Perkembangan
dakwah sastra Islami di Indonesia saat ini jauh lebih pesat daripada pada era
orde baru. Pun selaras dengan laju kencang pers dan arus informasi lainnya.
Keberadaannya sangat banyak memberi warna dalam ranah infiltrasi nilai
keislaman dari hal yang “halus” namun berdampak nyata.
Ihwal
ini pun menjadi alternatif praktis untuk menebarkan kebenaran Islam berbalut
hal-hal umum kemasyarakatan, tidak dogmatis, bukan retorika tulisan belaka, dan
bisa menyentuh semua kalangan. Bukan hanya untuk para pencari jati diri
keislamannya, bahkan orang non-muslim pun bisa mengerti Islam dari tulisan
fiksi. Sederhana namun menggugah.
Sebenarnya,
ada banyak sekali karya-karya sastra islami yang ditelurkan oleh orang lokal.
Namun, di sini tidak akan dibahas detail, juga tidak banyak. Diskusi ini hanya
akan disinggung sedikit tentang sastra kontemporer yang muncul di permukaan. Seperti
latahnya buku agama-edukatif yang filmkan, karya-karya pelopor, buku-buku popular,
dan lainnya.
KMGP
Tidak
ada konsensus jamaah tentang kapan dan siapa yang memulai “gebrakan” sastra
Islami di Indonesaia. Namun, sebagai pendapat pribadi yang saya sadur dari
banyak referensi, akan diulas sedikit tentang cerpen fiksi berjudul “Ketika Mas
Gagah Pergi” karya Helvy Tiana Rosa yang ditulis tahun 1994, sebelum reformasi
bergulir. Semoga sudah pernah membaca semuanya.
Tulisan
ini terinspirasi dari sosok pemuda tampan yang meninggal karena kecelakaan
setelah mengisi pengajian rutin. Juga pengalaman pahit penjuangan berjilbab
Helvy sewaktu jilbab dilarang di orde baru. Tulisannya sederhana, mengambil setingan
remaja, dunia kampus dan nilai Islam tentunya. Namun, tulisan yang berjumlah
halaman 15 ini sungguh menghentak dunia sastra Islam kontemporer di negeri
kita.
Inilah
pengakuan dari dalam dan luar tentang tulisan yang empat kali ditolak
penerbitan ini, check this out!
“KMGP adalah karya garda depan
(avantgarde) yang menjadi pintu pembuka bagi fenomena maraknya karya-karya
fiksi Islami kemudian di Indonesia termasuk novel Ayat Ayat
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Menurut Yo
Nonaka, sosiolog asal Jepang yang
meneliti tentang gerakan Islam di Indonesia, KMGP bukan saja mempengaruhi
maraknya remaja muslimah memakai jilbab, tapi juga mempengaruhi gerakan dakwah
kampus di Indonesia. Fenomena KMGP membuat Harian Republika menyebut
Helvy sebagai "Pelopor" bagi perkembangan sastra Islam kontemporer, sedang The Straits
Times menyebutnya sebagai "Pionir" bagi
perkembangan sastra Islam kontemporer di Indonesia (2002).”
Mengapa
tulisan fiksi bisa sampai sedemikian member pengaruh? Bukankah itu hanya
imajinasi?
Ternyata
pakem yang didapat dari tanggapan pembaca adalah karena KMGP mampu mengintrusi
dakwah melalui sastra untuk remaja muslim/muslimah dengan menghindari kesan
menggurui (dogmatis). Terlebih di masa itu, tidak ada satu pun media Islam yang
bisa mengakomodasi keingintahuan tentang Islam para “pemula” yang terikat oleh
aturan orde baru.
Bahkan sosok Gita,
sang pencerita, yang demikian sayang kepada abangnya, serta sosok Gagah
seorang pemuda yang coba kembali mengamalkan Islam di tengah gaya hidup hedonis
dan mapan di sekilingnya, sekalipun kerap kali dicap aneh, terus menjadi
sosok-sosok yang seakan hidup dalam benak pembacanya. Tak mengherankan, karena
buku ini mampu membawa pelita inspirasinya hingga melintasi generasi (tahun
2005 sudah masuk cetakan ke-20).
Di
tahun 2012 ini pun dibuatlah novelet dari cerpen legendaris tersebut dengan
berjudul “Ketika Mas Gagah Pergi....dan Kembali” dan akan difilmkan juga.
Tinta Lain dari Helvy
Sebenarnya
selain KMGP, ada banyak tulisan Helvy yang masuk dalam paket buku KMGP yang
terbitkan 1997. Dan semua tulisannya (versi saya) sangat out the box, menggugah dan tidak kalah legendaris.
Total
ada 13 tulisan dalam buku itu, saya sadurkan bagaimana luar biasanya tulisan
ini. Dengan membacanya, kita bisa dibawa ke dalam kondisi dan latar tokoh yang
serba tidak biasa. Kita bisa dibawa pelan-pelan memahami hal-hal ganjil menjadi
hal logis. Dan tentunya, semua tulisannya mengantarkan pada “ini lho Islam itu”.
