Beuh...Hei, my honey buney blogeiy....
Saya penat, benar-benar penat menulis. Karena penat, saya
jadi jarang menulis di sini. Nah, mumpung dini hari ini saya lagi amnesia ehhh
insomnia, patutlah jika otak saya tidak bisa istirahat. Anehnya, ia justru
berkeliaran kemana-mana, ia keluar dari kerangkeng. Ia kabur dari penjara.
Eh,
ngomong-ngomong nich, hari ahad
kemarin saya bersama seorang kawan berhasil melalui sebuah kejadian luar bisa. Saat
itu, alien dari luar angkasa menyerbu ke Bumi. Mereka ingin menguasai Bumi.
Kami tak mau tinggal diam menyaksikan sebuah penindasan pada manusia. Kami
harus berjuang mengusirnya! Dan kami, hanya kami berdua berhasil menghajar
semua alien itu. Mereka pun pulang kampung ke halaman planet asalnya deh.
Ehhh...Tuh kan,
jadi nglantur kan? Kenapa kalian tidak mengingatkan sih? Itu kan cerita kawan
saya saat saya tanya mengapa telat mengembalikan sepeda motor. Jawabnya ya itu
tadi: Alien menyerbu Keputih, jadi ia telat karena harus membasmi mereka dulu.
#hening
Ciyus? Jika kalian
tidak percaya, nanti saya sebutkan namanya. Untuk sementara saya lebih suka
memanggilnya Hanggono, ini nama samarannya dia dalam dunia persilatan
alay-kwondo.
Mari kembali ke jalan yang lurus sesuai kaidah agama, jangan
lanjutkan kesesatan cerita di atas. Saya itu ingin berkisah tentang pengalaman
saya bersama Kakak Bambang saat berencana untuk mengajar di Taman Baca Putat
Jaya. Karena balas hutang ahad kemarin saya sengaja bolos.
Siang itu, seperti efek domino. Saya menunggu Bambang, dan
dia sendiri sedang menunggu temannya. Jadilah, efek domino saling tunggu
menunggu di bawah terik matahari yang membakar pelataran Surabaya. Kota Buaya
sungguh eksotis hari itu. Panas menyengat celana, jaket, helm, sandal dan kulit
saya yang semuanya hitam! Sempurna!
Lima menit berlalu, angin sepoi-sepoi mengelus halus
jalanan. Sepuluh menit berlalu, kekeringan melanda satu desa. Lima belas menit
berlalu, tubuh saya sudah dipenuhi lumut. Dua puluh menit berlalu, mungkin saya
sudah ditemukan oleh Paleontolog dalam wujud fosil Pithecantropus Erectus!
Alhamdulillah kejadian itu hanyalah halusinasi saya (kalau
beneran kulit bisa berjamur, bisa masuk Guinness Book of World Record lhoooo).
Sekitar 15 menit berselang, yang ditunggu telah datang membawa Sepeda motor
yang super GD, Yamaha Vixion.
“Ayo Mas saja yang nyetir, saya gak punya SIM dan gak
tahu jalan”
Saya hening sejam lamanya ehhhh..hening sejenak untuk
berpikir. Pertama, saya lebih pendek dari Bambang, mungkin sebahunya. Jadi akan
sangat lucu jadinya kalau saya membonceng dia. Kedua, saya sadar
sesadar-sadarnya jika saya itu pendek, lha masak mau naik motor yang begitu
tingginya? Tentu, saya tidak ingin menertawakan diri sendiri. Apalagi sampai
ditertawakan orang lain. Saya harus sadar diri itu #mengelusdada
Ketiga, sepeda motor itu memakai kopling. Saya paling tidak
bisa mengatur gas, gigi, rem dan kopling motor jenis ini. Pernah pengalaman
saya memaksakan memakai motor jenis ini untuk berjalan tak sampai 2 km.
Hasilnya, saya mogok sampai 5 kali dan hampir ditabrak mobil karena mogoknya
tepat di tengah jalan. #berkaca-kaca
So, tanpa banyak
cingcong, saya meminta Bambang buat nyetir. Bambang, orang Padang yang baru
1,5 bulan di kota penuh dengan Buaya ini tapi tidak ada hiu (Suro)-nya. Dia
tipe murid budiman pada pelajaran PPKn saat SD, anak yang baik hati, suka
menolong, suka menabung dan jujur apa adanya. Jauh berbeda dengan saya, hehe.
