3 Aug 2010

Siulan Pagi Bersama Mas Feature

(Latihan Nulis Feature)
Pagi indah berbalut udara dingin dari hembusan AC. Tidak banyak manusia yang cukup peduli dengan keadaan ini. Bagi mereka, bisa menghindari sengatan matahari kota Surabaya saja sudah dirasa cukup adil. Terlebih jika sudah menjelang kemarau seperti ini. Menikmati semangkuk mie, yang katanya termasuk salah satu jenis makanan pembuatan otak jadi dodol dipadu secangkir kopi hangat. Lengkap dengan senyum canda dari anggota keluarga mini. “Ehmmm…maknyus jaya”.

Tiba-tiba sebiji demi sebiji manusia mulai datang. Tidak cukup banyak hanya tiga orang namun kelihatannya mereka mulai melakukan aktifitas rutin yang terkadang, bagi mereka sendiri, membosankan namun juga menyenangkan bersama hal baru yang akan mereka dapatkan. Kata pepatah, jangan mau menjilat ludah sendiri. Entah nenek moyang siapa yang berujar untaian kata yang idealis seperti itu, toh kenyataan tidak selebar daun singkong. Di mana-mana, kalau tetap berada di wilayah Indonesia, telat adalah hal yang wajib dilakukan melebihi kewajiban memenuhi janji untuk tidak telat. Tidak percaya? Mari kita buktikan pada hari ini.



Ah, tidak usah panjang lebar  membahas budaya luhur anak negeri. Sekarang saatnya beraksi, mengikuti ritual terapi dari Mas Feature yang sedari tadi semangatnya menggebu-gebu untuk memuntahkan ilmunya kepada tiga tong kosong macam kita. Walaupun dilihat dari ekspresinya, dia lebih mirip macan kelaparan yang hendak menerkam kita, mungkin karena keterlambatan jamaah yang (entah) sengaja kita lakukan. Tapi dari sorot matanya, ternyata pikiran saya salah besar. Kalimat pertama darinya mengubur persepsi buruk itu sembari mengatakan “Mari belajar, tidak ada kata terlambat untuk belajar.”

Sesi ritual telah dimulai. Membenahi setiap sela kosong dalam otak kita tentang model penulisan feature dan bala tentaranya. Ya,  walaupun selepas lulus kita pasti bergelar insinyur namun ada banyak manfaat yang kita dapat dengan mempelajari hal yang bertolak belakang dengan bidang keahlian kita, termasuk mempelajari model tulisan setingkat wartawan profesional. Inilah komunitas penyandang cacat radiasi “menulis”, begitu saya lebih suka menyebutnya. Meniti stapak demi setapak ilmu yang sengaja tercecer, semua hanya demi pengetahuan.

Bagaimana wartawan Tempo bisa menyajikan tulisan sebagus itu, bagaimana Goenawan Muhammad mampu menyetak buku seri setebal bantal di kamar tidurku, atau bagaimana orang bisa menyajikan tulisan yang menyentuh nurani hanya berbekal intuisi dan pena. Wow, luar biasa. Katakan tidak pada kalimat, “orang teknik tidak akan mampu menulisa sebagus mereka”.

Tanpa komando. Tanpa aba-aba. Kita bertiga tiba-tiba hanya diam, menyaksikan apa pun yang akan terjadi di depan kita. Bukan melihat adegan sirkus jalanan apalagi aksi topeng monyet. Dan, “jreengg…..”. Alunan nada dari ramuan tangan Mas Feature menggema memenuhi ruangan kantor ini. Momen langka, sama seperti penampakan komet Hellay di bumi, 76 tahun sekali. Kita baru tahu, selain pintar menulis dan mengaji, bintang tamu hari itu juga pandai bersiul dengan suaranya yang dipadu sentuhan gitar.

Ternyata, saat itu saatnya kita menjadi juri untuk kontestasn Indonesian Idol yang satu ini. Kami serupa Anag Hermansyah, Erwin Gutawa dan Agnes Monika gadungan yang ngiler melihat penampilah kontestan favorit pemirsa ini. Walaupun saya sendiri tidak mengerti lagu apa yang dinyanyinkan, yang penting melongo sambil sok serius.

30 Juli 2010
Kantor Tercinta ^_^

No comments:

Post a Comment