12 Oct 2012

Book of Alay


Mula-mula muncul banyak keterkejutan. Lalu, kaget kepalang. Dan seterusnya menjadi sebuah paduan ironi, terharu dan dipenuhi oleh pikiran alay. Antara nyata dengan ilusi. Seperti heroin dengan bubur kacang ijo. Gak nyambung. Koplak.

Inilah sebuah kisah tentang Buku. Sebuah legenda buku Alay.

Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan yang kesehariannya selalu diliputi dengan dunia alay, alay dan alay. Baginya, filosofi alay adalah visi hidupnya sekaligus teman sejatinya. Alay adalah bagian dari separuh hidupnya. Menjadi sosok yang menemaninya dalam setiap langkah dan setiap malamnya.

Pada suatu hari, dia berjalan dari utara ke selatan untuk mencari kedamaian. Berhari-hari ie manapaki langkahnya. Beraneka ragam hal ia temukan dalam perjalanannya. Mula-mula, ia menemukan sebuah lautan rumput hijau yang sangat luas. Kedamaian hatinya ia temukan dalam saat telentang di tengah hamparan hijau itu.

Berbulan-bulan ia tinggal di sana. Sampai datangnya matahari yang menyengat bumi seisinya. Musim kemarau menggugurkan rerumputan hijau sampai ke akarnya. Ia pun berjalan meninggalkan tempat ini.

Lau, ia menemukan padang bunga yang berwarna-warni. Ia sangat mengagumi keindahan dan bau harum bunga. Hatinya senang sekali dan ia memutuskan tinggal di sini. Namun, hal itu tak lama. Karena kehadiran kumbang, lebah, kupu-kupu dan aneka serangga lainnya menjadikan bunga berguguran. Warna-warni itu pun lenyap dalam seminggu. Ia pun berjalan lagi.

Kali ini dia berjalan dari timur sampai ke barat. Di ujung barat, ia mendapati sebuah pantai yang sangat bening. Pasirnya putih dengan puluhan pohon kelapa menyempurnakan keindahannya. Di sore hari, ia menyaksikan ada seorang yang bermain pasir di seberangnya. Tak lama kemudian, nampak beberapa orang menyusul. Pantai ini pun penuh orang. Ia segera berlari pergi meninggalkan keramaian orang-orang itu. Ia tidak bisa berbagi keindahan bersama dengan orang lain.

Di penjurut barat laut, ia hampir terlelap lelah saat matahari nyaris tenggelam. Ia rebahkan badannya di tanah hingga pagi menyembul terang. Siluet surya nampak mempesona menyibak semesta dan membangunkan tidurnya. Matanya tergagap saat melihat apa yang ada di atasnya. Rimbunan daun dari sebuah pohon Oak membumbung lebat. Hanya satu pohon saja, namun baginya nampak seperti sebuah peneduh raksasa.

Apalagi hatinya menjadi tenang saat berada di bawahnya. Hari-harinya pun dilalui dengan bercerita riang dengan pohon itu. Terkadang ia juga memanjatnya untuk beradu nyanyian dengan burung di atasnya. Atau sekedar duduk diam atasnya, untuk menyaksikan matahari yang terbenam di ujung pantai. Dari hari ke hari, ia berpikir bahwa mungkin pohon inilah yang ia cari. Pohon yang tidak pernah meranggas, walaupun di musim kemarau. Sebuah pohon kedamaian.

Semua berjalan indah sampai keanehan di musim keempat belas terjadi. Saat ia memanjat ranting pohon itu dan tiba-tiba rantingnya roboh. Ia terpelanting jatuh ke bawah. Sambil berengkek kesakitan, ia menangis. Selain karena lukanya, ia menangisi pohon itu.

“Apakah kamu akan pergi?,” ia bertanya pada pohon itu. Dan, pohon itu hanya diam.

Ia terus menangis dan menangis selama beberapa malam. Sejak kejadian itu, dia tidak pernah memanjat pohon itu lagi. Ia hanya terus bercerita tentang kehidupannya, tentang masa kecilnya, tentang masa depan, dan tentang semua yang ingin ia tumpahkan. Sering ia bercerita tentang kesenangan dengan iringan air mata. Tangisannya baru terdengar saat melihat satu demi satu daun pohon itu berjatuhan.