Saya sebagai penunjuk arah sambil meyakinkan dia bahwa jalan
yang kita lewati sangat amat jarang ada razia Polatas. Lalu, kita pun berangkat
dengan iringan obrolan ngalor ngidul
soal jalan-jalan Surabaya. Daaaaannn...terettteetttt.... #suaraterompet
Pas di jalan menjelang jalan RA Kartini, ada serombongan
Polisi Lalu Lintas sudah mencegat kami dengan senyum paling super amat sangat
manisnya. Apes, batinku. Ya sudah, kena tilang deh, batinku (lagi). Tapi,
kenyataan selalu memberikan kejutan listrik 500 Volt-nya. Bambang lupa membawa
dompetnya. Benar-benar lupa karena saya sempat berpikir positif bahwa dompetnya
ada di tumpukan dalam tasnya. Nahas, ternyata apes kuadrat pangkat tujuh ada di depan mata.
Sepeda motor ini berplat Palembang, jadi sangat dicurigai
oleh Polisi. Sementara teman Bambang di kontrakannya tidak ada yang tahu menahu
jalan ini karena mereka semua adalah newbie
dengan kota ini. Dan, hampir semua teman saya atau pun pengajar lainnya
sedang mudik. Pengakuan jujur kita apa adanya tidak mempan. Wajah kita paling innocent sudah memancarkan aura paling melas,
namun Polisi-polisi itu tidak bergeming.
“Ya sudah Mas. Anda ikut ke Polres Tegalsari sampai STNK-nya
diantar ke sana”
Keluarlah fatwa agung itu dan membuat kami panik sekali.
Kepala ini pun bingung SMS semua teman yang di Surabaya. Di tengah pikiran yang
berputar-putar itu, entah jin usil dari mana yang masuk ke otak kanan saya.
Tahu apa?
Saya ingin mempratekkan adengannya Fitrop. Pertama, saya
pura-pura pingsan. Kedua, tiba-tiba dibangunkan oleh polisinya sampai
tersadarkan diri. Sambil memegang kepala karena (pura-pura) pusing bilang gini
“Aduh, aku dimana? Kamu siapa? Aku siapa? Namaku siapa?” terus kalimat
pamungkasnya “Aku masih ganteng gak?”.
#hening
Saya urung melakukannya karena pertimbangan asas kemanusian
yang adil dan beradab. Kedua, jika saya benar-benar dipaksa oleh kekuatan ghaib
untuk melakukannya maka hanya ada dua kemungkinan terjadi: saya dijebloskan ke
penjara tanpa peradilan, atau sandal, sepatu, pentungan sampai pistol mereka
melayang ke muka saya.
Dan Alhamdulillah, saya berhasil menghalau pikiran busuk itu
dan menendangkan pergi ke otak saya lagi #eh
Sudah-sudah, nglanur lagi kaaannn... Fokus kembali ke cerita
selanjutnya. Mau tidak mau, saya harus menuruti omongan mereka. Dua prinsip
utama saya ketika menghadapi Polatas adalah jangan pernah nyuap dan selalu su’udzan dengan semua omongan mereka.
Lalu, kejadian paling horor pun dimulai. Seperti penjahat
kelas ikan lele, kita digiring untuk memasuki mobil kepolisian. Dengan wajah
pasrah dan masih bingung mengontak siapa saja di dunia ini yang bisa membawa
dompet itu ke Polres sana, kami masuk ke mobil. Terlepas kami yang panik, saya
masih bisa tertawa cekikikan.
“Masuk mobil Polisi? Pertama ini seumur hidup!”
Bambang mengamini. Apalagi dia sebagai pendatang baru,
pengalaman ini adalah shock terapy. Untung
saya tidak alay seperti memotret foto diri dalam mobil polisi lalu meng-upload-nya ke fesbuk #lupakan. Di dalam
mobil, kami sibuk membalas SMS dan menelpon sana sini. Saya sendiri sudah
rileks tidak setegang di awal. Saya pun mulai yakin bisa melalui semua ujian
hidup ini. Aku harus yakin bisa mengatasi semua cobaan ini. #ayahibudoakanaku
Ahhhaaa...Saya terbersit satu nama.
