Semburat warna-warni
cakrawala adalah lukisan yang terindah, begitu kiranya lafal tentang
kehidupan. Saat ragam warna beradu-padu menjadi satu tatanan bernama
kehidupan. Seperti gemerlap warna cahaya lampu karaoke di Dolly. Paduan
corak dari wisma ke wisma, dan ritme rancak alunan musiknya. Juga
padanan hidupmu-hidupku, soal sekuleritas yang membumbung agung di sini.
FRESH,
kaki kecil ini spontan melangkah lebih cepat tepat di depan wisma itu.
Awalnya, saat di mulut gang, saya tidak terlalu terganggu dengan hingar
bingar karaokenya –yang bagi sebagian orang membuat shock. Sudah biasa,
ini penjelasan logis saya.
Ini jam delapan malam, saya
seorang diri berlari kecil menghindari insiden yang pernah saya alami
setahun lalu, “dijaring” mbak-mbak di sana. Sesekali, mata saya
mencuri-curi pandang ke arah negara prostitusi yang legal ini. Ada tiga
gunungan bir setinggi dua meter duduk manis menemani para mbak-mbak yang
sedang menunggu pasiennya –konsumen lebih pas.
Dua orang
lelaki gempal terburu entah mau kemana, beradu dengan petugas keamanan
khusus lokalisasi. Juga tak luput, senyum manis para penjaja malam itu,
yang nampak sangat natural. Gempita, ramai, dan misterius. Juga horror,
mungkin.
Di bagian wisma terakhir sebelum langkah kaki
terhunyun untuk berbelok, saya tercekat sejenak dengan wajah seseorang.
Mbak itu, yang pernah saya ajak ngobrol ngalor-ngidul tentang dunia
hitam ini. Dan, saya tersenyum kepadanya. Diam, dia tidak membalasnya.
Sedari tadi memang pandangannya tidak ke depan. Ya sudahlah.
Di depan sorotan lampu kelap-kelip wisma, inilah Taman Baca Kawan Kami pada malam hari.
“Lho kak, ngapain lari? Biasanya sampeyan jalanya kan jalan lemot gitu?” tanya dik Reni.
“Takut dik, hehe,” jawabku simple, sambil menyalami belasan anak di dalamnya.
Inilah
Negeri Sekuler itu, batinku. Di depan sana, entah apa yang sedang
dilakukan oleh seorang laki-laki berkumis tebal yang tadi sempat
berpapasan dengan saya. Di ruangan ini, belasan malaikat kecil pun sibuk
dengan dunianya. Dunia anak-anak, seolah tidak peduli dengan apa pun
yang terjadi di luar mereka.
Okelah, malam mini kita akan
berlatih latihan rebana dan puisi untuk ditampilkan hari jumat nanti.
Sayangnya, timnya tidak datang semua. Jadilah kita berlatih rebana apa
adanya. Oh ya, sebelum saya datang, sudah ada Kak Pasca –yang mungkin
jamuren nungguin saya, hehe. Juga ada Kak Pipit yang datang sekitar 15
menit setelah saya.
Saatnya kemampuan orasi saya diuj.
Saya berkoar-koar untuk mengkoordinasikan skenario saat di atas panggung
nanti. Saya benar-benar berorasi, karena level suara dari luar sana
jauh lebih keras daripada suara saya. Belum lagi ulah keusilan suara
adik-adiknya yang juga tidak kalah heboh. Sampai Mbak Nia ikut berorasi
juga.
Beginilah suasana latihan bersama, Rebana Kawan Kami :)
Selanjutnya, ada latihan puisi yang dikomandoi oleh dik Riki. Tapi sayangnya, di tengah akan pentas, dia dipanggil Mamanya. Jadilah tampilan hanya berempat saja. Cekidot!