19 Jun 2012

1st RDK 30's Wedding (Rifai)

Sebuah elegi nampak datang pelan-pelan. Kisah itu bertutur tentang masa lalu dengan segala pahit-manisnya. Memori berjalan mendatangi ingatan ini, menyampaikan sebuah pesan untuk kita semua, bahwa kita pernah bersama. Dan akan senantiasa bersama. Selamanya.

Mungkin ini lah salah satu kisah yang tidak bisa saya lupakan dari dunia kampus, yakni ketika terlibat aktif sebagai Pembantu Umum (PU) di kepanitiaan Ramadhan Di Kampus 1430 H (RDK 30). Sebenarnya saya bukanlah panitia inti, saya hanya membantu saja, tidak lebih. Namun, kapasitas "membantu" saya bahkan melebihi kewenangan yang seharusnya.

Terkisah, kita tertawa riang bin geje di tengah malam saat menempelkan aneka jenis poster kegiatan ke seluruh penjuru Kampus, kita pernah syuro' (rapat) sambil nangis-nangis kayak adegan sinetron, atau rapat hingga dini hari dengan mata menguap-nguap (mata kok menguap?), atau sekedar bergeje ria untuk menghilangkan stress.

Bayangkan, dalam waktu sebulan kita memutar kepala untuk menggerakkan 14 kegiatan sekaligus.  Yang paling seru tentu untuk Buka Bersama, yang membuat ketar ketir setiap hari, menyediakan menu berbuka untuk ratusan jamaah masjid. Rata-rata setiap hari sekitar 700-800 jama'ah, ambil kasaer perbungkus 5 ribu maka perlu 4 juta/hari. Pernah pula kadang jama'ah "jebol" sampai 1.200-an yang membuat pusiing keliling. Sudahlah, nyatanya semuanya bisa kita lalui kok, kekuatan-Nya jauh melampau usaha manusia :)

Kalau hal yang paling seru bagi saya adalah ketika dimaki-maki alumni karena adanya miskomunikasi/ketidaksopanan saya, hehe.. Juga ketika tiba-tiba dimintai dana yang fantastis.

"Cepet Hud, butuh uang 4,5 juta cash sekarang juga. Gepeel"

What? 4,5 juta men. Saya seperti seorang petugas bank yang membawa duwit banyak namun tidak turut memilikinya. Pernah dalam sehari saya memutar uang 9 juta, hanya dalam sehari! Atau ketika saya sendirian mencairkan dana sponsorship hingga 13 juta dalam bentuk uang tunai! Berasa habis ngrampok ketika nggondol uang sebanyak itu, haha...

Tapi semua tidak lengkap ketika saya "harus" membuat LPJ keuangan yang mencapai 160 juta. Ratusan nota/bon berkeliaran seperi tikus yang mengerubuti sandal, antre untuk didata dan dicocokkan. Sampai akhirnya 164 halaman LPJ akhirnya selesai setelah 3 bulan acara berakhir. Sungguh perDJOEANGan!

Kisah di atas hanya sebuah curcol gak penting. Hingga, setelah beberapa abad kemudian, datanglah undangan walimahan dari salah satu dari kita. Dan yang menjadi pertama adalah Mas Rifa'i yang memang sejak dari dulu sudah kita prediksi dia yang bakal duluan (dari wajahnya saja sudah bisa ditebak, hahaha).

Perjalanan ke Kediri 
Kita adalah manifestasi dari lima orang: Rifai, Opik, Anas, Ali dan saya sendiri. Sementara Ali sudah berkarir di Jawa Tengah, sehingga tidak bisa datang. Sementara Opik berwirausaha di Jombang, sementara saya dan Anas masih berkecimpung di kampus. Jadilah kita berangkat bertiga saja. (Untuk definisi kita yang versi akhwat, tidak saya singgung). 

Saya dan Anas pergi ke Jombang untuk menemui Opik menggunakan sepeda motor saya yang sudah hampir remuk semua, haha.. Dan tahukah kawan? Rumahnya Opik itu di Tebuireng, Jombang yang lebih tepatnya ada di jalanan menuju makam Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Praktis jalan ke sana penuh dengan orang yang berziarah. Dan rumah Opik tepat berada di gang masuk makam, persis.

Satu hal yang mengagetkan saya adalah pondoknya banyak sekali. Mungkin per-RT di sini ada pondoknya. Sampai-sampai papan penunjuk nama pondok jumlahnya mengalahkan jumlah papan iklan. Subhanallah!

Jadilah saya masuk ke Ponpes Tebuireng yang didalamnya terdapat pula dua makan Pahlawan Nasional lainnya, KH Hasyim Asy'ari dan KH A Wahid Hasyim, yang tidak lain juga merupakan Bapak dan Kakek Gus Dur. Di sana, saya coba mengintip kegiatan pesantren seperti apa. Namun sayang, karena sedang masa liburan, jadi sepi. Lebih banyak pengunjung untuk ziarah.