Ia tahu bahwa tak lama lagi, pohon ini akan pergi. Tetes demi tetes air matanya seperti sudah terkuras habis, namun tidak dengan kesedihannya. Ia sadar dengan tak mampu menarik kembali takdir. Ia hanya bisa membuat keberadaan pohon itu tetap selalu ada dalam pikiran dan hatinya.

Maka, ia membawa sebuah buku dan pena. Ia coretkan segala hal yang pernah terjadi sebelumnya. Ia tumpahkan seluruh kepalanya dalam buku itu. Juga beberapa potong gambar dari pohon itu saat dulu masih hijau. Ia berharap, semua kenangan masa lalunya bisa abadi dalam buku ini. Ia menyempurnakan bersama dengan satu demi satu dahan pohon yang roboh di depannya. Hingga seluruh pohon itu roboh. Pohon itu tiada.

Sejak kejadian itu, tidak ada yang tahu dimana perempuan itu pergi. Orang-orang di sekitarnya pun tidak pernah bertemu dengannya. Namun ceritanya menjadi sebuah legenda di kampung itu, sebuah kampung yang berdiri tepat di atas bekas pohon itu. Sama seperti orang dan pohon yang lenyap, buku tersebut juga hilang ditelan waktu. Tidak ada yang pernah melihat buku itu. Book of Allay telah lenyap. Selamanya.

                                                                              ******

Ribuan tahun kemudian, ada orang yang memberikan sebuah buku kepadaku. Terbungkus sebuah kertas kado krem motif garis-garis, aku mengira ini hanyalah buku biasa. Yah, walaupun aku tidak tahu judulnya apa. Namun, saat ku buka, sebuah kejutan muncul. Karena cover buku ini sama dengan bungkusnya, pasti ini buku dibuat secara hand-made.

Saat memperhatikan covernya, tak ada satu huruf pun ditulis di sini. Sebuah buku tanpa judul. Dan saat lembar pertama buku ini, tebakan ku benar, buku ini buatan tangan. Halaman demi halaman ku amati, hanya keterkejutan yang mendominasi di awal dan pasti tawaku pecah setelahnya. Inilah Book of Alay. Sebuah buku yang isinya sangat alay telah berada di tanganku. Eureka!

 Namun, berkali-kali aku dibuat ngakak secara spontan. Mengapa?

“Mengapa” adalah pertanyaan awal, tengah dan akhirku. Selain karena tingkat kealayan dalam buku ini yang sangat dominan (jika tidak mau dibilang alay yang keterlaluan dan kebablasan) adalah karena pertanyaan ini: mengapa banyak fotoku terpampang di buku itu? Mengapa? Mengapa? Oh mengapa?



no caption, jangan potes lu!

                                                                            ******

Kisah dalam buku ini mengingatku pada sebuah dompet yang bergambar buaya pemberian teman juga. Mengapa buaya? Apakah aku mirip buaya? Buaya darat? Pertanyaan itu mengambang tanpa pernah mendapatkan jawabannya.

“Apakah aku buaya?” menjadi nyanyian pengantar malam.

Dan, apakah aku allay?

6 comments:

Eka S said...

ndak perlu tanya kali mas, kan jawabannya udah jelas
mas ALAY hahahahahahahahahahahaha

Toni said...

wooii ntar malem bawain dong bukunyaa :)

hudahoe said...

oke ton, ntar bawa pulang aja buku itu, hahahahaha...

shabrina said...

ihiir, hadiah kelulusan dari calon istri nih...
ngomong2, tnda tngan sp y di pojokan itu?ky' familiar...

rami hanggono said...

ini resensi film book of eli, bukan kakak? atau versi plesetannya ya?

hudahoe said...

sedikit plesetan...
Mau buat lagi resensi book of rami :P
atau book of ade(k) deh, wakaka
#damai

Post a Comment