“Hei balon, minggir!” kata itu melontar keras bersamaan dengan sepeda motor yang lewat dari belakangku.
“Aku dibilang lonte Kak, siapa yang gak marah?,” Nane berteriak khas gaya premannya.
“Siapa yang mau dibilang lonte? Dan itu berkali-kali Kak, sudah seminggu,” Reni tak kalah heboh.
Gara-gara ulah Febri hari itu, Ibu Nane pun sampai harus turun gunung. Dia melabrak Febri dengan gaya Suroboyoannya.
“Sopo sing ngomong lonte? Anakku nggak tak didik dadi lonte!”
*******
Ahad itu, tidak ada adik laki-laki di Taman Baca kecuali Degrit.
Semua anak laki-laki lainnya entah kemana perginya, sementara anak
perempuannya pun ngambek sekali. Hari itu, ada perang Baratayudha,
perang antar anggota Taman Baca, geng perempuan versus geng laki-laki.
Geng perempuan yang kita ajak bicara pun para generasi STRONG sekali,
mereka tidak mau kalah, dan tidak mau dikalahkan. Diajak ngomong pun
susah, sampai berkali-kali dibujuk dengan rayuan pulau kelapa sekali
pun. Praktis, hari itu, niat untuk ber-story telling pun tersampaikan apa adanya. Masih mending sih, dari pada “ada apanya”.
Hingga, selepas sholat ashar, kita terduduk bersama di teras masjid.
Muncullah cerita di atas. Kisah dan asal-muasal, mengapa perang antar
saudara itu bisa berlangsung. Menggelikan sekali ketika mereka menatap
serius untuk memaksa didengarkan ceritanya. Mereka berenam ndlosor bercerita loncat-loncat kisah, juga saling sikut kalimat.
“Awalnya itu kemarin pas diajak Kak Hasan di ITS Kak. Pas turun dari bemo, aku dikatain lonte. Aku pikir cuman guyonan biasa. Tapi habis main ular tangganya, yang cewek kan yang menang, kiat dikatain lonte lagi Kak. Sopo sing gak mangkel?”
“Pas perjalanan pulang mereka juga ngatain kita lonte terus Kak,” Nane masih bersemangat 45.
“Bukan lonte, tapi balon,” Devi menyela.
“Podo wae, koen iku ******. Pas di rumah mereka malah menjadi-jadi
Kak. Ibuku sampe marah-marah karena ulah mereka Kak,” tambah Nane
“Sampe tadi malam Ibu juga ikut nglabrak mereka Kak. Itu malam-malam Kak, aku milih gak keluar rumah,” Reni menambahi.
“Halah opo wae sih rek. Biasa wae po’o,” Degrid menyela.
“Opo sih koen iku? Koen lho nggak duwe wong tuwo!,” Nane menyrobot.
Saya tersentak. Tercengang. Guyonan anak-anak itu seperti sambal
nemplok pada luka yang menganga. Awalnya, aduan mereka tentang perang
Baratayudha itu pun saya anggap seperti pertengkaran anak-anak pada
umumnya. Bukan hal aneh, lha mahasiswa saja masih sering bertengkar, bahkan tawuran.
Namun, topik perang mereka itu yang salama ini menjadi kekhawatiran
tentang perang pembenaran atas nilai dan lingkungan mereka yang mencekam
gelap. Bahasa yang mereka gunakan memang bahasa harian, orang Surabaya
pun tahu apa itu lonte. Tapi, ironi kehidupan justru nampak ketika hal biasa itu digunakan oleh anak kecil.
Guyonan beretnis jorok itu seperti guyonan pasaran anak kecil di
sini. Mereka pun sebenaranya sudah tahu, mana baik mana buruk. Mereka
pun sudah dihadirkan kenyataan tentang baik-buruk kehidupan yang bersatu
padu. Seperti gemerlap lampu wisma yang warna warni itu.