Dalam
“Mon Ami Dibaridirigma”, kita dibawa ke arah medan perang di Rwanda, negeri
kecil di Afrika. Tokoh utamanya seorang muslimah yang juga dokter muda
keturunan Perancis yang ditugaskan sebagai tenaga medis di negeri itu.
Pergulatan dia sebagai satu-satunya muslimah, diskriminasi militer terhadap
para korban perang yang muslim, derita perempuan dan anak-anak korban perang,
dan delima ketidakberdayaannya diramu sangat menyentuh naluri.
Bagaimana
seting perang dan Negara yang tidak pernah Helvy datangi itu bisa menjadi
nyata? Hingga kalimat terakhir dari seorang anak yang ditinggal mati ibunya
seperti sebuah kalimat panggilan dari ribuan kilometer di sana kepada kita,
tentang saudara seiman yang terkena musibah. “Mon Pere bilang, kalau sabar kami bisa masuk surga”
Berbeda
lagi dengan “Piranti Hati Yang Retak” yang lebih ringan bahasanya. Namun
konfliknya sangat jamak dialami di zaman tulisan ini diterbitkan, mungkin sampai
sekarang juga masih sering terjadi. Berkisah tentang kekolotan orang tua yang
tidak menginginkan anaknya berjilbab. Konfliknya dihadirkan dari hal sepele
sampai pembaca mau marah sendiri pada tokoh antagonisnya (yang juga ortu tokoh
utama). Juga dengan ending tanpa
penyelesaian (si anak minggat).
Kisah
itu seperti kisah klasik, saya sendiri sudah berkali-kali mendengarkan langsung
dari teman-teman yang berjuang untuk berjilbab. Tapi Helvy menghadirkan tulisan
ini di tahun 1996, saat jilbab sendiri masih dilarang di sekolah-sekolah.
Mungkin
yang paling keren dibandingkan semuanya (versi saya lagi) adalah tulisan “Je Ne
Te Quite Jamais, Palestine”. Ini seperti tulisan yang bisa menjedotkan kepala
ke “tiang kesadaran” di zaman itu. Sesuai judulnya, ini tentang kisah negera
Palestina. Plotnya diambil dari sosok muslimah keturunan Palestina yang lama
tinggal di Paris.
Orang
awam bisa tahu apa itu Hamas, apa itu PLO, AK-47, gerakan intifadhah, Jericho, Gazha, Jenin atau Zionis. Keberpijakan
terhadap Islam diramu Helvy dengan kisah yang jamak kita baca di koran, hingga
pembaca seperti digugah paksa untuk menjadi orang yang seperti tinggal di
Negara Palestina. Orang pun bisa mereset dari pikiran “Ngapain mikirin
Palestina? Lha negeri sendiri saja masih semrawut!”
Sastra Islam yang Difilmkan
Saat
diputar, film Ayat-Ayat Cinta adalah film terlaris sepanjang sejarah perfilman
Indonesia kala itu (sebelum Laskar Pelangi menggesernya). Namun, film ini
adalah trend setter perfilman dan
persinetronan berbasis agama di Indonesia. Tidak akan dibahas tentang filmnya
(bukan bedah film euiy).
Adanya
sastra yang difilmkan membuat sastra Islam bukan seperti “sastra mualaf”.
Keberadaannya bahkan mampu menggeser sastra erotis yang lebih mendominasi
sebelumnya. Anak-anak muda bisa mengenal
apa itu kata “ta’aruf” dari nilai yang sengaja disisipkan pada tokoh. Orang awam
pun bisa tahu bagaimana Islam yang sebenarnya dalam sosok Fahri (yang
digambarkan hampir sempurna). Juga termasuk bagaimana Islam memahami hal
poligami. Semua disiratkan dalam tokoh serta konflik fiksi.
Pun,
dalam buku Ketika Cinta Bertasbih juga banyak menelaah personal fiqih dalamnya
secara tersirat. Salah satu nya adalah ketika Husna, adik tokoh utama sedang
berada di bandara untuk menjemput kakaknya. Memasuki waktu sholat, dia bersama
sahabatnya bergegas ke mushola terdekat. Ternyata mushola tersebut hanya bisa
dipakai oleh satu orang. Pelajaran yang sengaja dimasukkan adalah ketika Husna
memilih egois untuk sholat lebih dahulu. Walaupun berlatar orang Jawa Tengah
yang ewuh pakewuh-nya sangat amat
tinggi, untuk urusan ibadah, memang Husna harus egois.
Tulisan
fiksi sejatinya bukan hanya pengoyak imajinasi dan rasa untuk terhenyak sesaat.
Banyak pula sastrawan muslim yang menebar kesadaran pribadi dengan tulisan
fiksi dengan basis latar nyata. Tulisannya tidak menunjukan baik-buruknya
potret manusia, namun tentang realita yang sering orang tidak mau tahu. Tentang
kenyataan bermasyarakat yang jamak, namun miris dan penuh kontradiktif nurani.
