Semeru dari desa Sumber Urip :)
"Semeru terlelap tidur nyenyak. Tubuhnya yang menjulur tinggi hampir menyentuh langit, nampak seperti seorang raksasa bertaring tajam yang siap menggigit apapun di bawahnya sesuka dia. Kapan saja.Ya, kapan saja sesuka dia"
Bayangan tentang indahnya Gunung Semeru yang membumbung
tinggi di dalam benak otak saya terbayarkan dengan melihat sekelimut puncak
Semeru yang tertutup awan sore itu. Perjalanan enam jam dari kota Surabaya
menuju Kabupaten Lumajang sedikit terobati dengan melihat pemandangan
menakjubkan itu.
Saya, yang dibesarkan di desa tanpa gunung, tanpa air
terjun, tanpa pohon kelapa menjulang tinggi, tanpa bentang alam hijau nan asri,
sungguh takjub melihat puncak Semeru dari jarak sedekat ini. Hanya 13 kilometer
dari puncak (estimasi kasar). Puncaknya sangat tinggi, melebihi tinggi semua
gunung yang pernah saya lihat. Dan memang dari ukuran resmi, Semeru itu gunung
tertinggi se-Pulau Jawa, sekitar 3676 mdpl.
Gunung Semeru semakin mendekat saat kami memasuki desa
Sumberurip, kecamatan Pronojiwo, kediaman Ali, teman saya yang menjadi penunjuk
jalan sekaligus tempat penginapan gratis. Saya berkelana sejauh ini bukan dalam
rangka rekreasi, apalagi untuk mendaki gunung. Tidak!
Alasan utamanya adalah karena saya tidak kuat suhu yang
terlampau rendah bagi tubuh minim lemak macam saya. Maklum, saya dibesarkan di
daerah Tuban-Surabaya yang merupakan daerah pesisir dengan suhu panas khas dari
lautan.
Kekayaan Semeru
Lanskap desa ini secara umum bisa dianalogikan seperti
wajan. Dari titik terendah desa, bisa dilihat bukit menjulang mengelilinya
dengan ujung titik temunya adalah gunung Semeru. Dari kejauhan juga nampak
gunung Bromo yang puncaknya ternyata gak ada apa-apanya dibandingin puncak Semeru.
Saat pagi hari, gunung semeru tampak jernih sekali dari
ujung bawah sampai puncak. Pematang sawah dipadu pohon kelapa yang tumbuh
sporadis menjadi pemandangan bak gambar alam dalam kalender. Apalagi jika bukit
yang menjadi latarnya tertutup embun, menampah sempurna pemandangannya. Sungguh
eksotis.
Mirip Gambar di Kalender
Bukit yang mengelilingi desa ini seperti guratan wajah
manusia, terbentuk dari dua sesar besar yang menciptakan jurang-jurang dalam
nan curam. Bahkan dari arah Kabupaten Malang mendekati Kabupaten Lumajang, kami
melewati jembatan yang dasar sungai/jurangnya tidak terlihat dari atas. Saya
sempat terpikir ini adalah ilusi alam, namun dua kali melewati kawasan ini
membuat saya yakin bahwa dasarnya benar-benar tidak terlihat!
Lanskap tebing jurang ekstrem ini menciptakan karya alam
yang luar biasa mempesona. Salah satunya adalah Goa Tetes. Akan saya postingkan
setelah tulisan ini.
Mayoritas pematang di sini adalah sawah padi, jauh dari
ekspektasi saya. Biasanya kalau dataran tinggi adanya kebun hortikultura macam
apel, anggaur, apukat dan sejenisnya. Tapi memang tanaman hortikultura di sini
tidak bisa tumbuh baik karena kelembapan lebih tinggi. Hujan juga sering
terjadi di sini.
Satu penyebab lainnya adalah karena di sini pasokan air
melimpah tanpa batas dan gratis. Untuk keperluan mandi misalkan, air dialirkan
dari atas gunung ke seluruh rumah penduduk dengan menggunakan selang elastis
tanpa pompa. Memanfaatkan perbedaan tekanan air dari atas gunung dan dataran
desa.
Air disupplay tanpa katup, jadi mau memakai air sebanyak
apapun tidak masalah. Jika tidak dipakai pun air tetap mengalir deras,
terbuang, menuju selokan dan mengalir ke sungai. Sebagian besar air lainnya
digunakan untuk mengairi sawah. Paduan air melimpah dengan penampang datar
sangat cocok untuk menanam padi.
Komoditas lain yang ditanam di sini adalah salak,
berhektar-hektar kebun salak mengintari daerah sini. Katanya sih, salak di sini
terkenal paling enak setelah salak Bantul-Jogja.
Kekayaan alam lain dari sini adalah “buah asli Semeru”. Yap,
gunung api ini setiap saat mengeluarkan banyak sekali material yang bernilai
ekonomi besar sekali. Mayoritas berupa pasir silika dan bebatuan yang kalau
digunakan untuk mengubur kota Surabaya pun bisa.
