8 Jun 2011

Pluralitas, Dari Ini dan Itu



Buku ini sungguh sekuleristik. Judulnya Garis Batas, bercerita tentang kisah seorang traveller dan juga seorang petualang yang menjelajah Negara-negara bekas pecahan Uni Soviet di kawasan Asia Tengah. Yang semuanya berakhiran –stan. Dimulai dari Kirgiztan, Ubekistan, Afghanistan, dan lainnya.

Seperti menampilkan “Bhenika Tunggal Ika” dalam versi yang lebih luas, buku ini mengajak berdialog dengan pembaca bahwa dunia ini luas! Juga mengkritisi adanya garis batas yang sengaja diciptakan oleh sejarah untuk kepentingan manusia sendiri. Seperti dunia mistik, kisah petualangan ini sungguh layak dijamah untuk memahamkan dunia yang pluralis.

Lihatlah cuplikan dari beberapa bab yang sudah saya baca:

“Banyak yang berubah di Jayma Bazaar. Barisan kios para pedagang sutra Uzbek masih seperti dulu. Ibu-ibu berjilbab menaruh sepuluh tumpuk topi ak kalpak di kepalanya, berkeliling pasar menawarkan dagangan. Bocah-bocah sibuk menawarkan sabun dan kondom....”

Apa kata terakhir itu bukan salah ketik? Pikir saya pertamanya. Ternyata bukan, ini ada sebuah realita Negara Kirgizstan. Atau uraian bagaimana dunia sebenarnya terlampau dekat, hanya karena garis batas politik, semua terasa teramat jauh. Di bawah ini kutipan yang membuat saya ngiler tentang sejarah etnik dan keberagamaan peradaban manusia di dunia.

“Cita rasa makanan di Osh berkaitan dengan letaknya sebagai persimpangan budaya. Di sebelah timur, di balik barisan pegunungan Tianshan, ada Xinjiang Uyghur, bagian dari Republik Rakyat China, didiami etnis Uyghur yang masih kelompok bangsa Turki, beragama Islam dan pernah mendirikan Negara Turkistan Timur. Di sebelah barat Osh, ada lembah Ferghana, yang menjadi jantung kebudayaan bangsa Uzbek. Di sebelah selatan ada pegunungan Pamir milik Tajikistan. Di utara, ada lembah dan padang rumput yang vital bagi kehidupan bangsa nomad Kirgiz.”

Uyghur, kata ini mengingatkan saya akan pembantaian suku ini di tahun 2009 silam. Masih di negaranya, China, sesama saudara kandung suku Uyghur saling membantai dengan suku Han –yang wajahnya lebih oriental. Juga tentang suku Dayak versus Madura dalam tragedi Sampit di Negara kita. Sesama saudara! Saking terkenalnya, teman saya yang barusan dari Kalimantan malah menawari oleh-oleh kepada saya berupa tulang belulang para korban Sampit. Hah!?

Apa tragedi Mahabaratha sebegitu fenomenal hingga lintas Negara? Aksi –sering disebut- “Mandi darah saudaranya sendiri” seperti trend yang wajib tercantum dalam setiap sejarah Negara di dunia ini. Teringat julukan yang diberikan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai budaya “kampungan” yang tidak mau diakui kekampungannya. Seperti Negara kita, Indonesia. Sikut menyikut saudara sendiri, bahkan membunuh saudara sendiri juga menjadi hal biasa. Atas nama kepentingan, alasan klasiknya.

Kepentingan, atau Agutinus Wibowo menyebutkan dalam judul bukunya sebagai garis batas. Abstrak secara kasat mata, namun berkonsekuensi sangat besar. Etnik, atas nama ras, golongan, jabatan, politik bahkan sampai urusan agama tak luput dari garis batas ini. Pergulatan mempertahankan garis batas ini pula tak jarang harus menebar ceceran darah jutaan manusia.

Secara pribadi, saya punya pengalaman sendiri bagaimana garis batas itu ada, terasa, walaupun tidak diproklamirkan. Terhangat, ketika ada sebagian mahasiswa UKM Kerohanian Katolik dari Unair yang mengadakan acara bakti sosial di kampus Dolly. Ada yang aneh, secara kasat mata penampilan mereka berbeda. Bercelana jins ketat, kaos ketat, bahkan ada pula yang hanya bercelana pendek. Yang perempuan, rambutnya terurai bebas dan lekuk tubuhnya yang sengaja dibiarkan terlihat.

