4 May 2011

Sahabat Terbaik: Kedua



Nah, sahabat keduaku ini justru bertolakbelakang dengan yang pertama. Sama-sama aktivis. Hanya dia lebih moderat. Lebih sering menilai suatu fenomena atau orang dengan banyak kaca mata sudut pandang yang beragam. Jadi tidak melulu “menurut gue”. Satu ditambah satu tidak selamanya hanya menghasilkan angka dua, itu istilah ku untuk pemikirannya.

Dia selalu bisa menjelaskan dan memandang suatu hasil adalah bagian dari proses dan input yang berbeda. Sama dengan aku, dirinya paling benci kalau disbanding-bandingkan. Baginya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak bisa disamaratakan dengan orang lain, walaupun itu saudara kembar siamnya. Semua berbeda dengan jalan dan prosesnya masing-masing. Jadi kalau hasilnya berbeda, dia mewajarinya dengan mencari sebab-akibat yang terjadi.

Misalkan saat melihat orang stess, entah temannya atau dirinya sendiri, jika dirinya bisa mencari sebabnya, dia sudah bisa menebak taraf ke-stress-annya plus bagaimana dia harus meresponnya. Sama halnya ketika dia bercerita ada salah satu saudaranya yang bercerai, dengan intonasi datar, dia mampu menceritakan layaknya orang ngobrol biasa. Seperti bukan hal yang luar biasa, karena dia menganggap itu bagian dari pelaku dan proses yang panjang. Sehingga tidak bisa di-judge dengan satu sikap, tanpa mau tahu kondisi yang sebenarnya. Kalau dia menjadi mereka, belum tentu dia bisa menjadi lebih baik, begitu alasannya.

Juga ketika ada cita-cita atau harapan yang tidak terwujud, dia tidak lantas mencemooh ketidakbecusan kita. Walaupun dia bisa bertindak hal itu. Namun dia selalu membesarkan hati. Karena dibalik ketidakberhasilan sesuatu pasti ada yang salah. Hal yang dilakukan diluar prosedural yang seharusnya. Namun jika itu akibat kesalahan yang aku sengaja, tak segan-segan dia bakal “marah” tidak berujung. Benar-benar bisa mau mengerti setiap detail dari proses.

Ya, variable yang dia ikutkan sangat banyak, sehingga ia selalu menghargai adanya perbedaan yang ada. Lebih kompleks memandang suatu hasil dan tidak pernah MEMBANDINGKAN DENGAN DIRINYA SENDIRI! Karakter ini lah yang sering saya namai: moderat memandang manusia. Tanpa embel-embel apapun, memandang manusia sebagai manusia biasa.

Cuplikan dari dia yang paling saya ingat adalah perkataan Michele Obama, “Saya selalu mengingatkan suami saya bahwa dia hanyalah manusia biasa”.

Ya, manusia biasa. Jika kita mau memandang semuanya dengan kacamata manusia biasa, niscaya kita tidak akan pernah silau dengan kehebatan orang atau justru merasa merendahkan orang yang jauh di bawah kita. Semua mempunyai kelebihan masing-masing, yang tidak kita miliki.

Kembali ke temanku ini. Aku juga mengagumi pemikirannya, cara pandang dia dengan semua karakternya yang plus minus. Sama dengan sahabat pertama, dia selalu ada di saat senang atau tidak senang. Suka memuji jika ada pencapaian yang telah aku raih. Juka suka ngomel-ngomel kalau ada kesalahan yang aku perbuat, sengaja atau tidak. Sama-sama keras kepala, hobi debat kusir dengan diriku. Yang ujungnya hanya satu, pemikiranmu punyamu, pemikiranku biar menjadi milikku, okey?

Terkadang saya lebih pro dengan sahabat kedua ini karena sikap membumi kita akan membawa ke arah karakter khusnudzan (berpikir positif) dalam memandang segala persoalan hidup juga bisa menjadikan diri kita spesial. Bisa menghargai diri sendiri apa adanya, karena kita spesial daripada yang lain. Limited edition, bahasa pasarnya.

Daripada sikap sahabat pertama saya yang cenderung pragmatis, tidak mau tahu kondisi orang lain. Semaunya sendiri menilai orang. Sahabat kedua saya ini adalah lawan sifatnya!

Tapi, kadang saya juga pro dengan sahabat pertama ini. Mengapa? Sikap perfeksionis itu sangat diperlukan untuk “memaksa” diri keluar dari zona nyaman. Menjadikan potensi diri melejit, untuk menjadi yang terbaik dari yang baik. Pemaksaan itu perlu, bahkan fardhu ‘ain. Bagaimana caranya? Salah satu yang paling praktis adalah berpacu pada hasil yang terbaik. Dengan memasang target yang terbaik, pasti mau tidak mau kita akan berjuang sekuat tenaga untuk meraihnya. Seperti perjuangan mempertahankan hidup dan mati, semuanya harus direncanakan sehingga setiap jengkal langkah adalah bagian puzzle terbaik untuk merangkai asa yang terbaik pula. Jangan sampai ada cacat walaupun hanya sejengkal.

Nah, tau begini saya sering plin plan sendiri. Soalnya saya bukan termasuk kedua-duanya, juga bukan yang lain. Alias, terkadang saya menjadi sahabat pertama, kadang menjadi sahabat kedua. Ah, kalau bermain api pasti lama kelamaan bisa terbakar juga, walaupun awalnya baru sangit. Sahabat selalu menjadi bagian dari cara berpikir kita terhadap kehidupan. Sedikit atau banyak, pasti!

No comments:

Post a Comment