21 May 2012

Pedjoeang Poelaoe Sempoe



"Komparasi paling mudah untuk menilai esensi sebuah perjalanan adalah membandingkan kepuasan batin yang anda rasakan dengan perjuangan yang harus anda lalui" -hoe

Lamat-lamat roda mobil berputar, melaju deras. Aroma keletihan membelukar di wajah, punggung, kaki dan seluruh tubuh. Riuh rendah jalanan mengiringi pikiran yang sudah mulai tiarap. Hamparan hijau di kanan kiri menutup kepenatan sedikit lebih segar. Suara parau kita beradu dengan tumpukan pasir yang terbawa di setiap barang bawaan. Oleh-oleh alami.

"Ayo rek, ada bagaimana pendapat kalian dari perjalanan 2 hari ini? Apakah kepuasan kalian sebanding dengan pengorbanan kalian?," tanyaku meluap keras.

"Pegel kabeh. Pengorbanan lebih banyak"

"Pemandangannya memang bagus sih, tapi pengorbanannya jauh lebih berat"

"Pengorbanan abot"

"Cukup sekali aku ke Sempu, gak bakal ke sini lagi"

"Biasa saja, aku gak ngrasain apa-apa" (ini adalah jawaban paling jeruk!)

 ######
 
Istilah kita untuk menamakan perjalanan ini bukanlah Bonek (Bondo Nekad), tapi Bomis (Bondo Bismillah). Tanpa pengalaman, hanya dengan keinginan membuncah dan tekad untuk ke sana saja. Titik. Akhirnya, setelah bergonta-ganti personel, boyband kita terbentuk ber-7 yakni Haris, Cep Iman, Ihram, Dery, Theo, Nugroho dan Fiqly. Dan saya sebagai manajernya.

Kita berangkat menyewa mobil Avanza hitam jam 6.30, molor setengah jam dari rencana.

Packing!


Kata orang Confucius sih, perjalanan 1 mil dimulai dari langkah pertama, namun petuah itu tidak perlaku bagi kita. Mengapa? Karena mobil tidak berkaki, haha. Selain itu, apa yang kita alami tidak bisa mencerminkan filosofi perjalanan sama sekali. Tahu kenapa? 

“Bukannya ini jalan tol ini masuk ke Surabaya,” celetuk Cep Iman.

Itu adalah langkah pertama perjalanan kita, salah jalan a.k.a nyasar! Seharusnya kita keluar kota Surabaya, malah kita masuk kota Surabaya lagi menuju Darmo Satelite. Waktu terbuang hampir satu jam. Dan perjalanan sayup-sayup dimulai lagi dari putaran pertama (lagi) roda mobil.

Waktu pun berjalanan sangat lambat selama di dalam mobil. Sangat lambat karena hanya dua hal yang kita lakukan, pertama: berdiam diri dengan bertumpu pada pantat yang sama, kedua: membully Ihram, hahaha.

Tepat jam 11-an, sekitar 20 kilometer dari Pantai Sendang Biru kita berhenti di pasar antah berantah untuk membeli jagung, minyak tanah, air gelas, kertas minyak, korek api, dll (semangat entrepreneur, mau buka warung di sana, haha). Makan siang dijamak-qashar dengan sarapan, dan sekalian Sholat Jum’at.

Dan saat pergantian sopir dari Nugroho ke Fiqly inilah seluruh penumpang tidak ada yang berani dan tidak ada yang bisa tidur. Karena suasana menjadi dag-dig-dug-dueerr! Menegangkan! Style menyetir Maba Material ini membuat pikiran tidak tenang. Sampai ada adegan dimana kita ber-7 berteriak kompak, STOOP!

Mobil kita nabrak pick-up. Untung tidak ada yang rusak. Sopir diganti Nugroho lagi. Suasana menjadi tenang kembali dengan pemandangan jurang di kiri jalan yang aduhai semampai indah. Jalan berkelok-kelok, naik-turun, bertikung kanan-kiri seperti gerakan disko.

Dan, akhirnya kita sampai di Pantai Sendang Biru jam 13.15, atau perjalanan bersih 4,5 jam. Tiket dikenakan 50 ribu/mobil. Dan pemandangan pantai duduk manis memandang kita. Violaaaa :)

Pemandangan awal, fotonya jelek, padahal aslinya bagus

Nyari apa dik? "Nyari Keong Mas," jawabnya ketika saya tanya :)


 Barisan perahu beragam ukuran :)


Mbambooongg!

Langkah pertama dalam ketidaktahuan kita di sana adalah mencari keberuntungan dalam kesempitan. Dan keberuntungan kita yang pertama adalah menemukan rombongan Ghoni dkk yang sudah berpengalaman dalam petualangan ke Sempu. Itu artinya kita bisa ngirit biaya tanpa sewa guide, hehe.

