31 Oct 2012

Polisi yang (di)Su’udzan(i)


Beuh...Hei, my honey buney blogeiy....

Saya penat, benar-benar penat menulis. Karena penat, saya jadi jarang menulis di sini. Nah, mumpung dini hari ini saya lagi amnesia ehhh insomnia, patutlah jika otak saya tidak bisa istirahat. Anehnya, ia justru berkeliaran kemana-mana, ia keluar dari kerangkeng. Ia kabur dari penjara.

Eh, ngomong-ngomong nich, hari ahad kemarin saya bersama seorang kawan berhasil melalui sebuah kejadian luar bisa. Saat itu, alien dari luar angkasa menyerbu ke Bumi. Mereka ingin menguasai Bumi. Kami tak mau tinggal diam menyaksikan sebuah penindasan pada manusia. Kami harus berjuang mengusirnya! Dan kami, hanya kami berdua berhasil menghajar semua alien itu. Mereka pun pulang kampung ke halaman planet asalnya deh. 

Ehhh...Tuh kan, jadi nglantur kan? Kenapa kalian tidak mengingatkan sih? Itu kan cerita kawan saya saat saya tanya mengapa telat mengembalikan sepeda motor. Jawabnya ya itu tadi: Alien menyerbu Keputih, jadi ia telat karena harus membasmi mereka dulu. #hening

Ciyus? Jika kalian tidak percaya, nanti saya sebutkan namanya. Untuk sementara saya lebih suka memanggilnya Hanggono, ini nama samarannya dia dalam dunia persilatan alay-kwondo.

Mari kembali ke jalan yang lurus sesuai kaidah agama, jangan lanjutkan kesesatan cerita di atas. Saya itu ingin berkisah tentang pengalaman saya bersama Kakak Bambang saat berencana untuk mengajar di Taman Baca Putat Jaya. Karena balas hutang ahad kemarin saya sengaja bolos.

Siang itu, seperti efek domino. Saya menunggu Bambang, dan dia sendiri sedang menunggu temannya. Jadilah, efek domino saling tunggu menunggu di bawah terik matahari yang membakar pelataran Surabaya. Kota Buaya sungguh eksotis hari itu. Panas menyengat celana, jaket, helm, sandal dan kulit saya yang semuanya hitam! Sempurna!

Lima menit berlalu, angin sepoi-sepoi mengelus halus jalanan. Sepuluh menit berlalu, kekeringan melanda satu desa. Lima belas menit berlalu, tubuh saya sudah dipenuhi lumut. Dua puluh menit berlalu, mungkin saya sudah ditemukan oleh Paleontolog dalam wujud fosil Pithecantropus Erectus! 

Alhamdulillah kejadian itu hanyalah halusinasi saya (kalau beneran kulit bisa berjamur, bisa masuk Guinness Book of World Record lhoooo). Sekitar 15 menit berselang, yang ditunggu telah datang membawa Sepeda motor yang super GD, Yamaha Vixion. 

“Ayo Mas saja yang nyetir, saya gak punya SIM dan gak tahu jalan”

Saya hening sejam lamanya ehhhh..hening sejenak untuk berpikir. Pertama, saya lebih pendek dari Bambang, mungkin sebahunya. Jadi akan sangat lucu jadinya kalau saya membonceng dia. Kedua, saya sadar sesadar-sadarnya jika saya itu pendek, lha masak mau naik motor yang begitu tingginya? Tentu, saya tidak ingin menertawakan diri sendiri. Apalagi sampai ditertawakan orang lain. Saya harus sadar diri itu #mengelusdada

Ketiga, sepeda motor itu memakai kopling. Saya paling tidak bisa mengatur gas, gigi, rem dan kopling motor jenis ini. Pernah pengalaman saya memaksakan memakai motor jenis ini untuk berjalan tak sampai 2 km. Hasilnya, saya mogok sampai 5 kali dan hampir ditabrak mobil karena mogoknya tepat di tengah jalan. #berkaca-kaca

So, tanpa banyak cingcong, saya meminta Bambang buat nyetir. Bambang, orang Padang yang baru 1,5 bulan di kota penuh dengan Buaya ini tapi tidak ada hiu (Suro)-nya. Dia tipe murid budiman pada pelajaran PPKn saat SD, anak yang baik hati, suka menolong, suka menabung dan jujur apa adanya. Jauh berbeda dengan saya, hehe.

