23 Dec 2011

Perpisahan


Saya percaya sepenuhnya pada suatu dealektika ringan bahwa 

"Esensi dari Suatu Pertemuan Adalah Perpisahannya"


Jika saya bertemu, berjumpa atau mengawali sesuatu, esensi keberadaannya baru bisa diukur saat perpisahan. Saking kuatnya dogma ini, saya selalu membayangkan suatu adegan perpisahan dari suatu hal yang telah saya mulai. Entah itu jenjang pendidikan, perkenalan dengan sahabat, memiliki barang, suatu komitmen atau yang pasti: sebuah kehidupan yang pasti berujung kematian.

Rasanya saya terlalu hiperbolis dan tidak manusiawi jika harus bercerita tentang pikiran saya ini. Karena ini hanyalah satu dari jutaan persepsi personal saya. Awalnya, persepsi ini mucul aat saya lulus sekolah SD dan masuk SMP yang berbeda kecamatan. Saya hanya satu-satunya murid lulusan SD saya yang mbolang ke SMP Rengel (karena saya dari Kecamatan Soko). Saya hanya berteman dengan satu orang kala itu, seorang yang tidak pernah saya kenal sama sekali. 

Saat itu hal yang paling mengguncang saya adalah rasa hilangnya teman-teman saya. Saya benar-benar shock dihadapkan pada teman dan kultur kekotaan yang sangat berbeda dengan latar belakang yang saya bawa. Semua nampak seperti paradoks akut. Seminggu pertama sekolah, saya masih terbiasa untuk menjalaninya. Menginjak dua minggu, saya merasa sangat kehilangan teman-teman SD saya.

Saya tidak bisa mendiskripsikan rasa hilang itu seperti apa, karena bagi saya, masa-masa terindah dalam hidup saya itu masa bersama mereka. Masa SMP sedikit individualis, SMA tambah hedon, kuliah tambah merana. Bagaimana bisa dicerminkan, teman yang telah bersama dengan kita enam tahun (bahkan ada yang delapan tahun), tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi? Saya sudah lost contact sama sekali dengan mereka. Bukan karena saya egois, tapi rumah kita berjauhan, rute sekolah kita berlawanan, dan tidak ada HaPe saat itu!

Pernah, dalam suatu perjalan pulang sekolah, saya menangis tersedu-sedu untuk mengartikan rasa kehilangan ini. Rasa manis yang harus tercerabut oleh masa, yang tidak akan pernah kembali, atau pun tergantikan. Hingga berbulan-bulan, hingga menginjak caturwulan pertama, saya baru bisa menatap masa depan, bahwa saya harus maju. Memandang ke depan, melangkah terus. Ini juga demi mereka, karena kehadiran mereka, akan selalu saya kenang sebagai sejarah manis dalam hidupku.

Berawal dari situ, sejak kelas satu SMP saya sudah menyiapkan mental untuk berpisah dalam setiap awal perjumpaan dengan orang lain. Saya pun sudah menyiapkan diri untuk berpisah dengan teman sekelas menjelang kenaikan kelas II, karena ada pengacakan kelas. Saya pindah kelas dengan hanya bersama tiga orang kawan lama. Dengan dunia baru, kelas unggulan, sebutan apatis versi sekolah. Kelas hedon dengan bau kota semakin menyengat.

Tiga teman saya juga bukan tipe orang udik mirip saya, mereka semua orang kota, walaupun dari daerah masing-masing. Praktis saya pun harus menanjakkan adaptasi saya ke lingkungan baru ini. Bersama kelas dengan imej: plus plus, dimanjakan guru, hedonis, apatis dan disegani. Jujur, saya agak muak dengan adanya kelas model seperti ini. Terlalu primodial dalam menilai kelebihan seseorang. Tapi di sisi lain, saya justru bisa menguak hal lain dari kelas model seperti ini. Tingginya iklim kompetitif, gap nilai yang setipis rambut dibelah enam belas, dan beragam orang yang luar biasa. Saya menikmati, walaupun dengan mengelus dada ketika berada di luar kelas.

Dua tahun saya bersama mereka, kelas tidak ada perubahan dan pengacakan karena nilai-nilai rapor kita seperti di atas angin dibandingkan kelas lain, jadi hampir tinggal ngglundung untuk masuk kelas unggulan ke kelas tiga. 

Tapi, dari sinilah saya mulai berikrar lagi. Saya menyiapkan mental untuk berpisah dengan mereka. Karena saya tidak yakin bisa melanjutkan sekolah lagi. Mungkin saya akan di rumah, meneruskan tradisi desa saya. Anak laki-laki, sulung, dengan keterbatasan ekonomi akut, pasti akan menjadi tulang punggung keluarga. Yah, saya siapkan mental ini. Untuk melepas kepergian mereka.

Inilah seninya takdir hidup manusia. Siapa yang menyangka, kehidupan saya yang sebenarnya justru dimulai dari kepesimisan saya tadi. Saya terdampar di SMAN 5 Surabaya. Sekolah menengah dengan keliber kualitas, label favorit dan stigma positif dari masyarakat tertinggi se-Jawa Timur. Bahkan mungkin se-Indonesia timur. Bahkan tahun 2006, versi Mendiknas terbaik ke-3 Nasional.

Bisa dibayangkan, siswa udik dari desa tiba-tiba nyelonong masuk ke kota Surabaya? Kota dengan kultur keras dan logak khasnya. Culture shock saya lebih mendominasi saya ketika awal masuk ke sini. Saya, yang sangat pendiam, super introvert, harus dihadapkan pada dunia metropolitan bersama teman-teman baru saya yang semuanya luar biasa. 

Ada tujuh orang di kelas saya yang berasal dari luar kota Surabaya-Sidoarjo. Tapi semua teman saya itu orang kota di kotanya masing-masing. Lha saya? Saya sendirian lagi dari sekolah saya. Saya juga menyalahkan tim korektor UKM (Uji Kendali Mutu, ujian bagi siswa luar kota kalau mau masuk sekolah di Surabaya), kenapa saya bisa masuk sekolah ini? Saya itu, kota Tuban saja tidak tahu jalannya. desa saya dari kecamatan saja jauuuuh. Pelosok! Titik.

Tiga tahun bersama, saya sepenuhnya sadar bahwa saya akan berpisah dengan mereka. Ya, waktu pelepasan bersama selepasa pengumungan Unas, saya berlinang air mata. Terutama saat kalimat ini dikumandangkan oleh guru favorit saya.

"....Karena putih abu-abu tidak akan pernah kembali...."

Ya, tidak akan pernah kembali. Inilah momen paling dramatis dalam hidup saya. Masa yang membuka saya dengan dunia luar, dunia yang luar biasa, dunia yang sangat dinamis dan dunia selain dunia di desa. 

Kini, saya pun sendirian lagi di Jurusan yang saya pilih. Banyak teman saya yang kaget ketika saya memilih jurusan ini, bahkan kelompok liko saya pun geleng-geleng semua.

"Nggak salah jurusan hud?"

Hahaha....

Sudahlah. Saat ini saya pun sudah menyiapkan mental untuk meninggalkan semua embel-embel akademik. Saya akan meninggalkan semuanya.


Untuk melangkah lagi, melangkah ke depan sana....

No comments:

Post a Comment