3 Aug 2010

Sebuah Cerita : Mahasiswa Ndeso


Apa bedanya orang desa dengan orang kota? Soal lingkungan, lebih ramah lingkungan. Soal pakaian, jauh lebih sopan dari pada orang kota. Soal kehidupan bermasyarakat, lebih toleran, lebih gotong royong dan tidak individualis seperti orang kota. Soal kelakukan, lebih bisa menjaga kehormatan. Soal makanan, lebih bergizi dari pada junk foodnya orang kota. Soal pendidikan, banyak mahasiswa ITS adalah orang desa. Percaya?

Kucuran keringat meluncur membasahi bajunya tidak menyurutkan semangatnya. Berdiri di dalam kereta ekonomi bersama ratusan manusia yang lebih mementingkan harga daripada kenyamanan. Senantiasa berdiri sejak kali pertama masuk stasiun dengan sebongkah tas ransel dan sepatu butut. Tujuh menit sebelum tepat tiga jam berada di dalam gerbong sengak ini, klason mengaum keras dan hawa di depan pintu semakin terasa panas. Terdapat tulisan yang terbaca jelas “Stasiun Pasar Turi”.



Inilah kota Surabaya, batinnya kala itu. Kota bergelar The City of Heroes ini menjadi kota baru baginya dan menjadi rujukan pertama dalam petualangan yang hanya melibatkan dirinya sendiri, tanpa orang tua, teman atau pun kerabat. Berbekal hal paling berharga dalam hidupnya, keyakinan dan nekat. Ditambah beberapa pakaian ganti serta uang beberapa ribu dari celengan(tabungan, red) dan uang 200 ribu yang mampu diberikan ayahnya ketika pamit. Ini adalah hari pertama dia menginjakkan kaki di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang harus dilalui dengan beberapa kali nyasar dan harus mengenal kata “macet” pertama dalam hidupnya.

Sementara itu, di lantai dasar sebuah bangungan berlantai tujuh di Perguruan Tinggi Negeri yang dijuluki kampus Perjuangan, bergerombol beberapa mahasiswi sedang antre menuju tangga ajaib (lift, red). Salah seorang membawa buku yang kalau dilihat dari tebalnya, mampu membuat anjing pingsan dalam sekali lempar. Dari dandanannya, tidak ada yang menduga bahwa dia berasal dari sebuah desa terpencil.

Mengenakan kaos berkerah ketat dipadu dengan padanan celana jeans skinny. Di ujung kakinya terbujur flat shoes warna pink, senada dengan warna kaosnya. Pergelangan tangannya tak luput dari aksesoris berupa buliran gelang berbentuk mirip batuan langka. Yang tak kalah heboh adalah bagian yang sangat jelas dipandang mata. Entah berapa jam yang dia dihabiskan untuk menata rias pada mukanya. Juga entah berapa kilogram bedak yang dia habiskan untuk mendempulnya.

Mengamati setiap polah tubuhnya, seolah dalam setiap langkahnya dia berkata, “hello guys, I’m here”. Apalagi melihat minim dan ketatnya pakaian (yang biasanya oleh orang desa disebut model yukensi), meminjam istilah Andrea Hirata, inilah penyakit gila nomer 33, senewen ingin masuk TV. Baginya setiap meter jalan yang dilalui adalah arena cat walk. Mungkin menurutnya, setiap detail pakaian, cara berjalan, ekspresi dan semua polah tubuhnya harus terlihat baik di depan sorotan kamera dan jutaan penonton yang senantiasa mengamati dirinya (dalam otak imajinasi). Sok ngartis!

Ini hanya satu anomali dari sekian kisah mahasiswa yang nekat merantau menjadi musafir ilmu di kampus perjuangan ini. Di tengah pekikan kapitalisme yang sudah mewabah dimana-mana bahkan dunia pendidikan pun tak luput dari jilatannya, mahasiswa tampil sebagai sosok paling representatif yang menggambarkan bagaimana memperlakukan kapitalisme, melawan atau menjadi budaknya. Mereka menghadirkan drama kehidupan tentang pencarian idealisme yang kelak juga akan menentukan kemana bangsa ini akan dibawa.

Jangan Takut Berbeda
Ini tentang cerita mahasiswa dari desa, datang ke kota untuk sebuah tujuan mulia. Dengan keluguannya, ketidaktahuannya, kelabilannya dan kekatrokkannya turut mewarnai lebih dari separuh komunitas mahasiswa yang ada di ITS. Namun di kampus ini pula sering saya saksikan bagaimana lingkungan mampu mengubah mahasiswa hanya dalam hitungan bulan. Dari mahasisa katrok berubah gaya seperti artis ibu kota.Adanya banyak perbedaan antara desa dan kota bagi saya menjadi faktor berubahnya pola kehidupan mahasiswa dari desa. Terlebih di kota Surabaya.

