17 Jun 2011

Anehnya Perempuan


"Toh, aku juga menyadari sebagai perempuan nanti akan jadi apa?," ujarnya pasrah. Atau mungkin pemakluman mendasar dari makhluk bernama perempuan.

Idealisme. Kata ini yang sedari tadi kita bicarakan, mengonggong keras tanpa mempedulikan ayunan masa di sekitar kita. Sebagai perempuan, dia memiliki suatu pegangan kuat yang dia junjung sebagai mimpi dan juga landasan hidup. Ia bermimpi, tentang suatu profesi masa depan yang tidak akan mengikatnya layaknya seorang pegawai. Tidak mau jadi PNS, juga tidak mau menjadi pegawai. Bisa stres, kata dia beralasan.

Tidak bisa diam, aktif, bukan tipe pekerja di atas kursi. Apalagi cuman nyanggong mirip wakil rakyat. Pokoknya dia ingin berprofesi, bekerja, bermata pencaharian, atau apalah itu istilah pasnya sebagai seorang fotografer cerita. Dia kemudian menangkap kebodohan saya dengan menyebut nama seorang fotografer -yang saya lupa namanya-. Bukan fotografer media tertentu, bukan pula fotografer lepas, apalagi tukang foto keliling. Bukan itu semua. Nama yang dia sebutkan tadi, adalah fotografer yang memotret sambil menyelami apa yang dia potret.

Dia mengambil suasana perang Afghanistan dengan Amerika, dengan langsung terjun di lapangan. Sambil menyusup, merasakan atmosfer perang di pihak Amerika, juga mendekap kehidupan rakyat Afghanistan seperti kampung halamannya sendiri.

Hasilnya? Fotonya berbicara. Karyanya seolah bercerita kepada dunia. Tanpa harus dia menjadi wartawan profesional, sudah banyak media yang ngiler dengan karyanya. Ya, begitulah kiranya alur profesi yang dia idamkan. Walaupun diskripsinya masih jauh dari lengkap dari ilustrasi yang dia berikan.

Mengapa tidak menjadi wartawan saja? Setidaknya, profesi ini memiliki kepastian dalam urusan "mengisi perut" dan juga beririsan dengan idealisme itu. 

TIDAK. Jawaban ini pelan dan tegas. Baginya, profesi wartawan tak lebihnya seorang PNS media massa. Para fotografer yang juga wartawan pasti "disetting" oleh kehendak media itu sendiri. Tidak ada ruang ekspresi kebebasan. Bahkan para fotografer juga tidak bisa bercerita dengan karyanya. Mirip tukang foto keliling dengan paket ID Card sebagai seorang jurnalis saja, begitu analoginya. 

Saya lebih banyak mendengarkannya, sedikit menimpali kalau berkebalikan dengan idealismeku. Satu hal yang berduyun-duyun menggumpal dalam otakku adalah pertanyaan ini, "apa bisa?".

Atas nama idealisme, perempuan juga punya hak atas ini. Hanya, saya sendiri pernah berada di posisi Mbak ini. Hanya saja saya saat ini lebih cenderung memberi porsi realistis jauh lebih banyak. Apalagi, dunia masyarakat itu bukan dunia anak-anak, bukan dunia sekolah, jauh dengan kesempurnaan dunia kampus. Saat menginjak semester akhir, saya harus melatih diri down to earth, mengimbangin idealisme dengan kemajemukan dunia nyata.

Tentang angan dan cita-cita, semua orang juga punya hak dengan ini. Yang harus diperjuangkan agar terwujud. Menjadikan cita-cita yang jauh dengan bidang keilmuan, tidak masalah, asal itulah passion hidup kita.

"Semua manusia berbeda dengan masing-masing jalannya, juga dengan mimpinya. Mimpi yang dijadikan tujuannya, bukan hanya diucapkan saja, tapi harus diperjuangkan sampai menjadi kenyataan"

2 comments:

Upik said...

hmm.. perempuan yang mana ya ini?
emang kudu realistis seh nek dipikir-pikir:)

hudahoe said...

Hmm....
Ada deehhh, mau tahu saja. Yang jelas, bukan skandal jepit lho, hehe

Post a Comment