10 Apr 2011

Ayo, Mahasiswa Mengajar!


Bagi banyak orang, pendidikan adalah alternatif utama mencapai cita-cita. Atau minimal bisa memberi jaminan pekerjaan di masa depan nanti. Namun sejatinya, kita tidak pernah bisa memilih takdir dimana kita dilahirkan. Terlahir di kota atau desa sudah tentu banyak perjuangan yang membedakannya. Itu belum seberapa jika kita terlahir di lingkungan pinggiran, menjadi kaum marginal!

Wajahnya berkerut. Bahasa tubuhnya menorehkan tanda bahwa dia sedang berkonsentrasi. Hawa panas kota Surabaya membuat keringatnya bercucuran, beradu dengan polesannya di atas kertas putih itu. Tak lama, keusilannya kambuh. Adi, begitu biasa saya memanggilnya beradu otot memperebutkan spidol warna dari temannya. Hanya keributan kecil, pikir saya.

Siang itu, Adi bersama dengan hampir 50 anak lainnya membuat suasana ruangan panas ini menjadi benar-benar hidup. Keramaiannya tak kalah dengan pasar sore. Hingga sukses membuat hampir semua pengajar berteriak bak orator demonstrasi kelas kakap. Mengajak membuat majalah dinding (mading) pun terasa seperti koordinasi sebelum tawuran.

Tetap ramai hingga sejam berlalu. Tujuh karya mereka pun diabadikan serempak di depan para fotografer tjap kroepoek. Mengambil tema “Cita-Citaku”, aneka jenis gambar guratan masa depan terpampang. Mulai dari profesi, harapan, sampai ilustrasi yang tidak bisa didefinisikan menjawab keinginan daripada rasa lelah kita. Satu per satu kita amati. Pelan, keramaian itu terbendung dengan keceriaan.


Lihatlah, ada gambar dokter, polisi, masinis, pramugari, pesepak bola, atau yang mayoritas, gambar seorang guru. Semuanya berpadu dengan keceriaan masa kecil yang menggemaskan. Sungguh, dunia anak memang ditakdirkan selalu terlihat indah dan menyenangkan.

Ada satu gambar yang menohok bagi saya. Sebuah gambar polisi yang semrawut berpadu dengan tulisan “I Love You ITS”. Tulisan singkat, jelas, padat namun tidak bergizi (siapa juga yang mau memakan?). Saya terharu. Bukan karena saya adalah mahasiswa ITS diantara mahasiswa dari universitas lainnya. Namun lebih karena siapa dan dimana tulisan ini ditulis.

Tulisan ini tergores di kampus D, begitu mahasiswa akrab menyebutnya.

Seperti Sinetron tapi Nyata
Adi, hampir sama dengan mayoritas teman sebayanya, hidup dalam kungkungan lingkungan yang “tidak biasa” bagi kita. Secara finansial, tidak ada masalah. Namun saat kita mencoba berkunjung ke rumahnya, kondisinya memelas dada. Sejak lahir. Atau perlu diralat: bahkan sejak mereka belum lahir ke dunia. Simaklah tingkah tabiatnya.

Tentang cita-citanya, saya masih ingat sekitar dua tahun lalu, saat tingkat kebrutalan mereka masih berada di level 342. Dengan enteng dia menjawab, “menjadi aktor gulat smackdown WWE”. Jam berapa kamu tidur kok sempat menonton tontonan itu? “Biasanya jam satu (malam)”. Tidak ada yang menegur? “Tidak ada”. (datar, tanpa merasa bersalah).

Kalau adik-adik yang lain cita-citanya apa? “Menjadi power ranger (dengan sangat pede)”. Mengapa power ranger, bukan yang lain? Sebelum jawaban diutarakan, tiga orang sudah berebut hak paten untuk bercita-cita menjadi power ranger merah, putih atau biru. Tidak menemukan kesepakatan, hukum rimba bereaksi. Mereka beradu fisik disertai untaian “kalimat mutiara”. Belum selesai melerai, di luar sudah ada anak orang yang menangis keras karena kalah berkelahi. Sementara di dalam ruangan sudah seperti pasar sore. Kondisi ini bersimbiosis mutualisme dengan suara karaoke wisma yang tak kalah heboh.

Duh, apakah saya sedang bermimpi kala itu? TIDAK. Saya mewajarinya sambil menoleh sedikit ke kanan dan kiri. Belasan wisma berjejer mirip ruko atau perkantoran mini. Tanpa masuk ke dalam, lihatlah apa yang tertera di luarnya, menu harian siap berganti hari demi hari. Ini bukan menu makanan, tapi foto-foto gadis muda nan seksi yang siap “bekerja”. Juga ada menu laki-laki, jika ada yang berminat. Jika anda sering datang ke sana, juga ada program doorprize. Bagaimana model doorprize-nya? Entahlah.

Eh, mahasiswa bisa mengakses hiburan ini lho! Karena hanya ada satu larangan “ANGGOTA TNI DILARANG MASUK”. Cobalah masuk ke dalam sana. Bau sengak siap menguasai perut. Jenis-jenis minuman keras berjejeran rapi mirip pasukan pengibar bendera. Dari Topi Miring, Anggur Merah, Anggur Putih, Vodka sampai Intisari ada di sini, lengkap. Lebih ke dalam, bilik-bilik mini terpampang jelas bersama perempuan yang miskin busana. Mereka sedang menunggu anda. Lebih dalam lagi, silahkan anda cek sendiri langsung di sana. Karena prestasi saya hanya bisa mampir sampai di ruang tengah.