Itu pandangan sekilas saya dari informasi Bang Ali yang
lahir dan besar di kota ini. Katanya lagi, Lumajang sebagai kabupaten hampir
tidak ada industri non-alam. Sebuah ironi, kekayaan alam diekspor ke luar
Lumajang dalam bentuk barang mentah saja. Eman-eman banget.
Cerita Horor Semeru
“Kalau malam cerah, terkadang di atas puncak Semeru terlihat
percikan lava mirip kembang api,” celoteh Ali
Saya melongo. Kembang api? Seperti hiburan tahun baru dong? Imajinasi
fantasi saya terjungkal oleh kenyataan bahwa kawah Semeru itu besar sekali. Ibarat
orang batuk, jika dahaknya Semeru muncrat sampai ke desa, bisa jadi desa itu
lenyap terbakar tanpa sisa.
Kenyataan ini ternyata pernah terjadi pada tahun 80-an.
Semeru sedang sakit batuk akut yang menyebabkan desa Sumberurip ini pernah
“tiada” karena tergerus banjir lumpur dari atas. Seluruh penduduk di situ
mengungsi ke daerah lain. Desa pun menghilang tanpa sisa. Beberapa warga
mendirikan rumah-rumah baru lagi, sebagian lainnya mengikuti program
transmigrasi yang difasilitasi Pemerintah pusat.
Jadi, desa Sumberurip ini adalah desa dengan bangunan dan
penduduk baru. Jika mau menggunakan istilah umum, bisa disebut New Sumberurip,
seperti paduan kota York dengan New York atau Dheli dengan New Dheli. Itu murni
imajinasi saya. Jika saya menjadi kepala desa sana pun, saya tidak akan
mengubahnya kok.
Kembali ke atas, jadi yang namanya “kembang api” tadi
terkadang juga berpadu dengan getaran seismik yang menghasilkan serangan seperti
halmer shake. Jadi, menyaksikan
adanya gempa di sini itu seperti orang menyaksikan ada orang jualan bubur di
pasar. Biasa saja. Datar.
Tak mengherankan, saat saya berkeliling desa ini, ada
beberapa spot jalan yang bertuliskan “Arah Evakuasi”. Usut punya usut,
pengalaman masa lalu mengajarkan pengetahuan mitigasi bencana lebih baik. Arah
evakuasi dimaksudkan jika terjadi bencana mendadak, semua orang bisa berlari
menuju saru jalur saja. Meminimalisasi terjadi kepanikan massal.
Pernah juga kejadian ekstrem lainnya, saat itu banyak sekali
hewan yang tinggal di hutan di lereng Semeru turun ke bawah. Saat itu malam
hari. Listrik pun mati. Semua penduduk panik total.
“Seluruh warga desa berkumpul di Masjid, semua berdo’a
semoga tidak terjadi bencana,” curcol Bang Ali lagi.
Saya terdiam begidik. Mengerikan, batinku. Syukurnya, Semeru
lagi berbaik hati hari itu, kepanikan mereka beberapa hari kemudian. Kejadian
seperti itu bukan berarti akhir dari cerita mencemaskan. Penduduk hidup dari
berkah Semeru, sementara dari Semeru pula ancaman bahaya bisa datang kapan
saja. Siap melumat siapa saja.
Saat gunung Semeru ini terjadi erupsi lokal, efek hampir ke
seluruh kabupaten Lumajang dan Malang. Namun, jika terjadi erupsi besar,
bisa-bisa seluruh Jawa Timur dan Bali tertutup hujan debu. Saya teringat
sejarah erupsi Krakatau di selat Sunda. Suara erupsinya saja terdengar sampai
Turki. Debu dan asap tebal hasil erupsi mengelilingi bumi sampai setahun dan
mengakibatkan kekacauan iklim global!
Jalur gunung di sirkum Mediterania memiliki tabiat seperti
saudara kandung, jika salah satu sedang sakit batuk, yang lain siap-siap
tertular. Tak heran jika Semeru sedang batuk, seluruh gunung di Pulau
Jawa-Sumatra ditingkatkan pengawasannya. Dan andai Semeru meletus, bisa jadi
gunung Bromo, Arjuno, Kelud, Wilis, dan lainnya juga ikut-ikutan meletus.
Membayangkan saja sudah sangat mengerikan. Hidup di atas
bentangan alam gunung yang mempesona, indah sekaligus mengkhawatirkan! Hiiii...
*) Aslinya, judul awal tulisan ini adalah “Semeru yang
Sedang Bobok Cantik”. Namun atas pertimbangan kemanusiaan yang menjujung tinggi
asas nomor 13: ANTI ALAY, saya menggantinya dengan judul di atas. Semoga
menginspirasi dan menghibur pembaca.
2 comments:
kok ndak sekalian munggah, mas?
gak bisa. Soalnya jalur pendakian berada di belakang desanya ali, hehe
Post a Comment