28 Apr 2012

Intrusi Sastra Islam



Perkembangan dakwah sastra Islami di Indonesia saat ini jauh lebih pesat daripada pada era orde baru. Pun selaras dengan laju kencang pers dan arus informasi lainnya. Keberadaannya sangat banyak memberi warna dalam ranah infiltrasi nilai keislaman dari hal yang “halus” namun berdampak nyata. 

Ihwal ini pun menjadi alternatif praktis untuk menebarkan kebenaran Islam berbalut hal-hal umum kemasyarakatan, tidak dogmatis, bukan retorika tulisan belaka, dan bisa menyentuh semua kalangan. Bukan hanya untuk para pencari jati diri keislamannya, bahkan orang non-muslim pun bisa mengerti Islam dari tulisan fiksi. Sederhana namun menggugah.

Sebenarnya, ada banyak sekali karya-karya sastra islami yang ditelurkan oleh orang lokal. Namun, di sini tidak akan dibahas detail, juga tidak banyak. Diskusi ini hanya akan disinggung sedikit tentang sastra kontemporer yang muncul di permukaan. Seperti latahnya buku agama-edukatif yang filmkan, karya-karya pelopor, buku-buku popular, dan lainnya.

KMGP
Tidak ada konsensus jamaah tentang kapan dan siapa yang memulai “gebrakan” sastra Islami di Indonesaia. Namun, sebagai pendapat pribadi yang saya sadur dari banyak referensi, akan diulas sedikit tentang cerpen fiksi berjudul “Ketika Mas Gagah Pergi” karya Helvy Tiana Rosa yang ditulis tahun 1994, sebelum reformasi bergulir. Semoga sudah pernah membaca semuanya.

Tulisan ini terinspirasi dari sosok pemuda tampan yang meninggal karena kecelakaan setelah mengisi pengajian rutin. Juga pengalaman pahit penjuangan berjilbab Helvy sewaktu jilbab dilarang di orde baru. Tulisannya sederhana, mengambil setingan remaja, dunia kampus dan nilai Islam tentunya. Namun, tulisan yang berjumlah halaman 15 ini sungguh menghentak dunia sastra Islam kontemporer di negeri kita.

Inilah pengakuan dari dalam dan luar tentang tulisan yang empat kali ditolak penerbitan ini, check this out!

“KMGP adalah karya garda depan (avantgarde) yang menjadi pintu pembuka bagi fenomena maraknya karya-karya fiksi Islami kemudian di Indonesia termasuk novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Menurut Yo Nonaka, sosiolog asal Jepang yang meneliti tentang gerakan Islam di Indonesia, KMGP bukan saja mempengaruhi maraknya remaja muslimah memakai jilbab, tapi juga mempengaruhi gerakan dakwah kampus di Indonesia. Fenomena KMGP membuat Harian Republika menyebut Helvy sebagai "Pelopor" bagi perkembangan sastra Islam kontemporer, sedang The Straits Times menyebutnya sebagai "Pionir" bagi perkembangan sastra Islam kontemporer di Indonesia (2002).”

Mengapa tulisan fiksi bisa sampai sedemikian member pengaruh? Bukankah itu hanya imajinasi? 
Ternyata pakem yang didapat dari tanggapan pembaca adalah karena KMGP mampu mengintrusi dakwah melalui sastra untuk remaja muslim/muslimah dengan menghindari kesan menggurui (dogmatis). Terlebih di masa itu, tidak ada satu pun media Islam yang bisa mengakomodasi keingintahuan tentang Islam para “pemula” yang terikat oleh aturan orde baru.

Bahkan sosok Gita, sang pencerita, yang demikian sayang kepada abangnya, serta sosok Gagah seorang pemuda yang coba kembali mengamalkan Islam di tengah gaya hidup hedonis dan mapan di sekilingnya, sekalipun kerap kali dicap aneh, terus menjadi sosok-sosok yang seakan hidup dalam benak pembacanya. Tak mengherankan, karena buku ini mampu membawa pelita inspirasinya hingga melintasi generasi (tahun 2005 sudah masuk cetakan ke-20).

Di tahun 2012 ini pun dibuatlah novelet dari cerpen legendaris tersebut dengan berjudul “Ketika Mas Gagah Pergi....dan Kembali” dan akan difilmkan juga.

Tinta Lain dari Helvy
Sebenarnya selain KMGP, ada banyak tulisan Helvy yang masuk dalam paket buku KMGP yang terbitkan 1997. Dan semua tulisannya (versi saya) sangat out the box, menggugah dan tidak kalah legendaris.
Total ada 13 tulisan dalam buku itu, saya sadurkan bagaimana luar biasanya tulisan ini. Dengan membacanya, kita bisa dibawa ke dalam kondisi dan latar tokoh yang serba tidak biasa. Kita bisa dibawa pelan-pelan memahami hal-hal ganjil menjadi hal logis. Dan tentunya, semua tulisannya mengantarkan pada “ini lho Islam itu”.

