugas Akhir, dia nyambi pekerjaan yang menuntutnya jam kerja. Saat itu pula dia menjadi coordinator suatu acara yang mewajibkan untuk berkoordinasi dengan semua universitas dari tujuh kota di jawa timur. Tidak hanya Surabaya yang punya sekitar 30-an kampus, tapi dia juga harus ke Madura, Tuban, Mojokerto dan lain-lain. Nah, dengan perjuangan yang penuh berliku nan terjal, dia bisa melaluinya dengan menakjubkan!

Dia lulus tepat waktu –cumlaude pula-, acaranya sukses besar dengan tingkat partisipasi nasional (dari Ambon, Maluku pun sampai datang), bisnisnya lancar, kerjaan OK. Siapa coba yang tidak ngiler dengan pencapaian luar biasa seperti itu?

Dengan paradigmanya yang selalu ingin mendapatkan hasil sempurna membuat setiap jengkal langkahnya juga harus sempurna, kira-kira begitulah tabiat pemikirannya. Luar biasa bukan?

Satu hal lagi berkenaan dengan hubungan kita, dia selalu bisa menjadi sahabat di saat baik dan buruk. Kalau ada sesuatu yang bagus telah aku lakukan, dia tak segan-segan untuk memujiku setinggi langit. Walaupun aku sering risih kalau dipuji olehnya, terlalu lebai. Juga ketika ada yang tidak beres dengan tingkah lakuku, dia juga tak segan untuk mendamprat dan mengetrek-etrek diriku hingga terkadang aku harus muhasabah total sambil berurai air mata. Kalau kita sama-sama gila, kita juga menjalani terapi dengan gila: begadang hingga pagi, nongkrong di cafe, hingga jalan-jalan tanpa tujuan. Kalau lagi sumpek, kita sama-sama member masukan, juga terkadang pujian dan cacian pula. Lengkap!

Tapi ya itu tadi, saya paling benci kalau dia mulai men-judge aktivitas ku. Walaupun aku selalu berkoar, aku bukan kamu dan kamu juga tidak bisa menjadi diriku! Proses kita berbeda boi. Tapi tetap saja, dengan enteng dia menjawab “Kalau aku bisa mengapa kamu tidak bisa?”. 

Arggghhhh. Kepala batu ketemu kepala granit, beginilah jadinya kalau kita bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah, dan mesti berakhir dengan “tingkah kekanak-kanakan” kita sendiri. Ya, keakraban kita terjalin karena keliaran pikiran kita, kegilaan kita dan tingkah kekanak-kanakan kita yang jarang diketahui orang lain. Ya, dia (sok) cool dengan orang lain.

Tapi aku selalu kagum dengan dirinya. Walaupun sampai sekarang aku tetap sering tidak sependapat dengan dirinya. Bukankah warna warni hidup itu jauh lebih indah? Seperti pelangi....

2 comments:

Anonymous said...

Ini mas mafi marmara y? duh keren banget tuhmas mafi. dapat anak biologi tuh. duh biologi emang keren. apalagi mantan ketumnya. keren banget lho. siapa y nama mantan ketum y keren itu? yg tahu bs dapat tahu deh. heheh. hohoho. Bando ya ampuuuuuuuuuuun

hudahoe said...

Mas Yudha ganteng, ngapain pake cara paparazy? Hahaha..

Yap, tebakan anda benar semua. Termasuk ketumnya yang subhanallah keren banget :)

Ayo, ngeblog mas!

Post a Comment