15 May 2011

Rasa Itu

“Senyumannya menghangatkan jagad manusia. Meneduhkan seluruh jiwa di atas selimut mayapada. Juga, atas kehidupan fana ini. Semua berputar selaras dengan putaran bulan atas bumi ini. Menampakkan segala titisan kebaikan. Aurora keajaiban-Nya”

Ku awali ayunan langkah pertama hari ini dari kota Ronggolawe, Tuban menuju kota para Buaya. 126 kilometer ke arah barat sembari menikmati untaian Pegunungan Kapur Utara yang semakin terlihat ompong karena pembalakan liar batu kapur. Juga jalanan yang ikut-ikutan ompong, tanpa perbaikan hingga menjadi jalan “goyang patah-patah” khas Uut Permatasari.

Perjalanan normal bisa mencapai 2,5 sampai 3 jam. Tapi hari ini aku harus sudah tiba di Universitas Wijaya Kusuma jam 9. Ku pacu kuda besi tuaku ini dengan setengah ngebut, dengan angka speedometer harus di atas 80 km/jam atau TELAT! 

Di tengah jalan, beberapa SMS kemarin dan pagi baru masuk secara serempak. Efek sinyal (tidak) kuat alias sekarat di desa saya, jadi kalau ada SMS, masuknya pasti telat. Sinyal semua operator di desa saya harus tunduk pada hukum alam: hidup tak mau, mati pun enggan, hobinya sering pingsan jamaah. Jadi kalau pas dapat sinyal penuh, SMS masuk rombongan, jam berapa pun ngirimnya. Terpaksa harus membalas SMS satu per satu plus melakukan panggilan di tengah jalan.

Sementara, saya pun tidak tahu apa yang telah dilakukan teman-teman di sana. Saya hanya merasakan tubuhku yang menjadi bentoel-bentoel karena semalam tidur hanya beralaskan tikar dari ayaman daun pandan di atas tanah yang tidak rata. Sebenarnya sudah terbiasa, tapi malam itu ada benjolan gede (entah batu atau tanah) yang sangat mengganggu di bawah tikar.

Sudahlah, saya sudah sampai di Surabaya. Kondisinya hujan, padahal sampai di Gresik masih panas sekali. Menunggu Mbak Artika di UWKS, ada telpon masuk dari Mafi. Seperti biasa, anak baik hati tapi cerewet ini menanyakan segala aktivitas Taman Baca. Ya dikritik (menu wajib), diberi saran, masukan, dikasih donasi juga.


Ah, saya teringat dua tahun lalu. Saat awal perdjoengan di Taman Baca. Mulai dari salah alamat, diseret-seret sama PSK tua, sering ngajar hanya ber-“dua sejoli”, pontang panting dengan aktivitas kampus, TA dan kerjaan, ngadepin adik-adiknya yang jauuuuh lebih liar daripada sekarang, patungan uang buat acara, sampai aksi tangis menangis haru yang belum pernah saya rasakan kali keduanya. Sekarang, berbeda. Ini masa sekarang.

Tentang rencana rekreasi, dia mengemukakan hal ini. Rencananya dia mau ikutan acara rekreasi ini. Tapi konsekuensinya ada uang tiket (sekitar 800ribu) melayang di atas udara. Bagaimana kalau dia tidak ikut, dan uang itu ditransfer buat biaya rekreasi nanti. Bagaimana kawan? Dengan (sok) bijak saya menjawab,” Ya terserah kamu boi, kalau kamu merasa perlu ikut ya datang aja, kalau nggak perlu juga nggak papa. Daripada mubadzir lho”. Padahal dalam hati, “Wes, nggak usah melu ae koen! Bakal ngrewuki tok! Sing penting duwitmu teko!” Haha. Bercanda boi!

Eh, saya dan Mbak Artika sudah sampai gang dua. Aktivitas bisnisnya sepi, efek hujan. Bertemu dengan adik-adiknya yang ngos-ngosan kehausan. Nah, di Taman Baca, kok pengajarnya banyak sekali. Ghoni dan Satria malah “merusak” pintu dengan menempel paku disembarang tempat. Rencana game dan acara outdoor gagal total karena hujan. Rencana main bentengan juga ikut gagal. Praktis semua diganti ala kadar di dalam ruangan dan di jalan.