Penanda halaman depan. Seperti biasa :)

Mushola awal (tampak tua di dalam masjid) yang menjadi tempat awal KH Hasyim Asy'ari ketika berdakwah

 Suasana pondokan

Wisma Hadji Kalla, wisma hibah dari Jusuf Kalla (eks Wapres RI), ada bangunan sejenis dari tokoh lain


Kediaman Gus Sholah, salah satu petinggi Ponpes ini

Gang masuk ke Makam Gus Dur

Walimah Rifai euiy!
Butuh waktu sekitar 1,5 jam hingga kita bisa rumah yang dimaksud. Nyasar berkali-kali karena kita tidak melewati jalan utama. Belum lagi peta yang berada di undangan yang kita bawa bukannya menjadi petunjuk arah, malahan agak menyesatkan, hahaha..

Namun, alhamdulillah kita masih bisa sampai di tempat tujuan dengan baik. Di sini, selain makan-makan, kita bisa menemukan tawa lepas khas Rifai yang tidak pernah berbeda dari dahulu kala. Senyumnya selalu mengundang senyum kita. Semacam orang yang menjadi stimulator senyum ulung. Tak lupa, tausiah , nggeje dan curcol ria juga kita lakukan. Ah, ceritanya bagian ini tidak perlu saya posting, gak jueaallass blasss, hahaha..

Dan diujungnya pun kita menebak-nebak: who will be the next guys? Ujungnya, kita cuman mesam-mesem gak jelas tanpa ada yang mau ngaku untuk duluan. Biasanya yang paling pendiam itu yang tiba-tiba sudah ngasih undangan, strategi dalam kebisuan istilahnya. Haha.

Untuk Pak Rifai, semoga Samara kawan :)
Do'akan kita biar bisa lekas menyusul kisah heroikmu.

Berdua plus tiga :)

Mendengarkan tausiah dari Pak Rifai (karena sudah jadi kepala RT jadi dipanggil Pak)

Naris plus mangap! Haha

Mejeng untuk memori narsis, hehe

 Foto paling terakhir dan paling "lepas" :)


Mampir  L'Arch de Triomphe Kediri
Terakhir, kita mampir ke L'Arch de Triomphe-nya Kediri. Bagunan yang mirip banget dengan yang berada di Paris ini "dipaksa" menjadi tetenger di kota yang dipenuhi pabrik rokok ini. Terletak di jalan lingkar lima Gumul yang salah satu arahnya bisa menuju ke Pare atau Malang.

Kita ke sini murni nyari hiburan. Walaupun juga kepikiran, ini bangunan kok kesannya paganisme banget. Bangunan besar yang menjadi simbol orang-orang untuk berkumpul. Filosofinya adalah Obeliks Mesir yang menjadi pusat pemujaan dewa-dewi. Dan itu juga diadopsi di altar depan Gereja di Vatikan, depan Gedung Putih, Monas Jakarta bahkan Tugu Pahlawan Surabaya.

Memang sangat eksotis arsitekturnya, dan sangat besar ukurannya. Pantas, banyak orang berkunjung ke sini. Jika diamati detail, ada gambar-gambar khas Indonesia yang disematkan menjadi relief di keempat sisinya. Relief yang berhasil saya terjemahkan adalah relief tokoh pewayangan Punokawan (Gareng, Petruk, Bagong dan Semar), lima agama yang diakui di Indonesia, budaya bertani, dan sebuah tarian tradisional. Juga ada patung-patung lokal di ujung sudut-sudutnya, yang paling banyak tentu patung Ganesha, dewa ilmu pengetahuan yang menjadi simbol ITB.

Lainnya, tidak ada hal yang spesial dari bangunan ini. Karena sejujurnya kalau boleh berpendapat, mengapa harus bangunan dari Paris yang diborong ke sini? Padahal banyak bangunan lokal di negeri kita yang tak kalah eksotis. Cobalah misalkan membangun candi Borobudur di sini, atau Prambanan, atau Pura Bali, atau yang lainnya. Pasti tak kalah megah dibandingkan label luar negeri. Tul gak eaa?

Inilah pose narziezz kita bersama.

Bertiga narsiss...
 
Dari samping :)

Reliefnya, amati

 Kubah di tengahnya

Relief di sisi lainnya :)

 Senja sudah meratap ke peraduan, waktunya balik ke Surabaya.



Sekian laporan dari Kediri dan Jombang. Next menghadiri undangan walimah di Lamongan dan Sragen, Jawa Tengah :)

2 comments:

oni said...

oooo.. karo bocah lamongan jeh? wkwkwkw

hudahoe said...

ini Oni capa eaaaa...
kita pernah kenal gak? Hahaha..

Setiap perkataan itu haram hukumnya kalau mendahului takdir :)
-hoe

Post a Comment