Ia hanya seorang dokter. Ia hanya seorang mantan rektor ITS.
Kisahnya,
ia hanya seorang dokter umum biasa. Tapi, hampir seluruh penghuni ITS
tahu namanya, siapa pun itu. Sosoknya begitu dekat, tapi juga sangat
jauh. Hanya simbol tentang dirinya yang berdiri kokoh. Menjadi tempat
rujukan utama bagi para Mahasiswa. Namanya, “dr Angka Nitisastro”
terpahat dibawah patung dirinya. Terdiam, bersama dengan nama
rekan-rekan seperjuangannya.
Ia hanya seorang dokter.
Tapi, ia adalah pendiri ITS, kampus teknik yang dihuni oleah para calon
insinyur. Ia hanya seorang dokter, yang juga Rektor ITS pertama. Ya, ia
hanya seorang dokter dan mantan Rektor ITS. Titik.
Adakah hal lain selain dokter dan pendiri ITS?
Adakah hal lain selain Plaza dr Angka?
Adakah hal lain selain patungnya?
Ah, saya sendiri pun (pernah) tidak mempunyai jawabannya. Sederhananya, tidak ada alasan untuk apa tahu-menahu tentang dia. Toh,
kita juga tidak berdosa jika tidak tahu tentang dia. Lagi pula, adakah
sivitas ITS yang peduli dengan dia? Akhirnya, bukan salah saya jika saya
pun sama dengan mereka. Mental penonton sejarah.
Namun, apakah tempat saya berpijak sekarang akan tetap sama jika kala itu dr Angka memutuskan hanya menjadi dokter (biasa) saja?
Amnesia Sejarah
Jika
negeri ini, kita bisa mengenal Ir Soekarno dimana-mana. Di bandara, di
buku pelajar, di buku sejarah, di setiap transaksi jual-beli, hingga di
jalan-jalan berupa baliho kampanye partai. Sosoknya begitu dekat,
sejarahnya begitu nyata. Walaupun kisahnya terpisah empat generasi.
Bahkan ideologinya masih mengalir deras hingga kini.
Tapi
di kampus ini, mencari kisah hidup dr Angka menjadi sangat berseni.
Kisahnya yang terpisah empat generasi dengan kita menjadikan kita
seperti paleontolog. Barang peninggalan yang paling kentara hanya
monumen patung ditambah sedikit tulisan di prasastinya. Selebihnya hanya
tulisan singkat (yang selalu nyaris sama persis) dari beragam jenis
buku yang pernah diterbitkan oleh ITS. Selebihnya lagi? Tidak ada. Kita
seperti amnesia sejarah.
Jadi memang tidak salah jika saya hanya mengenal tidak lebih dari empat kata ini saja: dokter, rektor, plaza dan Kopma.
Preambule
Semua
berubah ketika saya bertemu dengan Bu Budi, begitu saya memanggilnya.
Dengan logat Surabayanya yang khas, dia menuturkan banyak kisah tentang
Bapaknya, dr Angka Nitisastro.
Mulailah beragam pertanyaan
meloncat-loncat. Ditemani rintikan gerimis sore hari, saya mulai
pertanyaan paling sederhana, “Pak Angka itu jadi dokter dimana, Bu?”
“Sejujurnya
dik, saya tidak begitu tahu kehidupan Bapak selama mendirikan ITS.
Kita, anak-anaknya hanya tahu ya sekilas saja. Bapak tidak pernah cerita
apa-apa. Ketika ITS sudah menjadi negeri, kita juga tidak tahu. Tapi
saya tahu Bapak kerja di Rumah Sakit Pelabuhan (Perak, Surabaya),”
jawabnya pelan.
Direktur Yayasan Perguruan Tinggi Teknik
(YPTT) Sepuluh Nopember ini lulusan Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga ketika masih zaman Belanda. Nama sekolahnya NIAS (Nederlandsch
Indische Artsen School).
“Bapak kan dokter Bu, kok mau mendirikan kampus teknik?,” tanya saya menyambung.
Lalu,
Bu Budi berkisah tentang hal yang sama dengan di buku Informasi dan
Orientasi (I/O) Mahasiswa Baru ITS. Kampus ITS didirikan atas bentuk
keprihatinan para Insinyur yang tergabung dalam Persatuan Insinyur
Indonesia (PII) tentang minimnya jumlah Insinyur kawasan Indonesia timur
dan kebutuhan tenaga industri serta pembangunan di Indonesia.