Paling
mudah tengoklah cerpen singkat padat “Emak Ingin Naik Haji”. Cerpen ini
bersifat multitokoh dan multikonflik (mengutip harian Republika). Betapa
menggambarkan wajah Indonesia. Wajah-wajah kesenjangan sosial antara kaya dan
miskin yang begitu nyata. Sungguh penggambaran sistem kapitalis, di mana yang
kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.
Terbukti,
di saat yang lain begitu inginnya naik haji dan tiada biaya tapi, di pihak lain
masih ada saja orang yang naik haji dengan mudahnya hampir setiap tahun. Untuk
menuliskan tulisan ini, Asma Nadia (penulisnya) memerlukan riset hampir setahun
tentang ironi Haji di Negara dengan jumlah jamaah Haji terbesar sedunia ini.
Ada
pula tulisan imajinatif berjudul “Jendela Rara” yang difilmkan menjadi “Rumah
Tanpa Jendela” yang didasarkan pada pengamatan lapangan kehidupan di bawah
kolong jalan tol di kota semegah Jakarta. Bahkan, jika sempat membaca detail
cerpennya, pasti pembaca akan terhenyak bagaimana konflik antar keluarga dalam
rumah satu petak ini. Rara kecil yang ngotot menginginkan jendela, Mbaknya yang
menjadi pelacur, kerasnya hidup orang tua Rara, hingga mimpinya memiliki rumah
(sebenarnya).
Ini
kisah fiksi yang terinspirasi dari kenyataan yang jamak, tidak hanya di
Jakarta, di Surabaya pun banyak. Jika kita mau melangkah keluar rumah dan
membuka mata hati, kehidupan seperti dalam tulisan ini bukanlah imajinasi. Saya
sadurkan Puisi dari Rara tentang impiannya:
Sebuah rumah imut
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati
Terakhir,
tulisan “Lelaki yang Menyisir Rindu” yang berkisah tentang Ibu tua yang tinggal
di pesisir Aceh, mengenang dan merindukan anak-anaknya. Di masa tuanya, justru
dia merasa ditinggal semua anak-anaknya dengan kehidupannya mereka. Padahal,
banyak kenangan sebagai single parent yang
ingin dia tumpahkan dengan kebersamaan.
Hanya
anak bungsunya yang masih sering mengunjungi dia di rumah tuanya. Si bungsu
member kejutan dengan membelikan rumah baru yang tidak jauh dari rumah tuanya.
Ibu tua bahagia walaupun tidak semua anaknya bisa sebaik si bungsu. Alkisah, si
bungsu harus ke pusat kota untuk membeli perabot rumah. Sebelum dia sempat
balik ke rumah barunya, jalanan sudah berubah menjadi lautan air dan tangis. Si
bungsi hanya bisa menyaksikan alam menggerus desanya. Tsunami telah
meluluh-lantakkan desanya, bersama rumah dan Ibu tuanya. Air bah telah menyeret
rasa bersalahnya hingga titik nadir.
Mungkin
ini bisa menjadi pelajaran untuk mahasiswa yang jarang pulang dengan alasan
(sok) sibuk :)
Epilog
Karya
sastra fiksi Islam jumlahnya sangat banyak yang tidak bisa diwakili dengan
uraian di atas. Terlebih sastra kontemporer memiliki cakupan yang sangat luas
dari pendahulunya. Namun, setidaknya kita mengenal beberapa pejuang pena di
negeri kita, yang memberikan torehan tinta dakwahnya dengan karya-karya
fenomenalnya. Karena lewat jalan para pejuang pena inilah, dakwah bisa melebar
ke banyak sisi yang mungkin tidak bisa dicapai oleh khotbah jum’at, ceramah,
kajian rutin atau liqo’.
Fiksi,
dalam sisi interpersonal manusia adalah ruang untuk keluar dari kenyataan.
Namun imajinasi fiktif juga bisa menjadi altenatif jalan keluar dari kebuntuan
kenyataan, termasuk syiar Islam. Banyak orang Islam yang tidak bisa menerima
kebenaran agamanya sendiri lewat jalan dogmatis, maka ruang fiksi bisa menjadi jalan untuk
membuka kebuntuan itu. Patutlah selayaknya kita mengapresiasi karya-karya fiksi
yang mampu menggugah iman atau yang mengusik nurani untuk berubah ke arah yang
lebih baik.
Tulisan
pada dasarnya adalah pesan. Seperti mushaf dan shuhuf yang abadi selama masih
ada yang membacanya :)
Daftar Pustaka:
Ketika Mas Gagah Pergi: Helvy Tiana
Rosa: Asy Syaamil
Emak Ingin Naik Haji: Asma Nadia: Asma
Nadia Publishing House
Kembali ke Pangkal Jalan: Yusrizal KW:
Kompas Gramedia
*) tulisan ini disampaikan dalam Diskusi Literasi Sabtu 28 April 2012
No comments:
Post a Comment