Bayangkan, ketika mereka dari lahir sudah tinggal satu atap dengan
para pelaku aktif dunia prostitusi. Bayangkan juga, ketika mereka sudah
tahu aneka jenis minuman keras, pakaian mini, lelaki mabuk, dan dentuman
suara karaoke hingga dini hari, dari sejak dia kecil. Atau yang miris,
beberapa diantara anak-anak itu mempunyai “ketidakberuntungan takdir”,
dilahirkan dari rahim (maaf) mucikari, atau justru dari PSK.
Termasuk sindirian dari Nane ke Degrit itu, sebenarnya itu hal
natural yang muncul spontan dari obrolan biasa. Namun, mengapa hal itu
menjadi biasa?
Di sinilah, kenapa saya tercekat. Nane, bapaknya masih berada di
penjara. Dia tinggal di rumah Pak Dhenya dengan Ibu dan empat
saudaranya. Pak Dhenya adalah pemilik wisma Fresh, terbesar di gang itu.
Itu artinya, mereka juga tinggal di wisma, seatap dengan mbak-mbaknya
yang lain.
Dekrit, bocah keren yang sangat berjiwa kebersihan ini anak dari
(maaf) PSK. Ibunya tidak terlalu “peduli” dengan kehidupannya dia,
bahkan ketika dia Drop Out dari sekolahnya, Ibunya tidak terlalu ambil
pusing. Justru yang lebih peduli dengan bocah kreatif ini adalah Maminya
Ibunya, alias mucikari dimana Degrid tinggal. Ironi bukan?
Sejujurnya, juga sewajarnya, kenyataan yang mereka semua sudah tahu
adalah hal-hal umum bagi mereka. Namun hal-hal umum itu tidaklah umum
bagi kita yang memang tidak merasa biasa dengan hal-hal itu.
Mereka nyeletuk dengan panggilan lonte, awalnya pun dianggap seperti
guyonan. Lha kita dipanggil maling saja pasti sudah siap emosi, mereka
masih menganggap sebagai hal wajar dengan panggilan yang lebih hina itu.
Selalu menjadi pertanyaan dalam benak saya yang tidak pernah saya
tanyakan ke adik-adiknya, bagaimana batasan nilai benar-salah yang
mereka pegang selama ini? Saya tidak pernah berani bertanya “apakah
kalian mau jadi PSK?”, jelas pertanyaan yang tidak manusiawi. Atau malah
“apa kamu ingin bekerja seperti Ibumu, menjadi mucikari?”. Bisa-bisa
saya pulang dari Taman Baca tinggal nama dan sandal saya.
Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa bergelayut terus setiap pekan ke
sana. Mereka menyembul bersama deru lingkungan mereka yang semakin lama
semakin menjadi, namun juga makin saya maklumi keberadaannya. Saya
menjadi tidak merasa aneh dengan kehadiran botol minuman keras, tidak
merasa risih dengan mbak-mbak di sana, dan anehnya sepertinya saya sudah
menjadi bagian dari mereka.
Distorsi pikiran itu menjamah otak saya hanya dalam tempo dua tahun
saja, bagaimana dengan mereka yang sudah dari kecil di hadapkan pada
kenyataan harian seperti itu? Apakah mereka bisa memahami bahwa menjadi
PSK itu adalah hal yang salah. Atau pertanyaan yang setiap ahad selalu
ceria bertanya pada saya.
“Kamu ngajak dia Sholat ke Masjid, tapi apakah kamu tahu orang
tuanya mengajarkan hal yang sama? Apakah kamu tahu orang tuanya juga
sholat? Apakah tindakanmu ini hanya seperti tindakan menggarami air
laut?”
Akhirnya saya pun selalu bertanya pada diri sendiri, pada nurani ini, “Ngapain kamu ke sini? Untuk apa? Demi apa?”
*) Balon=lonte=PSK=Wanita Tuna Susila=Kupu-kupu Malam=Wanita Penghibur
No comments:
Post a Comment