“Awalnya
Bapak hanya mengusulkan saja. PII menyetujui untuk memfasilitasi
pendirian kampus teknik di Surabaya, namun syaratnya Bapak yang harus
menjadi ketuanya”
Akhirnya, mulai dari nol, dr Angka
Nitisastro mendirikan YPTT Sepuluh Nopember hingga menjadi sebuah kampus
negeri. Dari tempat kuliah yang masih terpencar di banyak tempat,
hingga Kampus Sukolilo, adalah buah usaha dr Angka bersama anggota
Yayasan lainnya.
“Itulah Bapak. Kemauannya keras sekali,
kalau ingin apapun harus terwujud. Seperti pejuang, orangnya berani mati
untuk mewujudkannya”
Kemudian beliau bertutur tetang
perjuangan dr Angka semasa mencari bangunan yang bisa digunakan sebagai
ruang kuliah, susahnya mencari tenaga pengajar, dan tentu keuangan yang
sempoyongan. Di bagian lain, beliau juga bercerita tentang jatuh bangun
dr Angka ketika mendatangkan Presiden RI, Ir Soekarno untuk meresmikan
ITS. (kisah detailnya akan ditulis di dalam buku)
“Melihat perjuangan Bapak di dunia pendidikan, sepertinya Bapak punya darah keturunan pendidik, Bu?” tanya saya penasaran.
“Ya,
Dik. Kakek dan nenek saya itu guru di Bali, mereka juga penulis buku di
sana. Kalau saudara Bapak semuanya menjadi pendidik. Hanya Bapak saja
yang menjadi dokter, tapi Bapak juga aktif di Taman Siswa Surabaya”
“Ohhh..Memang saudara Bapak ada berapa Bu?”
“Ehmm..Saudaranya Bapak ada tujuh, tapi saya tidak tahu semuanya, Dik”
“Bapak yang keberapa?”
“Bapak
itu anak ketiga. Saudaranya terkecil itu guru, kakak-kakanya banyak
yang jadi dosen. Itu adiknya yang terkenal Pak Widjojo Nitisastro itu
lho,” ujarnya lirih.
“Oooo..”
Saat
itu saya tidak tahu sama sekali dengan sosok Widjojo Nitisastro, sampai
ada buku setebal 530 halaman yang menyadarkan tokoh luar biasa ini. Prof
Widjojo adalah arsitek utama ekonomi Indonesia era orde baru, Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional periode 1971-1973 dan Menteri
Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan sekaligus merangkap sebagai
Ketua Bappenas pada periode 1973-1978 dan 1978-198.
Widjojo,
oleh Pemerintah Kabupaten Jombang ditasbihkan sebagai tokoh perubahan
asal kota. Ia disandingkan dengan tokoh Nasional lain seperti Gus Dur,
Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Nur Cholis Madjid (cendikiawan muslim),
Gombloh (Musisi), Cak Durasim (Budayawan), Emha Ainun Najib (Budayawan),
dan lainnya.
Namun sayang, tidak banyak hal tentang dr Angka yang bisa dikorek dari sosok ini. Mungkin karena lamanya waktu yang terlewat.
Banyak
kisah humanis yang saya dapatkan dari wawancara dua jam dengan Bu Budi.
Ada satu kesimpulan yang saya simpulkan sendiri dari cerita beliau.
Para founding father ITS itu, yang telah memperjuangkan pendirian dan
keberadaan ITS, sama sekali tidak mengharapkan apa pun dari ITS. Namun
tidak lantas kita melupakan mereka, bukan?
Ingin saya
bercerita tentang satu momen ini. Entah tahun berapa peristiwanya, bisa
jadi saya pun belum lahir. Kala itu, akan dibuatkan patung setengah
badang dr Angka yang akan dipasang di rektorat (sekarang BAAK). Tidak
semua anak dr Angka tahu tentang itu. Bahkan, Bu Budi pun terkejut.
Waktu itu Bu Budi melakukan protes dengan “kemewahan” itu kepada
inisiatornya, (alm) Pak Rachim.
“Ono opo sih pakai pasang patung segala?”
“Bu, kita tidak bisa memberikan sesuatu pada bapak. Hanya ini yang bisa untuk diingat,” ujar Pak Rachim.
“Oh begitu”
“Itu untuk yang ingat? Lha yang tidak?,” tanya Pak Rachim
“Yo mboh”
“Jadi kenangan kita hanya itu. Jadi untuk riwayat, sama sekali tidak ada. Blas!” ungkap Bu Budi ringan.
Ya, yang ingat. Apakah kita ingat?
bersambung...
Nur Huda
a.n Tim Djoeang Buku Memoar ITS
*) nantikan edisi lengkapnya di Buku Memoar ITS
bisa diakses juga di
http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=9768
No comments:
Post a Comment