“Emaaakkk....Bisa minta tolong? Antarakan dompet
bla..bla..bla...kami sekarang di dalam mobil Polisi,” saya nyerocos di belakang
kursi dua polisi tanpa rasa berdosa (atau tidak tahu malu?)
Sesampainya di Polsek, kami pun lebih banyak ngobrol banyak
soal pengalaman ketilang. Saya sendiri ketilang berkali-kali, sampai-sampai SIM
saya banyak bolongnya. (setiap habis kena tilang, SIM biasanya ada bekas
staples). Pelanggarannya pun macam-macam, tapi yang paling sering adalah tidak
tahu rambu. Ungkapan ini sering saya ucapkan dengan keyakinan penuh dan wajah
polos “Mana ada rambu Pak? Mana?”. Lalu, saya pun diantarkan tempat sampai
dibawah rambunya. Baru saya ngaku salah, hehe.
10 Menit ngobrol, adzan Ashar sudah memanggil. Selepas
sholat, datanglah Emak saya. Dia datang (mungkin) dengan wajah habis ketawa
ngakak menertawakan saya. Lalu, kami mengurus surat tilangnya. Sebelumnya, saya
sudah dibrefing oleh Dosen SI soal surat tilang dan pelanggaran yang kami
lakukan. Plus juga soal dualism surat tilang: pink atau biru. Pink untuk
pelanggar yang mengakui kesalahan, biru untuk yang ngeles.
“Kami ingin membantu Mas agar tidak mengurus ke Pengadilan.
Saya akan urus ke kepala (kepala apa saya lupa). Jadi daripada Mas tidak sempat
atau tidak mau menunggu lama jika mengurus di Pengadilan, saya tawarkan jalan
ini,” tawar salah satu Polisi.
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Bambang, saya
cuman mendengarkan. Ketetapan hati saya satu “tilang saja tak apa Pak, nanti
saya urus di Pengadilan”. Saya malas berdebat, bertanya, berdiskusi dan
tawar-menawar dengan Polisi. Mengapa? 80% kasus tilang saya selalu berujung
minta uang dengan modus kalimat yang bermacam-macam. Bahkan kadang ada yang
maksa untuk minta uang, padahal jelas-jelas sudah saya jelaskan di awal jika
saya terkena krisis finansial stadium 328!
Secara pribadi, saya maunya tidak mengeneralisasi semua
Polisi seperti itu. Tapi selalu tidak bisa, saya cenderung su’udzan pada
mereka. Walaupun saya pernah sekali menaruh hormat sekali pada Polisi yang di
tengah siang terik, beliau berjaga sendiri, menilang pelanggar, tidak mau
disuap dan justru memarahi penyuapnya. Andai semua Polisi seperti Bapak kala
itu. Hormat grak!
Lanjut ke tawaran tadi, saya pun tidak sepenuhnya percaya
dengan mereka. Setahu saya, jalur legal mengurus tilang hanya dua: membayar
langsung di Bank atau ke Pengadilan. Lha
mereka bilangnya diurus dengan atasannya. Saya sama sekali tidak berminat
bertanya bagaimana mekanisme “jalur itu”.
“Sudah Pak, tilang saja. Nanti kita urus dipengadilan,” ujar
saya singkat.
Lalu, soal surat tilang. Kita diberi warna biru (sesuai
prediksi kami sejak awal). Lalu Bambang menyela interupsi.
“Mengapa memakai tilang biru Pak? Bukan merah muda? Kan
menurut UU bla...bla..blaa..”
Lalu, kita pun berdiskusi. Saya pun merasa tidak sepenuhnya
diskusi, karena terlalu janggal. Pertama, bapaknya menjelaskan kalau warna
merah muda-biru itu sama saja. Kalau sama, ngapain dicetak dua buah? Ini yang
goblok siapa sih? Masak nyalahin percetakannya?