Dalam “Mon Ami Dibaridirigma”, kita dibawa ke arah medan perang di Rwanda, negeri kecil di Afrika. Tokoh utamanya seorang muslimah yang juga dokter muda keturunan Perancis yang ditugaskan sebagai tenaga medis di negeri itu. Pergulatan dia sebagai satu-satunya muslimah, diskriminasi militer terhadap para korban perang yang muslim, derita perempuan dan anak-anak korban perang, dan delima ketidakberdayaannya diramu sangat menyentuh naluri.

Bagaimana seting perang dan Negara yang tidak pernah Helvy datangi itu bisa menjadi nyata? Hingga kalimat terakhir dari seorang anak yang ditinggal mati ibunya seperti sebuah kalimat panggilan dari ribuan kilometer di sana kepada kita, tentang saudara seiman yang terkena musibah. “Mon Pere bilang, kalau sabar kami bisa masuk surga”

Berbeda lagi dengan “Piranti Hati Yang Retak” yang lebih ringan bahasanya. Namun konfliknya sangat jamak dialami di zaman tulisan ini diterbitkan, mungkin sampai sekarang juga masih sering terjadi. Berkisah tentang kekolotan orang tua yang tidak menginginkan anaknya berjilbab. Konfliknya dihadirkan dari hal sepele sampai pembaca mau marah sendiri pada tokoh antagonisnya (yang juga ortu tokoh utama). Juga dengan ending tanpa penyelesaian (si anak minggat). 

Kisah itu seperti kisah klasik, saya sendiri sudah berkali-kali mendengarkan langsung dari teman-teman yang berjuang untuk berjilbab. Tapi Helvy menghadirkan tulisan ini di tahun 1996, saat jilbab sendiri masih dilarang di sekolah-sekolah. 

Mungkin yang paling keren dibandingkan semuanya (versi saya lagi) adalah tulisan “Je Ne Te Quite Jamais, Palestine”. Ini seperti tulisan yang bisa menjedotkan kepala ke “tiang kesadaran” di zaman itu. Sesuai judulnya, ini tentang kisah negera Palestina. Plotnya diambil dari sosok muslimah keturunan Palestina yang lama tinggal di Paris.

Orang awam bisa tahu apa itu Hamas, apa itu PLO, AK-47, gerakan intifadhah, Jericho, Gazha, Jenin atau Zionis. Keberpijakan terhadap Islam diramu Helvy dengan kisah yang jamak kita baca di koran, hingga pembaca seperti digugah paksa untuk menjadi orang yang seperti tinggal di Negara Palestina. Orang pun bisa mereset dari pikiran “Ngapain mikirin Palestina? Lha negeri sendiri saja masih semrawut!”

Sastra Islam yang Difilmkan
Saat diputar, film Ayat-Ayat Cinta adalah film terlaris sepanjang sejarah perfilman Indonesia kala itu (sebelum Laskar Pelangi menggesernya). Namun, film ini adalah trend setter perfilman dan persinetronan berbasis agama di Indonesia. Tidak akan dibahas tentang filmnya (bukan bedah film euiy).

Adanya sastra yang difilmkan membuat sastra Islam bukan seperti “sastra mualaf”. Keberadaannya bahkan mampu menggeser sastra erotis yang lebih mendominasi sebelumnya.  Anak-anak muda bisa mengenal apa itu kata “ta’aruf” dari nilai yang sengaja disisipkan pada tokoh. Orang awam pun bisa tahu bagaimana Islam yang sebenarnya dalam sosok Fahri (yang digambarkan hampir sempurna). Juga termasuk bagaimana Islam memahami hal poligami. Semua disiratkan dalam tokoh serta konflik fiksi.

Pun, dalam buku Ketika Cinta Bertasbih juga banyak menelaah personal fiqih dalamnya secara tersirat. Salah satu nya adalah ketika Husna, adik tokoh utama sedang berada di bandara untuk menjemput kakaknya. Memasuki waktu sholat, dia bersama sahabatnya bergegas ke mushola terdekat. Ternyata mushola tersebut hanya bisa dipakai oleh satu orang. Pelajaran yang sengaja dimasukkan adalah ketika Husna memilih egois untuk sholat lebih dahulu. Walaupun berlatar orang Jawa Tengah yang ewuh pakewuh-nya sangat amat tinggi, untuk urusan ibadah, memang Husna harus egois.

Tulisan fiksi sejatinya bukan hanya pengoyak imajinasi dan rasa untuk terhenyak sesaat. Banyak pula sastrawan muslim yang menebar kesadaran pribadi dengan tulisan fiksi dengan basis latar nyata. Tulisannya tidak menunjukan baik-buruknya potret manusia, namun tentang realita yang sering orang tidak mau tahu. Tentang kenyataan bermasyarakat yang jamak, namun miris dan penuh kontradiktif nurani.