Game pertama, jaring laba-laba. Salah membuat jaring-jaring, miskomunikasi, dan kebringasan adik-adiknya membuat tali rafianya pun jadi mirip kolor. Gagal total untuk game ini, hanya mendapatkan sedikit keringat dan sorakan ringan.

Game kedua, menaruh botol air minum dengan tali. Aksi bringas-membringas kembali aktif dengan menendang-nendang botolnya. Peraturan permainannya pun harus dilakukan dengan loud speaker dengan buliran keringat seukuran jagung (maksudnya biji jagung). Dasar anak-anak, isengnya mengalahkan daya jangkau kreativitas kita. Peraturannya pun bisa diakal-akali dengan akal bulus. Padahal maksud saya waktu memilih game ini agar mereka bisa menghargai temannya sendiri. Eh, aksi Catur-Guntur yang saudara kandung pun membuat ujung kaki sampai ujung kepala geleng-geleng.

Entah mengapa, hari ini umpatan mereka begitu aktif. Apakah sekarang lagi musim mengumpat? Umpat mengumpat menjadi satu. Walah, opo maneh iki.

Game ketiga, Cerdas Cermat dengan jawaban tersebar. Ini bagian paling seru dan gokil. Semua pertanyaannya dibuat sangat umum dengan jawaban yang ditulis di atas kertas. Dimana kertas ini disebar di lantai. Sadarkah kawan, itu dilantai apa kawan? Itu wisma, atau sebut saja “ruko” bahasa halusnya. Biasanya di situ ada tumpukan krat bir. 

Kalau pas ngajar sore, suara kita fardhu ‘ain harus lebih keras daripada karaokenya. Jadi kalau Kawan merasa suaranya pelan, coba latihan peran menjadi penagih hutang atau nyanyi lagunya Rocker Juga Manusia-Seurieus sampai fashih. Jangan lupa sebelum ngajar, minum segelas karbit tanpa gula. Belum nanti pas musim kemarau dan bulan Puasa.

Kembali ke jalan yang lurus. Pas game ini, ada beberapa kejadian unik. Tidak kalah gokilnya dengan pekan kemarin. Pertama, saat pertanyaan: “Tumbuhan membuat makanannya sendiri dimana?”. Dengan tingkat kepedean akut, kelompoknya Catur mencoba mencari jawaban mereka: “Nasi”. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka.

Kejadian kedua: “Malaikat yang menjaga Surga”. Lagi-lagi kalompok Catur dengan jiwa PeDe-nya menjawab “Izrail”. Terlebih melihat tingkah mereka, lucu pool. Dasar anak-anak.

Terakhir kita menggambar sket wajah teman yang dipandu oleh Mbak Icha. Dengan modal kertas A4 saja plus alat tulis pinjaman dari si empunya, adik-adiknya menjadi lebih jinak. Lebih tenang dan nurut sampai sketnya jadi. Mungkin karena kecapekan juga. Hasilnya? Lumayan, ada yang hancur (entah karena objeknya yang hancur atau pelukisnya yang tidak becus), ada yang bagus. Pe eR hari ini: membuat sket Ibu untuk masing-masing anak.

Kalau mau mengklasifikasikan talenta mereka yang berbakat dibidang art ada Dekrit, gambarnya baguuuuss sekali dan out the box. Tidak akan ditemukan gambar dua gunung bergandengan dengan matahari di tengahnya. Sayang, dia di-DO dari sekolahnya. Orang tuanya (yang seorang PSK) sudah angkat tangan dan sejak awal memang tidak niat membesarkan anak. Justru Mama “germo”-nya yang lebih peduli dengan dia. Sekarang, dia jarang ke Taman Baca. Diajak juga tidak mau. Bahkan, bermain dengan teman-temannya pun jarang. Lebih sering ke rental PS dan warnet. Ada yang punya solusi Rek?

Saya sudah coba ngobrol sedikit dengan dia, tapi tetap saja dia nyliwur terus. Pak RT-nya pun sudah kapok mengingatkan Ibunya. Saya sudah coba audiensi ke YDSF, mungkin ada celah yang bisa kita masuki. Tapi sampai sekarang, masih nihil. Pak Kartono berharap, bagaimana pun caranya, anak ini harus sekolah. Entah di sekolah umum atau pesantren. Dimana dan bagaimana caranya? Masih diupayakan apapun yang bisa dilakukan.

