30 Sept 2011

Hah, Mungkinkah?





Berat. Suram. Rumit. Tiga kata ini sangat pas untuk mendiskripsikan apa yang ada dalam pikiranku dua detik setelah cerita itu terlontar.

"APA?"

Dan dunia pun seperti berputar-putar. Persepsiku tiga tahun ini pun ambruk, runtuh. Saya benar-benar tidak percaya dengan kenyataan ini. Bahkan nalar ku pun seperti berontak untuk mengiyakan "pengakuan dosa" darinya. Tapi, ia sudah berkata jujur. Bahkan, dari raut muka dan ujung matanya sudah nampak adanya genangan air mata yang mau tumpah. Ia ingin menangis.

"Saya tidak tahu harus cerita ini kepada siapa Mas," ujarnya setelah hampir dua jam ceritanya mengendap.

"Aku juga tidak mungkin menceritakan hal ini kepada orang tuaku. Aku bingung, nggak tahu harus ngapain"

Nuraniku terkoyak parah. Hatiku ditampar oleh pernyataannya. Sungguh, ini tidak seperti mimpi buruk. Jauh lebih fatal dan entah -seperti katanya, berujung dengan penyelesaian atau tidak. Atau justru waktu lah yang akan menjawab semuanya.

Dalam catatan perjalanan hidupku, baru pertama ini, saya mendapatkan sebuah cerita dan curhatan yang mengandung kenyataan yang sungguh di luar nalar ku di awal. Terlebih, orang yang sedang bercerita ini adalah sobat dekat sendiri. Dan anehnya, ia memendam itu sudah sangat lama sekali tanpa mau menceritakan ke siapa pun. Sesuatu yang sangat berat sekali untuk sekedar dipikul. Juga sangat keras untuk dipecahkan.

2,5 jam berlalu. Ia mengutarakan semua kemungkinan keputusan yang bakal dia ambil dengan segala konsekuensi yang semuanya berat dan menyedihkan. Memang, hanya dua pilihan saja, iya atau tidak. Tapi jika ia sudah mencondongkan hidupnya dengan salah satu pilihan, sisi satunya bakal hancur lebur. Dan semuanya adalah bagian terpenting dalam hidupnya juga. Banyak hal yang akan mengaitkan dia dengan masa depan.

Pertama juga, dalam setiap sesi "konsultasi gratisan" saya tidak bisa memberikan sedikit pun timbal balik sepadan untuk menenangkan kondisinya, atau pun alternatif penyelesaian -karena dia sendiri sudah ada jawaban sementara.

"Saya do'akan boi, semoga bisa mendapatkan jalan yang terbaik. Insya Allah tidak ada masalah yang tidak berujung," mukamu mencoba tersenyum, sementara matanya sudah hampir tumpah.

Saya pamitan izin. Kakiku melangkah bersama semburat debu dari masjid ke perpus. Setengah jam sebelum rapat redaksi, kisahnya melayang-layang terus. Logika masih tidak mempercayai pengakuannya. Sungguh, terlampau menyakitkan untuk diceritakan ke orang lain. Tapi...

Saya pun tidak bisa menyembunyikan ketidakseimbangan pikiran saya semenjak rapat redaksi itu dimulai. Terlebih bada shubuh paginya, saya mendapatkan "SMS teror" yang membuat saya melek dan merasa bersalah seharian. Juga bersama sop buah dan jajan di depan mata, sepertinya nafsu makan saya tiba-tiba lenyap bersama sebuah sunggingan senyum keterpaksaan.

Rapat berlangsung. Walaupun gelak tawa bersemampai seru, pikiran ini masih meloncat-loncat tidak stabil. Tertawa, khawatir, bingung, ingin menangis, menimpali candaan, resah, melontarkan joke, tertawa lagi dan saya pun terdiam lama. Menatap kosong layar monitor laptop mini saya dengan sebuah tanda tanya besar. Mungkinkah? Hah?


"Selesaikan hal yang telah kamu mulai. Jika kamu memulai hal itu dengan kebaikan, selesaikan dengan hal baik atau yang lebih baik" -petuah (sok) bijakku untuknya

No comments:

Post a Comment