4 Jan 2012

Teramat Manja



Menengadahlah kepalanya ke pelataran langit. Sunggingan senyumannya menyibak kebekuan malam ini. Lincahan kakinya merebakkan aroma semangat dalam rintihan tangis hujan yang tiada henti. Dari lagaknya, sepertinya dia masih sekolah SD. Meratap-ratap dari satu motor ke motor lain, di bawah lampu merah ini. Ia mengamen. Hingga jam setengah sebelas malam ini. Entah dari jam berapa. Ia masih tersenyum.


Tapi kok saya masih saja mengeluhkan perjalanan 40 menit yang akan saya lalui di depan sana?


¬¬¬¬¬¬¬

Di bawah bangunan berupa peraduan kapal raksasa yang menjulang gagah. Seorang pria dengan baju lengan panjang, berdasi, bercelana kain dan sepatu pantovel menggendong seorang bayi. Pria berkacamata itu menimang-nimang dalam pengapnya hawa kota Surabaya. Di bawah gedung NASDEC, ia menggendong bayinya. Spanduk di depannya melambai-lambaikan nuraninya, "Selama Datang Peserta Seminar ******* ". Oh, dia masih tidak melupakan bayinya di tengah aktifitas formalnya.


Baru kali pertama saya melihat seorang bapak menggendong bayinya di kampus ITS. Suer!


¬¬¬¬¬¬

Arah meliuk, mengularnya punggung hitam legam aspal ini sungguh mendebarkan. Juga dengan aku yang tengah beradu dengan rintikan hujam dan gelapnya malam di atas kuda besiku yang tercantik sedunia-akhirat ini. Memandangi depan, samping kanan-kiri, juga atap langit yang kelam di atas sana. Selepas landas, sekitar 15 menit di jalan, ada sebuah sepeda motor berhenti mendadak. Pengemudi tidak meminggirkan kendarannya, tapi ia agak menengah. Dari arah belakang, seorang laki-laki dengan kulit sawo sangat matang, wajah kusam dan rambut acak-acakan berjalan pelan menuju pengendara motor itu.
Tiba-tiba, menyembul tangan kanan anak kecil dari apitan pengemudi dan perempuan di boncengannya. Dia, anak kecil itu memberikan uang kepada laki-laki kusam itu. Sang bapak tersenyum, sang ibu turut pula tersenyum sembari membisikkan sesuatu hal. Bertiga, mereka tersenyum kepada laki-laki itu (yang mirip gelandangan), dan laki-laki itu membalas pula dengan senyumannya. Kembali, pengendara, istri dan anaknya melajukan motor 110 CC-nya.

Saya terpaku, bukankah berbuat kebaikan itu sangat sederhana sekali?

¬¬¬¬¬¬¬


Beradunya guyuran hujan, siratan air dari arah tak tentu, keceriaan tak berperi dan lautan hilir mudik kendaraan menjadi paduan paling romantis siang itu. Mereka bertujuh, tak ada satu pun yang memakai baju. Hanya mengenakan kolor, bahkan ada yang hanya berpakaian dalam, sangat pede mengaruhi sungai yang tidak mengalir di hadapannya. Mereka berenang.


Namun, tak lama berselang, mereka bersembunyi dibalik beton penyanga sungai itu. Di samping mereka, tepat di perempatan jalan yang dijaga empat lampu lalu lintas itu, ada sebuah mobil kepolisian yang berhenti menunggu lampu merah selesai beraksi. Hingga lampu hijau mengeluarkan tubuh mereka dari persembunyiannya. Mereka kembali berenang, menyiratkan air ke sana kemari, berteriak dan bergembira.


Di depan taman air mancur Dinas Pendapatan Daerah Surabaya, perempatan jalan Kertajaya, Menur Pumpungan, Karang Menjangan dan Manyar Kertoarjo. Air mancur yang terhenti ini, menjadi kubangan bagi mereka bertujuh itu.


Ya di sungai yang tak mengalir itu, mereka bisa memaknai keceriaan dalam keterbatasan. Lha saya? Terlalu manja dengan hidup.

No comments:

Post a Comment