Ada usul dari teman saya ada yang ngusulin buat dicarikan orang tua asuh. Karena kalau tetap di sekolahkan dan dia tetap mendapatkan olok-olokan dari temannya (diejek kalau dia baci dan anaknya orang nggak nggenah), percuma saja. Perlu pendekatan intensif secara personal. Ya, saya juga memahami. Hanya siapakah orangnya? Bagaimana? Ada saran rek?

Saya bersama dengan Bang Satria nanti coba menulis kisahnya dia (tentu dengan nama samara) dalam buku. Mungkin nanti Pemkot, Pemprov atau siapapun itu bisa tergerak dengan kondisi suram kotanya para Buaya ini.

Sudahlah, kembali ke jalan yang lurus (lagi). Anak yang punya sense of art lumayan bagus ada Riki. Juga punya jiwa leadership yang mumpuni dibandingkan dengan teman-temannya. Hanya profil keluarganya super berantakan. Bapaknya masih dipenjara, Ibunya mantan pecandu narkoba (pernah dipenjara juga), bersama salah satu kakaknya. Dia hidup di lingkungan wisma bersama “Mbak-Mbak” di sana. Pernah suatu kesempatan saya silaturahim ke rumahnya, eh sama Mbak-Mbaknya dikira pelanggan. (Kata orang, rejeki tidak boleh ditolak, lho!??!)

Kalau Catur, kecerdasan numeriknya sangat unggul! Diatas rata-rata orang cerdas sekali pun. Hanya dia, lumayan susah diatur. Sementara itu Yuni, Nane, Devi, Adi, dan Nanda lawan karakternya. Mereka lemah sekali dalam pelajaran. Si Adi tahun kemarin tidak naik kelas. Sedangkan Nanda waktu dalam kandungan, Ibunya “nyambi” nge-drug. Devi dan Aggun, adiknya, manja sekali karena sejak kecil Bapak-Ibu sering main tangan kepada mereka. Bahkan pernah dilakukan di depan kita!

Sementara Zahra, Rizka, Ayu, Guntur, Reni dan Alvin berasal dari rumah tangga biasa. Zahra yang paling “baik” juga paling narsis (paling suka kalau dipuji cantik). Alvin perangainya agak kasar dan hobi mbebek (ikut-ikutan). Sisanya: Dharma, Dwi, Yanti, Febri dll (rodo bingung silsilah’e) berasal dari keluar “tidak biasa”. Oh ya, Nane, Riki dan Nanda itu saudara kandung. Guntur dan Catur juga saudara kandung.

Dulu ada anak namanya Dhatun yang qiro’ahnya bagus sekali namun tidak ijinkan sama orang tuanya ikut di Taman Baca lagi karena karakter anak-anak di sini lebih bringas. Juga ada anaknya namanya Sinta yang cerdas, cantik, dan aktif sekali. Dan beberapa anak yang hanya ikut kalau acaranya jalan-jalan dan rame-rame (biasanya pas Ramadhan) seperti Feri dan Wahyu.

Ada satu kesamaan, mereka sudah hidup berdampingan dengan suara karaoke (yang kalau malam bisa membuat emosi naik ke level 253!). Dan juga, seluruh praktek dunia esek esek dan segala aksesorisnya sudah menjadi bagian alam bawah sadarnya. Khatam, istilah saya.

Terakhir, kita sholat Dhuhur di Masjid dan ngaji bersama.

********

Terkadang saya berpikir begini, apakah semua hal yang kita lakukan ini akan menjamin masa depannya? Minimal menjamin bahwa mereka tidak akan terjerumus dalam dunia prostitusi (terutama yang perempuan). Di setiap pekan kedatangan kita (yang tidak rutin) ini, apakah memberi perubahan berarti dalam hidup mereka? Dan jawabannya pasti tidak bisa, karena tidak secuil pun masa depan diperlihatkan oleh Allah kepada hamba-Nya.

Terkadang (lagi) saya berandai seperti ini, jika saya datang ke sini 10 tahun lagi, bagaimana kehidupan mereka kelak? Apakah akan ada salah satu diantara mereka yang tergerak untuk mengubah lingkungannya? Atau malah mereka justru menjadi pelacur juga? Na’udzubillah.

Ah, entahlah...

******

Selepas kabut pagi, saya menghirup udara panas, angin kering, kena hawa lembab, gerimis, hujan deras dan akhirnya kebanjiran di tengah jalan menggiring fisik saya menuju nggreges.

*) Judul copast dari Ustadz Ghoni :-)

No comments:

Post a Comment