Langka kedua, meminta izin perijinan ke pihak Konservasi Kehutanan. Dikenakan biaya charge 20 ribu atau seikhlasnya. Di situ kita dapat banyak wejangan dari Bapak-bapak petugas konsevasi tentang apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan. Tidak boleh manjat tebing, tidak boleh bakar api dengan kayu hutan, tidak boleh membuang sampah di sana, dst.

Langkah ketiga, nyari persewaan perahu. Kita dapat 120 ribu/kapal untuk 14 orang, pas dengan rombongan Ghoni dkk (harga murni hasil negosiasi). Terakhir, kita menyeberangi laut menuju Pulau Sempu. Dan petualangan baru dimulai.

 Di atas kapal :)


Langkah Perdjoeangan
Memasuki area konservasi, kita disuguhi pemandangan ciamik. Gugusan pulau Sempu seperti tempurung kura-kura raksasa yang mengambang di tengah lautan. Dan daerah abrasi di pinggirannya yang terselimuti rimbunnya pepohonan di atasnya sungguh memukau mata.

Area kecil tanaman Mangrove yang terhempas kecil dan saudara kembar siamnya Ihram (monyet,red) menyambut kedatangan kita sebelum menjelajah tengah hutan. Langkah pertama kita dimulai jam setengah 3 dengan modal optimisme tingkat dewa. Sembari berharap bisa menikmati sunset di Segara Anakan.

Medan tengah hutan yang kita lalui tidaklah seperti bayangan saya. Jalannya terjal, curam, licin dan sangat menantang (kalau tidak mau dibilang menyiksa). Jalan yang sebenarnya tidak layak disebut jalan itu adalah paduan tanah liat yang bercampur air dan terkadang berpadu dengan karang tajam.

Nah, tanah liat ini yang super menantang. Tidak jarang, beberapa rombongan kita terjatuh kepeleset bak main slurutan (dan saya tertawa), dan berkali-kali terulang (dan saya juga tertawa berkali-kali, haha). Ada dua bukit yang harus didaki dan dituruni. Ketika menanjak, rasanya seperti naik tangga. Tapi ketika turun, licinnya bertambah lihai.

 Sampai di pinggiran Pulau Sempu


 Memulai langkah pertama


 Mangrove rek!


Kondisi jalan setapak

Nyeker-men

 Kaki, bletokan dan sandal

 Kondisi jalanan

Satu jam perjalanan, kita menyempatkan sholat Ashar di tengah hutan hanya dengan beralaskan koran dan berpakaian belepotan tanah liat. Dan di sini pula kita menyadari keberagaman kita dengan rombongan lainnya. Kita yang ber-8 terdiri dari 2 orang Jawa, 2 orang Sunda, 1 orang Bima (Sumbawa), 1 orang Banjar (Kalimantan) dan 1 orang Minang (Padang).

 Siap-siap Sholat Ashar

Rombongan yang kita temui pun beragam, ada yang dari Jakarta, sesame Jawa Timuran, Bengkulu, dst. Dan di situlah letak alam bekerja. Kita bisa bahu membahu saling membantu ketika matahari sudah tidak terlihat. Di saat nafas optimisme sudah mulai menguap dan dunia kegelapan mulai menyerang keterbatasan jarak pandang kita, kerjasama adalah solusi.

Jalan lumpur setinggi betis, curam lebih dari 45 derajat dan karang tajam seperti bom ranjau yang sewaktu-waktu bisa kita injak. Terkadang juga harus melangkahi pohon tumbang. Sandal gunung pun kalah oleh tegangan fatigue tanah liat (tegangan kecil berulang-ulang yang simulan, jauh lebih merusak daripada tegangan besar). 

Duh, semuanya tampak satu. Ada mbak-mbak yang hanya berpakaian ala kadar (sudah tahu di dalam hutan, masih pake celana super mini), ada akhwat yang pakai rok lengkap dengan kaos kaki, ada mas-mas yang pakai sepatu (yang justru membuat dia terjatuh berkali-kali), dan yang paling banyak adalah manusia tanpa alas kaki. Seperti saya.

Jadilah kita seperti koloni semut yang membawa pasokan logistik yang berbaris rapi menyusuri setiap jengkal jalan. Salah jalan sekali saja, bisa wassalam. Selain karena gelapnya malam di hutan, tepat sekitar 1 km sebelum sampai tujuan, kita harus menyusuri tebing curam yang di sebelah kanan kita adalah laut. Jadi, kepleset sekali saja bisa langsung nyemplung ke laut atau jika tidak bisa berenang bisa nyemplung ke akhirat (na’udzubillah).

Dan akhirnya setelah 4,5 jam di jalan, saya, Cep Iman dan Nugroho sampai di Segara Anakan kali pertama dengan kondisi gelap gulita. Sementara rombongan lain masih di belakang. Kita hanya bisa mendengarkan riuhan ombak saja dan sesekali mencuci semua hal yang kotor. Waktunya kerja bakti lagi, mendirikan tenda dan makan mie.

