23 Jan 2012

Guyonan Mereka


Ya Allah, dua pekan ini saya benar-benar mampet nulis. Ide menggelegar banyak, tapi tak satu pun keluar dalam bentuk tulisan. Hanya cerocosan yang membaur dengan bau mulut, lawan bicara pingsan, saya kabur dan...lenyap tertiup angin waktu. 

Sebenarnya, tuntutan nulis juga banyak, ada nulis buku, nulis artikel, nulis cerpen, nulis puluhan LPJ dan juga nulis revisi. Ohhhh, yang bagian terakhir sungguh menjengkelkan. Ia adalah biangkerok dari semua kemampetan ini! Suer deh. (Padahal itu juga salah saya sendiri ujung-ujungnya, hehe)

Tak apalah, sekarang saya bisa menulis lagi. Dengan tempo yang grathul-grathul dan gaya semau gue, biarlah curhatan ini menjadi sebuah untaian kalimat yang bermakna (cieleee, belagu amat). 

------------------------------SERIUS MODE: ACTIVED-----------------------------------

Biarlah rasa tanya itu mengendap paksa dalam dikotomi pikiran ini. Hingga jawaban tentang dunia, yang selalu dipertanyakan manusia hadir dengan sendirinya, tanpa dikejar, tanpa dipaksa. Memaksakan sekali memang. Tapi, terkadang itu adalah keharusan. Ketika ruang untuk kemanusiaan yang teramat sempit itu ditodong dengan milyaran tanya. Pasti, ia akan tak terbendung juga kan?

Biarlah ruang "itu" yang menjawabnya. Ruang, yang tidak penuh dengan logika yang tidak logis. Dirututi oleh jawaban yang tak mampu dinalar, hingga keabsuran dunia yang semakin terlihat nyata. Inilah realita, ketika daya manusia berarti nol. Tiada.

Biarlah pikiran saya berontak tentang keadilan, yang sangat luas itu tapi hanya mampu saya lihat dengan kacamata mini milik saya. Yang dengannya, keadilan terasa sempit, tidak lebih luas dari telapak tangan. Ah, piciknya pikiran ini.

Biarlah keacuhan ini menjelma menjadi taring. Bersama liurnya yang beracun, juga nafasnya yang buas. Dengan mereka, mental sekuat baja pun pasti luluh, hancur dan hilang. Atau jika ia hidup, pasti sudah mati terkorosi racun yang membinasakan atau mati dengan nafas yang tersenggal di ujung tenggorokan. Biarlah.

Dunia memang semu. Sama semunya dengan rasa keadilan itu. Tentu, dari mata manusia, si makhluk itu.

---------------------------------------------------------------------------------------------

"Kak, nanti kalau aku tanya, jawab 'kok tahu sih'. Okey," pintanya sangat manja.

"Kalau kakak nggak mau jawab?"

"Awas sampeyan Kak," jawabnya dengan nada kesal.

"Oke deh, kakak nurut saja"

Saya pun terpaksa nuruti saja, asal dia senang. Begitulah, anak-anak memang sudah ditakdirkan super demen dengan hal senang-senang. Have fun.

"Ehmmm..Kak, Bapakmu penjual bir kan?" tanyanya dengan genit.

"Apa? Penjual bir? Maksud lu?" teriakku dalam hati. 

Kok perumpamaannya penjual bir sih? Apa tampang saya mirip botooolll...bir? Vodca? Topi Miring? Hah?

"Ehmmm... Iya, kok tahu sih?" Lisan saya sudah diatur oleh remote control-nya.

"Soalnya, tiap hari hatiku mabuk karena mu,"

"Apa?" teriak ku dalam hati (lagi).

Salahkah jika mereka menggunakan pengandaian "gombalan jesica iskandar" model penjual bir? Sementara setiap hari mereka pasti menyaksikan barisan bir yang duduk manis dengan para perempuan-perempuan itu. Atau bir yang berpadu dengan lelaki belang, dengan jalannya yang sempoyongan, mabuk.

Zahras "Nikita Willy", ia baru kelas 5 SD. Mengajari saya tentang nilai kehidupan, kenyataan, mentalitas dan harapan yang digantung di ujung masa. Di sana.

No comments:

Post a Comment