Saya sebagai penunjuk arah sambil meyakinkan dia bahwa jalan yang kita lewati sangat amat jarang ada razia Polatas. Lalu, kita pun berangkat dengan iringan obrolan ngalor ngidul soal jalan-jalan Surabaya. Daaaaannn...terettteetttt.... #suaraterompet

Pas di jalan menjelang jalan RA Kartini, ada serombongan Polisi Lalu Lintas sudah mencegat kami dengan senyum paling super amat sangat manisnya. Apes, batinku. Ya sudah, kena tilang deh, batinku (lagi). Tapi, kenyataan selalu memberikan kejutan listrik 500 Volt-nya. Bambang lupa membawa dompetnya. Benar-benar lupa karena saya sempat berpikir positif bahwa dompetnya ada di tumpukan dalam tasnya. Nahas, ternyata apes kuadrat pangkat tujuh ada di depan mata.

Sepeda motor ini berplat Palembang, jadi sangat dicurigai oleh Polisi. Sementara teman Bambang di kontrakannya tidak ada yang tahu menahu jalan ini karena mereka semua adalah newbie dengan kota ini. Dan, hampir semua teman saya atau pun pengajar lainnya sedang mudik. Pengakuan jujur kita apa adanya tidak mempan. Wajah kita paling innocent sudah memancarkan aura paling melas, namun Polisi-polisi itu tidak bergeming.

“Ya sudah Mas. Anda ikut ke Polres Tegalsari sampai STNK-nya diantar ke sana”

Keluarlah fatwa agung itu dan membuat kami panik sekali. Kepala ini pun bingung SMS semua teman yang di Surabaya. Di tengah pikiran yang berputar-putar itu, entah jin usil dari mana yang masuk ke otak kanan saya. Tahu apa?

Saya ingin mempratekkan adengannya Fitrop. Pertama, saya pura-pura pingsan. Kedua, tiba-tiba dibangunkan oleh polisinya sampai tersadarkan diri. Sambil memegang kepala karena (pura-pura) pusing bilang gini “Aduh, aku dimana? Kamu siapa? Aku siapa? Namaku siapa?” terus kalimat pamungkasnya “Aku masih ganteng gak?”. #hening

Saya urung melakukannya karena pertimbangan asas kemanusian yang adil dan beradab. Kedua, jika saya benar-benar dipaksa oleh kekuatan ghaib untuk melakukannya maka hanya ada dua kemungkinan terjadi: saya dijebloskan ke penjara tanpa peradilan, atau sandal, sepatu, pentungan sampai pistol mereka melayang ke muka saya.

Dan Alhamdulillah, saya berhasil menghalau pikiran busuk itu dan menendangkan pergi ke otak saya lagi #eh

Sudah-sudah, nglanur lagi kaaannn... Fokus kembali ke cerita selanjutnya. Mau tidak mau, saya harus menuruti omongan mereka. Dua prinsip utama saya ketika menghadapi Polatas adalah jangan pernah nyuap dan selalu su’udzan dengan semua omongan mereka.

Lalu, kejadian paling horor pun dimulai. Seperti penjahat kelas ikan lele, kita digiring untuk memasuki mobil kepolisian. Dengan wajah pasrah dan masih bingung mengontak siapa saja di dunia ini yang bisa membawa dompet itu ke Polres sana, kami masuk ke mobil. Terlepas kami yang panik, saya masih bisa tertawa cekikikan.

“Masuk mobil Polisi? Pertama ini seumur hidup!”

Bambang mengamini. Apalagi dia sebagai pendatang baru, pengalaman ini adalah shock terapy. Untung saya tidak alay seperti memotret foto diri dalam mobil polisi lalu meng-upload-nya ke fesbuk #lupakan. Di dalam mobil, kami sibuk membalas SMS dan menelpon sana sini. Saya sendiri sudah rileks tidak setegang di awal. Saya pun mulai yakin bisa melalui semua ujian hidup ini. Aku harus yakin bisa mengatasi semua cobaan ini. #ayahibudoakanaku

Ahhhaaa...Saya terbersit satu nama.