Beliau malah panjang lebar menjelaskan kesalahan kami pada
UU no 22 tahun 1997. Intinya, dipasal itu menjelaskan jika ada kendaraan tidak
dilengkapi STNK bisa didenda sekian ribu sampai sekian ribu. Dan STNK
tertinggal termasuk kasus dalam pasal itu. Entahlah, soal bahasa memang
multitafsir. Saya pun sebenarnya tidak sepakat, masak STNK tertinggal terhitung
motor colongan. Namun malas bercincong-ria.
Persoalan pun selesai dan kami ikhlas dengan terpaksa
menerima surat tilang warna biru. Dan harus sidang tanggal 9 november. Titik.
#caseclosed
Kejadian odong
selanjutnya adalah saat motor besi yang kita tunggangi sering mogok
berkali-kali. Pernah ada satu kali mogok yang lama sekali, distater atas tidak
bisa. Pakai engkol bawah juga tidak bisa. Sampai ada mas-mas di samping kami
nyeletuk soal lampu minyak kita yang menyala. Pantesan tidak bisa distater, lha
minyaknya turun, haha..
Sesampai di TBM. Seperti tidak terjadi apa-apa, saya
menjelaskan soal mekanisme membuat video film mini. Sebelumnya adik-adik cerita
jika habis tawuran dengan anak gang sebelah. Mereka digawangi oleh anak-anak
cewek wonderwoman. Saya sih no comment, sudah biasa. Lalu.
“Katanya tadi kakak habis ketilang?”
“Iya, kenapa Dik?”
“Ya disyukuri Kak”
“Lho, musibah kok disyukuri? Kalau nikmat itu disyukuri yang
bener”
“Gimana sih kakak ini? Kalau dapat musibah itu kita harus
bilang ‘alhamdulillah’ #sambilkoor. Karena kita masih diberikan musibah kecil.
Kalau kita sakit kita harus bilang ‘alhamdulillah’ #koorlagi karena kita belum
meninggal”
Saya terdiam. Tersindir juga ingin tertawa ringan.
“Oh gitu ya? Tadi habis tawuran sekarang sudah bisa jadi
ustadzah ya?”
Dan kami pun tertawa bersama. Lalu, saya menjelaskan soal
Film memakai gaya lama sambil teriak-teriak seperti rentenir nagih hutang. Soal
peran, latar, kostum, alur dan pemain filmnya.
“Nanti kalau dibuat cerita sedih gimana? Seperti anak sakit
parah dan tidak bisa disembuhkan. Tapi kita butuh peran suster. Dik Zahras mau
jadi suster? Kamu cocok banget”
“Aduh kak, kalau ngefans sama aku sini tak kasih tanda
tangan,” jawab dik Zahras. Saya terdiam sejenak #heninglagi
“Setuju ya? Nanti jadi suster....suster ngesot”
Kita tertawa bersama lagi. Skor menjadi 1-1. Saya bisa
pulang dengan damai, hehe..
Kami pulang. Ngobrol dengan Bambang sepanjang jalan soal
dunia sosial dan prostitusi. Dan sesampainya di kantor, saya kembali ditertawakan
teman-teman di sana. Skor berubah menjadi 2-1. Saya kalah hingga dini hari
menjelang kembali.
Kamar Kos
31 Okt 2012
Kala fajar masih
malu-malu padaku #ciyus?
6 comments:
Ini saya bacanya malam-malam dan sampean berhasil membuat malam saya menjadi syahdu mas.. hahahaha..
saya bacanya subuh-subuh habis sholat subuhan, syahdu-nya nyata nih.. :D hehe
Alhamdulillah #ini ajarannya aliran ismailiyah mas huda, by kak ismail :D
Alay...haha
Aku baca jam 7 pagi juga tetep ngrasa syahdu hehe
kala fajar masih malu-malu padaku#ciyu?
cie...sekarang pedekate sama fajar...pedekatenya di kamar kos pisan, ihirr ihirr
tulisan saya emang koplak sangat :)
saya lebih bisa membuat orang tertawa daripada membuat orang menangis :o
@rami hanggono
ciyyuuuus?? tiyuuuss? Saya tidak akan merebut Fajar dari pelukanmu :P
Post a Comment