Itu sih wajar, di kampus saya juga banyak trend mode sepeti itu. Walaupun memiliki tujuan yang hampir sama dengan kita –para pengajar lainnya, tapi identitas yang mereka tunjukkan ke publik jauh berbeda. Lihatlah bedanya, mayoritas dari kita yang perempuan berjilbab lebar, bahkan mungkin bisa dipakai menjadi taplak meja. Tidak mungkin ada laki-laki yang berani pakai celana pendek, apalagi koloran. Saya saja, yang terkadang pakai jins dan kaos agak ketat, lebih sering dikenai protes sama teman-teman, bahkan dari adiknya pula. Padahal itu kan karena faktor tidak ada kostum lain.

Kesempatan lain, saat saya menjadi satu-satunya etnis Jawa di tengah gerumulan puluhan wajah Tionghoa. Padahal, kita diwajibkan interaksi, bahkan lebih perlu juga pendekatan personal. Saya kebingungan ketika mau Sholat, mencari tempat wudhu atau hanya sekedar menghindari kejaran anjing yang sebenarnya tampak menggemaskan. Teringat, untuk minum air putih saja, saya harus membawa gelas pribadi. Itu belum termasuk persoalan yang ada di dalam otak, pemikiran yang juga berbeda. Tapi nyatanya, kita bisa berbaur dengan warna masing-masing.

Waktu SMA, saya juga memiliki beberapa sahabat yang berbeda identitas dengan saya. Ada yang dari Bali, ada pemeluk Katolik taat, ada pula yang asal-asalan beribadah. Nyatanya, kita juga bisa ngabuburit sahur bersama hingga dini hari di bulan Ramadhan kemarin. Juga tentang sobat saya dari Thailand yang semua serba unik, berbeda namun intinya sama, sama-sama manusia dengan segala hal yang diinginkannya.

Teman saya dari Aceh, berperangai keras –mungkin ini pula mengapa rencong dari Aceh- , hobi bersyair, mendayu-dayu dan agak kearab-araban agak shock dengan model penduduk kota Surabaya, walaupun sama-sama kerasnya. Orang Solo yang tidak ikhlas dipanggil “koen” oleh orang Surabaya, tidak mau disamakan dengan binatang, alasannya. Madura dengan jarak laut tak sampai  4 kilometer namun berperadaban sangat jauh berbeda dengan orang Jawa. Dari bahasa, perangai, tulisan, budaya sampai sterotipe yang ada membawa penduduknya seolah bukan orang Jawa. Padahal, nenek moyangnya juga sama.

Orang Indonesia yang tidak mau disebut “Indon”, pelecehan harga diri, menurut kita. Juga tidak mau disebut sebagai orang Melayu, walaupun bahasa Indonesaia juga beranak dari rumpun Melayu. Kan bangsa kita juga dihuni kaum astromelanesia, yang berjajar di kawasan timur. Juga kaum Tionghoa yang  berdarah tanah air. Itu semua Indonesia, bukan Malaysia, walapun ada bahasa kita yang sama. Bukan Brunei Darussalam, walapun kita satu daratan.

Ah, itulah semua garis batas itu. Semua ada, nyata dan harus diterima. Belajar dari hidup, pengalaman mengajarkan saya untuk memandang semua hal dengan objektif. Paling mudahnya, dengan menempatkan pribadi menjadi orang lain yang kita ajak interaksi. Kita tidak bisa selalu mengunggulkan pribadi di atas orang lain, tidak juga sebaliknya. Kita perlu mengakui mereka ada, juga dengan membawa identitas kita. Pluralitas dan sekuleritas manusia, menyadarkan bahwa kita hidup di Bumi yang sama.

Teringat lirik Imagine-nya John Lenon:

Imagine there's no Heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one
........................................

2 comments:

Upik said...

mas hudaaa.. itu buku tentang pluralisme-nya punya siapa? pinjem donk!!!!

hudahoe said...

sek, aku tanyakan si empunya. Oke? Kerrreeen abiesssszzzz...

Post a Comment