Paling mudah tengoklah cerpen singkat padat “Emak Ingin Naik Haji”. Cerpen ini bersifat multitokoh dan multikonflik (mengutip harian Republika). Betapa menggambarkan wajah Indonesia. Wajah-wajah kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang begitu nyata. Sungguh penggambaran sistem kapitalis, di mana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. 

Terbukti, di saat yang lain begitu inginnya naik haji dan tiada biaya tapi, di pihak lain masih ada saja orang yang naik haji dengan mudahnya hampir setiap tahun. Untuk menuliskan tulisan ini, Asma Nadia (penulisnya) memerlukan riset hampir setahun tentang ironi Haji di Negara dengan jumlah jamaah Haji terbesar sedunia ini.

Ada pula tulisan imajinatif berjudul “Jendela Rara” yang difilmkan menjadi “Rumah Tanpa Jendela” yang didasarkan pada pengamatan lapangan kehidupan di bawah kolong jalan tol di kota semegah Jakarta. Bahkan, jika sempat membaca detail cerpennya, pasti pembaca akan terhenyak bagaimana konflik antar keluarga dalam rumah satu petak ini. Rara kecil yang ngotot menginginkan jendela, Mbaknya yang menjadi pelacur, kerasnya hidup orang tua Rara, hingga mimpinya memiliki rumah (sebenarnya). 

Ini kisah fiksi yang terinspirasi dari kenyataan yang jamak, tidak hanya di Jakarta, di Surabaya pun banyak. Jika kita mau melangkah keluar rumah dan membuka mata hati, kehidupan seperti dalam tulisan ini bukanlah imajinasi. Saya sadurkan Puisi dari Rara tentang impiannya:

Sebuah rumah imut
dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
dan halaman mungil berumpun melati

Terakhir, tulisan “Lelaki yang Menyisir Rindu” yang berkisah tentang Ibu tua yang tinggal di pesisir Aceh, mengenang dan merindukan anak-anaknya. Di masa tuanya, justru dia merasa ditinggal semua anak-anaknya dengan kehidupannya mereka. Padahal, banyak kenangan sebagai single parent yang ingin dia tumpahkan dengan kebersamaan.

Hanya anak bungsunya yang masih sering mengunjungi dia di rumah tuanya. Si bungsu member kejutan dengan membelikan rumah baru yang tidak jauh dari rumah tuanya. Ibu tua bahagia walaupun tidak semua anaknya bisa sebaik si bungsu. Alkisah, si bungsu harus ke pusat kota untuk membeli perabot rumah. Sebelum dia sempat balik ke rumah barunya, jalanan sudah berubah menjadi lautan air dan tangis. Si bungsi hanya bisa menyaksikan alam menggerus desanya. Tsunami telah meluluh-lantakkan desanya, bersama rumah dan Ibu tuanya. Air bah telah menyeret rasa bersalahnya hingga titik nadir.

Mungkin ini bisa menjadi pelajaran untuk mahasiswa yang jarang pulang dengan alasan (sok) sibuk :)

Epilog
Karya sastra fiksi Islam jumlahnya sangat banyak yang tidak bisa diwakili dengan uraian di atas. Terlebih sastra kontemporer memiliki cakupan yang sangat luas dari pendahulunya. Namun, setidaknya kita mengenal beberapa pejuang pena di negeri kita, yang memberikan torehan tinta dakwahnya dengan karya-karya fenomenalnya. Karena lewat jalan para pejuang pena inilah, dakwah bisa melebar ke banyak sisi yang mungkin tidak bisa dicapai oleh khotbah jum’at, ceramah, kajian rutin atau liqo’.

Fiksi, dalam sisi interpersonal manusia adalah ruang untuk keluar dari kenyataan. Namun imajinasi fiktif juga bisa menjadi altenatif jalan keluar dari kebuntuan kenyataan, termasuk syiar Islam. Banyak orang Islam yang tidak bisa menerima kebenaran agamanya sendiri lewat jalan dogmatis,  maka ruang fiksi bisa menjadi jalan untuk membuka kebuntuan itu. Patutlah selayaknya kita mengapresiasi karya-karya fiksi yang mampu menggugah iman atau yang mengusik nurani untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Tulisan pada dasarnya adalah pesan. Seperti mushaf dan shuhuf yang abadi selama masih ada yang membacanya :)


Daftar Pustaka:

Ketika Mas Gagah Pergi: Helvy Tiana Rosa: Asy Syaamil
Emak Ingin Naik Haji: Asma Nadia: Asma Nadia Publishing House
Kembali ke Pangkal Jalan: Yusrizal KW: Kompas Gramedia


*) tulisan ini disampaikan dalam Diskusi Literasi Sabtu 28 April 2012

No comments:

Post a Comment