“Emaaakkk....Bisa minta tolong? Antarakan dompet bla..bla..bla...kami sekarang di dalam mobil Polisi,” saya nyerocos di belakang kursi dua polisi tanpa rasa berdosa (atau tidak tahu malu?) 

Sesampainya di Polsek, kami pun lebih banyak ngobrol banyak soal pengalaman ketilang. Saya sendiri ketilang berkali-kali, sampai-sampai SIM saya banyak bolongnya. (setiap habis kena tilang, SIM biasanya ada bekas staples). Pelanggarannya pun macam-macam, tapi yang paling sering adalah tidak tahu rambu. Ungkapan ini sering saya ucapkan dengan keyakinan penuh dan wajah polos “Mana ada rambu Pak? Mana?”. Lalu, saya pun diantarkan tempat sampai dibawah rambunya. Baru saya ngaku salah, hehe.

10 Menit ngobrol, adzan Ashar sudah memanggil. Selepas sholat, datanglah Emak saya. Dia datang (mungkin) dengan wajah habis ketawa ngakak menertawakan saya. Lalu, kami mengurus surat tilangnya. Sebelumnya, saya sudah dibrefing oleh Dosen SI soal surat tilang dan pelanggaran yang kami lakukan. Plus juga soal dualism surat tilang: pink atau biru. Pink untuk pelanggar yang mengakui kesalahan, biru untuk yang ngeles.

“Kami ingin membantu Mas agar tidak mengurus ke Pengadilan. Saya akan urus ke kepala (kepala apa saya lupa). Jadi daripada Mas tidak sempat atau tidak mau menunggu lama jika mengurus di Pengadilan, saya tawarkan jalan ini,” tawar salah satu Polisi.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Bambang, saya cuman mendengarkan. Ketetapan hati saya satu “tilang saja tak apa Pak, nanti saya urus di Pengadilan”. Saya malas berdebat, bertanya, berdiskusi dan tawar-menawar dengan Polisi. Mengapa? 80% kasus tilang saya selalu berujung minta uang dengan modus kalimat yang bermacam-macam. Bahkan kadang ada yang maksa untuk minta uang, padahal jelas-jelas sudah saya jelaskan di awal jika saya terkena krisis finansial stadium 328!

Secara pribadi, saya maunya tidak mengeneralisasi semua Polisi seperti itu. Tapi selalu tidak bisa, saya cenderung su’udzan pada mereka. Walaupun saya pernah sekali menaruh hormat sekali pada Polisi yang di tengah siang terik, beliau berjaga sendiri, menilang pelanggar, tidak mau disuap dan justru memarahi penyuapnya. Andai semua Polisi seperti Bapak kala itu. Hormat grak!

Lanjut ke tawaran tadi, saya pun tidak sepenuhnya percaya dengan mereka. Setahu saya, jalur legal mengurus tilang hanya dua: membayar langsung di Bank atau ke Pengadilan. Lha mereka bilangnya diurus dengan atasannya. Saya sama sekali tidak berminat bertanya bagaimana mekanisme “jalur itu”.

“Sudah Pak, tilang saja. Nanti kita urus dipengadilan,” ujar saya singkat.

Lalu, soal surat tilang. Kita diberi warna biru (sesuai prediksi kami sejak awal). Lalu Bambang menyela interupsi.

“Mengapa memakai tilang biru Pak? Bukan merah muda? Kan menurut UU bla...bla..blaa..”

Lalu, kita pun berdiskusi. Saya pun merasa tidak sepenuhnya diskusi, karena terlalu janggal. Pertama, bapaknya menjelaskan kalau warna merah muda-biru itu sama saja. Kalau sama, ngapain dicetak dua buah? Ini yang goblok siapa sih? Masak nyalahin percetakannya?