Di kawasan prostitusi (yang konon katanya mbah dukun) terbesar se-Asia Tenggara tersebut, dunia anak-anak seperti pertemuan air dan api. Ganjil dan sering menyayat hati. Bahasa gampangnya, bagaimana masa depan anda jika sejak dalam kandungan anda dijejali dengan fakta seperti di atas? Jika anda laki-laki, ada sedikit “keberuntungan”. Namun jika anda terlahir sebagai perempuan di sini? Entahlah, saya bukan ketua Asosiasi Dukun Dunia Akhirat (ADDA) yang bisa meramal masa depan anak manusia.

Hal yang pasti adalah kenyataan. Semua ini fakta! Sampai detik ini pun saya tidak akan melupakan momen melihat anak kecil yang sedang belajar berdiri dengan berpegangan pada tumpukan krat bir. Miris!

Belum Orang Tua, Bukan Guru
Kita bukan Ibu. Yang bisa menyayangi mereka sepenuh hati. Mengerti setiap keperluan dan keinginannya. Atau hanya sekedar mendengarkan celotehannya sepulang sekolah. Kita juga bukan Bapak. Yang bisa menjadi figur pelindung ditengah ketakukan mereka. Sosok yang bisa tegas meluruskan ditengah ketidaktahuan mereka. Peneduh jiwa. Kita sadar sepenuhnya, kita bukan keduanya.

Kita juga sadar, kita bukan guru. Walaupun kita semua sudah lulus SD sampai SMA, tapi ilmu mengajar tidak pernah diajarkan. Bahkan sampai di bangku kuliah, tidak ada satu SKS pun yang membahas “bagaimana menjadi pendidik”. Karena mengajak mereka berkelahi jauh lebih mudah daripada menghentikan kata “janc*k” dalam satu perkataannya, kira-kira begitulah analogi ringan bagaimana susahnya menjadi pengajar di kawasan prostitusi.

Tapi apakah itu artinya kita tidak bisa mengajar? Memang kita tidak bisa menjadi Ibu, Bapak atau pun Guru mereka. Namun kita masih bisa menjadi kakak bagi mereka. Bisa mengajar sembari belajar bersama. Tidak menggurui. Bisa belajar sambil bermain. Menelurkan nilai positif tanpa harus demonstrasi. Tanpa harus belajar mendoktrin, anak-anak disini bisa nurut jika mendapatkan perhatian. Yah,  walaupun kenakalannya sulit direduksi.

“Kak, minggu depan ngajar lagi kan?,” ucapan ringan seorang anak yang ibunya berprofesi sebagai mucikari. Cukup sebagai supplier

Jangan Menunggu Fasilitas
Sebagai penggemar tulisan blog di portal Indonesia Mengajar (IM), saya sering iri melihat bagaimana kepiawaian para pengajarnya menebar inspirasi di daerah yang teramat asing. Tidak begitu mengherankan pula setelah melihat sederat curriculum vitae mereka yang membuat mata terbelalak. Mereka adalah orang terpilih dari ribuan yang terbaik.

Ingin menjadi mereka. Turut serta digodok dengan beragam keterampilan sebagai pendidikan hingga urusan pengembangan sosial. Berharap pula bisa bertempat tinggal dekat dengan kediaman adik-adik seperti kisah para pengajar IM. Bisa merasakan setiap denyut nadi kehidupan mereka. Menghirup udara yang sama. Hingga bisa lebih mudah mengurai benang kusut persoalan sosial di sana. Eh, ini mau mengajar atau “jajan”? Bisa terjadi hal-hal diinginkan jika sampai menginap di sana.

Ah, jangan bermimpi di siang bolong nan panasnya kota Surabaya. Melakukan apa yang bisa dilakukan sepertinya jauh lebih baik daripada berangan-angan yang justru malah menyurutkan langkah. Mereka sedang meronta-ronta akan tenggelam, malah justru kita yang bisa berenang menunggu datangnya tim SAR sejam kemudian. Do a little thing but do right here, right now, not tomorrow but today!

Menjadi Mahasiswa (Sok) Sibuk
Sering kita merasa sibuk dengan diri sendiri. Belajar menjadi multytasker. Mengumpulkan capaian pribadi yang luar biasa. Menjadi aktivis dengan kesibukan luar biasa mengalahkan jadwal presiden. Menjadi prestatif dengan nama yang bertengger dimana-mana. Menjadi orator ulung yang disetiap demonstrasi tak ada pernah titip absen. Ah, diskripsi ini sepertinya tidak ada di Kampoes Perdjoeangan.

Intinya jangan menjadi mahasiswa yang (sok) sibuk! Kata sibuk di sini tidak sama dengan singkatan dari “SIthik sithik fesBUKan”. Mari bertamasya ke Dolly, mau?


Sebuah curhat dari ‘pedalaman’ kota Buaya,

see also this articel on : http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=8228

No comments:

Post a Comment