Setiap orang yang pergi ke Surabaya pasti mengalami shock terapy akibat adanya perbedaan budaya. Kenyataan berbicara, dominasi mahasiswa desa tidak mampu membawa suasana kampus di kota menjadi ndeso. Justru yang ada malah sebaliknya. Cara berpakaian, logat, perilaku bahkan cara berfikir bisa langsung berubah selepas dua bulan menjejakkan kaki ke kota pahlawan. Kok bisa?

Intuisi saya sementara berkesimpulan seperti ini. Sejak awal tahun berdiri, kampus ITS sudah nongkrong di atas tanah kota Surabaya. Di awal berdiri, para dosen hampir semuanya dari Surabaya. Bahkan ada yang dari militer. Bisa dianalogikan bagaimana kultur Suroboyo telah mengakar kuat sejak puluhan tahun yang lalu. Karakternya keras, tegas dan tanpa basa basi. Termasuk bahasa jawanya yang sangat kasar. Serta aneka bentuk kata dan frase mesuh merajalela di setiap sudut kota bak untaian kalimat mutiara yang wajib dilontarkan di setiap akhir ucapan.

Bahkan sahabat saya yang berasal dari Solo sangat shock dengan model bahasa yang kelewat kasar ini. Jika di daerah asalnya, memotong pembicaraan orang lain termasuk teman sebaya adalah tindakan tidak sopan. Di Surabaya, hal itu biasa. Memaki-maki saja biasa. Ada pula teman yang kurang “ikhlas” jika dipanggil dengan kata sapa kon (kamu dalam bahasa Surabaya, red). Terlebih jika melihat banyak mahasiswa yang minat dan bakatnya dalam mengumpat semakin tumbuh subur justru di dunia pendidikan.

Kedua, demam selebritas. Seorang mahasiswa tidak perlu sekolah mode untuk mendapatkan ilmu fashion, cukup datang ke kampus dan amati semua pakaian mahasiswa. Mahasiswa desa pun bisa berubah selera pakaiannya hanya karena marasa tidak mengikuti modelah atau ketinggalan zamanlah atau katroklah atau apalah itu. Itu dilakukan tanpa menimbangkan benar atau tidak, baik dari segi kesopanan atau pun agamanya. Yang penting gaul.

Agenda malam minggunya bukan lagi menatap ribuan bintang di langit, nonton bioskop menjadi hobi barunya. Jika warung Keputih tidak cukup puas, nongkrong di fast food resto menjadi solusinya. Sambil menikmati fasilitas WiFi gratis tentunya. Karena tak ada sebiji Mall pun yang mau berdiri di desa, kunjungan Mall menjadi destinasi rutin mengalahkan kunjungannya ke perpustakaan. Fakta mengatakan mayoritas mahasiswa desa “malu” dengan identitas aslinya. Takut seperti alien masuk kota.

Memang kenyataan itu tidak bisa digeneralisasi. Ada pula sahabat saya yang begitu bangga dengan semua hal tentang dirinya. Tentang bahasanya yang medhok, daerah asalnya yang tidak tercatat di peta Indonesia, makanan khas daerahnya, pakainnya yang diakui sopan dan sesuai syariat agamanya dan semua hal berbeda dengan sekitarnya. Mungkin baginya, mbebek (tindakan mengekor terhadap orang lain) bagi seorang mahasiswa adalah bentuk barter idealisme.

Semua Bisa Berubah di Sini
Dunia kampus itu seperti orang yang sedang jatuh cinta, mampu merubah semua hal termasuk yang mustahil. Jika cinta bisa mengubah (maaf) tahi menjadi cokelat, dunia kampus orang pendiam menjadi cerewet. Mahasiswa dari pesantren menjadi lupa mengaji. Study Oriented (SO) menjadi aktivis. Kawan menjadi lawan. Apatis menjadi peduli. Dan mampu mengubah Mahasiswa kota mau “jongkok” terhadap Mahasiswa desa.

Sejarah mencatat, teramat banyak orang besar yang dibesaran dengan nuansa pedesaan lengkap dengan kesengsaraannya. Bapak Pembangunan Indonesia, Soeharto adalah anak petani. Pun begitu dengan Pak SBY, Gus Dur dan BJ Habibie juga berangakat dari desa. Ada pula Ir Ciputra, begawan entrepreanur Indonesia yang merantau dari sebuah desa terpencil di Sulawesi Tengah.

Ah tak perlu jauh-jauh melihat di luar. Hampir seluruh rektor ITS juga asli orang desa. Para Guru Besar ITS juga banyak dari ITS. Dari kalangan mahasiswa, ada Kahima, ketua UKM, PresBEM, Perwakilan ITS ke luar negeri bahkan Mawapres sebagian besar adalah mahasiswa perantauan. Tidak ada alasan bagi mahasiswa desa untuk minder, berubah menjadi sok kota atau pun mengekor dengan pola hidup selebritas. Yang membedakan setiap mahasiswa adalah kontribusi dan prestasi yang mampu dipersembahkan bagi masyarakat.

Biar pun ndeso, yang penting kata mas Tukul, “The face country and the money city”.

No comments:

Post a Comment