Beliau malah panjang lebar menjelaskan kesalahan kami pada UU no 22 tahun 1997. Intinya, dipasal itu menjelaskan jika ada kendaraan tidak dilengkapi STNK bisa didenda sekian ribu sampai sekian ribu. Dan STNK tertinggal termasuk kasus dalam pasal itu. Entahlah, soal bahasa memang multitafsir. Saya pun sebenarnya tidak sepakat, masak STNK tertinggal terhitung motor colongan. Namun malas bercincong-ria.

Persoalan pun selesai dan kami ikhlas dengan terpaksa menerima surat tilang warna biru. Dan harus sidang tanggal 9 november. Titik. #caseclosed

Kejadian odong selanjutnya adalah saat motor besi yang kita tunggangi sering mogok berkali-kali. Pernah ada satu kali mogok yang lama sekali, distater atas tidak bisa. Pakai engkol bawah juga tidak bisa. Sampai ada mas-mas di samping kami nyeletuk soal lampu minyak kita yang menyala. Pantesan tidak bisa distater, lha minyaknya turun, haha..

Sesampai di TBM. Seperti tidak terjadi apa-apa, saya menjelaskan soal mekanisme membuat video film mini. Sebelumnya adik-adik cerita jika habis tawuran dengan anak gang sebelah. Mereka digawangi oleh anak-anak cewek wonderwoman. Saya sih no comment, sudah biasa. Lalu.

“Katanya tadi kakak habis ketilang?”

“Iya, kenapa Dik?”

“Ya disyukuri Kak”

“Lho, musibah kok disyukuri? Kalau nikmat itu disyukuri yang bener”

“Gimana sih kakak ini? Kalau dapat musibah itu kita harus bilang ‘alhamdulillah’ #sambilkoor. Karena kita masih diberikan musibah kecil. Kalau kita sakit kita harus bilang ‘alhamdulillah’ #koorlagi karena kita belum meninggal”

Saya terdiam. Tersindir juga ingin tertawa ringan. 

“Oh gitu ya? Tadi habis tawuran sekarang sudah bisa jadi ustadzah ya?” 

Dan kami pun tertawa bersama. Lalu, saya menjelaskan soal Film memakai gaya lama sambil teriak-teriak seperti rentenir nagih hutang. Soal peran, latar, kostum, alur dan pemain filmnya.

“Nanti kalau dibuat cerita sedih gimana? Seperti anak sakit parah dan tidak bisa disembuhkan. Tapi kita butuh peran suster. Dik Zahras mau jadi suster? Kamu cocok banget”

“Aduh kak, kalau ngefans sama aku sini tak kasih tanda tangan,” jawab dik Zahras. Saya terdiam sejenak #heninglagi

“Setuju ya? Nanti jadi suster....suster ngesot”

Kita tertawa bersama lagi. Skor menjadi 1-1. Saya bisa pulang dengan damai, hehe..

Kami pulang. Ngobrol dengan Bambang sepanjang jalan soal dunia sosial dan prostitusi. Dan sesampainya di kantor, saya kembali ditertawakan teman-teman di sana. Skor berubah menjadi 2-1. Saya kalah hingga dini hari menjelang kembali.

Kamar Kos
31 Okt 2012
Kala fajar masih malu-malu padaku #ciyus?

6 comments:

Unknown said...

Ini saya bacanya malam-malam dan sampean berhasil membuat malam saya menjadi syahdu mas.. hahahaha..

Fifi Alfiana said...

saya bacanya subuh-subuh habis sholat subuhan, syahdu-nya nyata nih.. :D hehe

Anas Fauzi said...

Alhamdulillah #ini ajarannya aliran ismailiyah mas huda, by kak ismail :D

Eka S said...

Alay...haha
Aku baca jam 7 pagi juga tetep ngrasa syahdu hehe

ibnu hamzah said...

kala fajar masih malu-malu padaku#ciyu?

cie...sekarang pedekate sama fajar...pedekatenya di kamar kos pisan, ihirr ihirr

hudahoe said...

tulisan saya emang koplak sangat :)
saya lebih bisa membuat orang tertawa daripada membuat orang menangis :o

@rami hanggono
ciyyuuuus?? tiyuuuss? Saya tidak akan merebut Fajar dari pelukanmu :P

Post a Comment