 Dalam keadaan tepar, saya harus tetap jadi juru potret, hehe

Untung di sana ada QaQaQ Ihram yang berperan sebagai juru(s) masak kita, jadi semua bisa makan dengan cepat dan lahap ditemani gerimis malam. Dan akhirnya kita terlelap hingga dini hari, sholat Shubuh di atas pasir dan menunggu pagi menanti. Tahu gak sih loe? Kita salah kiblat men, dan salahnya adalah 180 derajat, haha. Gara-garanya salah lihat kompas utara dan selatan -.-'

 QaQaQ Ihram, Master Cheff kitaaa...


Kepuasan Batin yang (tak) Terbayar
Pagi menyisir, dan semburat warna langit terburai indah mempesona. Beginilah lukisan terindah terpampang atas nama ciptaan-Nya. Siluet warna terpolarisasi menjadi paduan dan satuan warna yang tak bisa diurai dengan kata-kata. Sempurna!

Hal yang bisa dinikmati di sana adalah pantai yang masih perawan dengan deburan ombak kecil di pasir putihnya, lubang penghubung Segara Anakan dengan Samudra Hindia, tebing karang menjulang, langit biru, dan keheningan dunia.

Dan karena saya tidak bisa berenang (kenyataan memalukan yang harus saya akui), saya hanya bisa “cuci kaki” di sini, sementara teman-teman lainnya bebas berenang ria. Kita juga sempat berfoto ria di tebing yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Pada dasarnya, Segara Anakan adalah danau yang kelilingi tebing-tebing tinggi dan airnya ter-supplay dari laut lewat celah kecil yang masuk saat air laut pasang. 

Dan Segara Anakan juga hanya salah satu destinasi di antara luasnya Pulau Sempu. Kalau di peta yang saya lihat di tempat balai konservasi, jalan dari pantai Sendang Biru ke Segara Anakan tidak lebih dari seperempat pulau. Jadi kalau mau mengkhatamkan eksotisme Pulau itu, disarankan lebih dari tiga hari. Namun semua juga tergantung ketahanan anda bertualangan di daerah yang tidak ada sumber air tawar.

Mas Iman Beraksi :)


Samudera Hindia


Segara Anakan dari atas

Bantaran Karang yang luruh karena ombak


Segara Anakan dan Buih dari air pasang Laut Samudra Hindia


WooWooWooW!


Suasana barak kita, haha


 Latihan Berenang, haha

Ending
Jam 10-an kita siap-siap check out keluar dari pulau aneh ini. Jadi, kita hanya menikmati kepuasan batin selama 6 jam saja. Dan perjuangan dimulai lagi, menanjaki jalanan setapak menuju pinggiran Pulau. Karena siang hari, perjalanan pulang pun menjadi lebih mudah dan santai. Kita bisa menempuh jalan sama dengan hanya dengan 2,5 jam. Lalu naik perahu lagi dan sampai di pantai Sendang Biru.

Selebihnya hal yang berkesan adalah antre mandi saja yang super lama dan kelaparan yang mendera perut kami. Sayup-sayup panorama pantai harus kita tinggalkan menuju kota Buaya lagi. Sebelum ke Surabaya, kita sempat mampir ke Malang untuk Sholat di Masjid Agung dan makan di dekat Universitas Muhammadiyah Malang.

Nyampai Surabaya jam 23.15. Packing dan ngembalikan mobil. Berita horornya adalah: mobil beset jadi nambah charge 150 ribu dan esoknya kita telat ngembalikan tenda, jadi kena charge juga 128 ribu. Sisanya, capek akut menderas seluruh tubuh dan luka-luka di telapak kaki yang membengkak dan mulai infeksi keesokan harinya.

Kembali dipertanyakan, apakah pengorbanan ini sebanding dengan kepuasan batin?

“Percuma saja perjalanan panjang, kalau hanya untuk pindah tempat makan dan tidur saja. Dinikmati saja lah” – Bang Ghoni


Laut lepas, langit biru


Kaki dan sandal lepas, haha..

 Keong mini di tangan, filosofi hidup :)

Perlengkapan utama
-         Mobil (di keputih banyak)
-         1 tenda kapasitas 8 orang (sewa di Jln. Mulyosari Utara 5/17 telp 031-91656441)
-         7 matras
-         1 nesting
-         1 kompor gas
-         3 bahan bakar gas
-         1 kardus Mie (untuk 3x makan)
-         3 air mineral 1,5 liter/anak
-         Pakaian ganti, sholat

Biaya 
150ribu/anak (bisa dipress kalau dapat persewaan yang murah)

2 comments:

An said...

1 kardus Mie (untuk 3x makan)akeh seru ya,,, satu kali makan berapa bungkus mas Hoe,,

hudahoe said...

itu sisa banyaaaakkk bangets. 1x makan dijatah 2bungkus. Jadi 3x makan dikali 8 orang ketemu 48 bungkus.
Walapun pada akhirnya kita cuman makan 2 x saja, mau masak tapi tergerus air pasang, hehe
sampe sak tendane ikut (hampir) terseret, hehe

Post a Comment