5 Jun 2011

Egosentris


Hari minggu pagi di salah satu sudut hutan kampus UI. Dua anak kecil yang memiliki perawakan seperti saudara ini bertengkar hebat. Yang lebih besar, sekitar usia 4 tahun dengan ranting kayu di tangannya, memukul sepuasnya temannya sendiri yang jauh lebih kecil, mungkin usianya 3 tahun. Tak hanya memukul, dia juga mengambil ranting si anak yang lebih kecil tadi. Merampasnya dengan paksa. Hanya karena rebutan tempat untuk bisa leluasa memberi makan rusa di depannya. Padahal, kalau mau berbagi, ruang seukuran itu bisa muat 4 orang dewasa.
 
Ini yang dinamakan ego. Kecenderungan sifat untuk menang sendiri, diperhatikan, diberi kasih sayang, dan semua hal yang bisa membuatnya nyaman. Semua orang pasti memilikinya. Bahkan seorang bayi yang baru lahir pun, sudah punya ego untuk ”memaksa” diperhatikan orang lain dengan tangisannya.


Masih dalam pemaparan Pak Sahab pula, kali pertama saya bertatap muka dengan beliau, awal menjadi mahasiswa baru. Sifat egosentris manusia adalah suatu fitrah. Suatu hal yang tidak bisa dihindari. Itulah mengapa manusia sejak lahir disebut sebagai makhluk individu. Namun dalam konsep dualisme manusia, setiap manusia yang menghirup udara juga disebut sebagai makhluk sosial. 

Manusia, dengan apapun yang dimilikinya pasti akan senantiasa berpikir tentang kepentingannya dan memperjuangkannya. Juga ketika dia menjadi makhluk sosial, sifat egoisme tidak akan pernah luput dari dirinya. Semua harus serba, ”menurut gue, semau gue, dan itu loe, bukan gue”. 

Rasanya hal ini menjadi lumrah, ketika mencoba menghitung -kalau mau- jumlah orang yang mau peduli dengan orang lain itu lebih sedikit dari yang peduli. Sering, orang malah menjadi (sok) peduli, padahal itu bukan dia. Entah karena tuntutan lingkungan, paksaan sosial, atau malah keinginan sendiri yang dipaksakan. Kalau mencari yang ikhlas, susah! Pasti ada irisan kepentingan pribadi terhadap kerelaan berbuat atau peduli untuk orang lain.

Taruhlah hal yang paling umum, ada seorang anak menangis sendirian di sudut bangunan tanpa seorang pun peduli. Dari penampilan, nampak seperti anak jalanan, hingga hal itu menjadi pemandangan biasa. Sementara, anda mengetahuinya. Apa yang akan anda lakukan, sedangkan anda terburu-buru ada janji dengan seseorang .

Ataulah yang sederhana, seberapa banyak orang yang mau diambil darahnya dengan ikhlas. Diambil cuma-Cuma! Seharusnya sih banyak, melihat berapa banyak orang yang terkapar meninggal dunia karena kehabisan stok darah transfusi. Atau betapa banyak Ibu melahirkan yang meregang nyawa karena hal yang sama. Sementara masih banyak pria gagah berani bak Rama mencari Shinta yang takut sama jarum donor!

Sepele, tapi justru karena sepele, sering dilupakan. Sama seperti saya juga. Di tengah fasilitas kuda besi yang bisa ditunggangi kemana saja, saya lupa bagaimana rasanya jalan kaki dari jurusan ke bundaran ITS. Seringnya, saya hanya mau menjadi penonton bagi mahasiswa yang nampak berjalan dari kosnya menuju kampus, atau sebaliknya. Padahal, apa susahnya saya membonceng mereka jika berpapasan . Tapi saya cenderung (sok) tidak tahu.

Bagaimana bisa mengurusi hal yang besar kalau yang sepele saja sering diabaikan? Tinjuan pertanyaan itu sering diajukan teman saya kalau sedang musim bawel. Dalam pikiran itu, pengennya selalu yang besar, fantastis, kalau perlu sampai menggelegar! Itu baru yang nama perubahan. Untuk apa harus ngoyo-ngoyo tapi kalau impact-nya secuil. Mending besar atau tidak sama sekali!

Ya, itulah dunia mimpi saya, sementara kaki saya juga masih menancap di bumi. Mungkin ini juga mimpi banyak orang. Hobi melakukan hal yang dirasa besar dan melupakan hal-hal kecil. Mencari popularitas setinggi langit, tapi lupa bagaimana membuang sampah pada tempatnya. Memperpanjang daftar CV, namun lupa arti CV bagi orang lain. Mengejar pengalaman segunung, namun lupa makna dedikasi!

Mandi, itu urusan sepele, tapi kok....

2 comments:

Novemy Rachmawati said...

Hm... egosentris dan ego jelas berbeda.... Jika kita berbicara tentang ego maka setiap manusia memilikinya, sedangkan egosentris adalah kecenderungan manusia yang dibawa semenjak kanak-kanak hingga seseorang bisa disebut sebagai "dewasa", egosentris akan tetap melekat pada diri seseorang... ^^ semangat

hudahoe said...

Pastinya, yang komen di atas lebih expert menjelaskannya daripada saya, hehe....

Post a Comment