18 Aug 2010

Balap Karung vs Sholat Tarawih


Sedikit curcol rek. Tentang pengalaman Ramadhan pertama bersama keluarga setelah enam tahun menjadi musafir ilmu. Sungguh indah nan mempesona. Saya hanya mau cerita tentang sholat tarawih di sana. Semoga bisa diambil manfaat atau setidaknya bisa membuat kawan tersenyum. Selamat menikmati sajian menu istimewa bulan Ramadhan.

Jamak diketahui kalau ada dua versi sholat tarawih dalam hal jumlah rakaat, 20 atau 8. Ada yang suka menyebutnya 23 rakaat itu versi NU dan 8 rakaat miliknya Muhamadiyah. Sampai ada humor dari Almarhum Gus Dur kalau tarawihnya Muhammadiah itu dapat diskon 60% (dari NU). Saya tidak akan membahas dasar hukum dari keduanya. Tapi lebih ke realita pelaksanaan di masyarakat.

Nah, kalau masyarakat desa di provinsi jawa timur itu mayoritas berafiliasi sebagai orang NU. Termasuk di desa saya. Tidak akan anda temui model sholat tarawih 8 rakaat di desa saya. Dari jumlah surau yang menjamur sampai pojok desa, semua seragam 20-2-1 rakaat. Maksudnya 20 tarawih, 2 rakaat plus 1 rakaat witir yang dipisah.


Namun ternyata kuantitas tidak melulu sebanding dengan kualitas. Terlebih dari segi waktu. Jika di Manarul 8 rakaat biasa ditempuh dalam waktu sekitar 40 menit dengan suasana khusyu. Lha kalau di desa saya, 20 rakaat rata-rata hanya 20 menit. Pakai bis patas, express tanpa rem. Serakaat tidak sampai semenit karena dipotong bacaan do’a setiap dua rakaat. Sungguh di sini shalat Tarawih adalah olahraga malam selepas berbuka.

Saya malah lebih suka bertanya, apa bedanya dengan balap karung? Di saat perut baru diisi, saya serasa diajak jamaah untuk memeras keringat. Biasanya, setiap menginjak rakaat ke-10, keringat dingin plus suasana sumuk (gerah, pen) pasti menjalari di tubuhku. Terlebih kalau jauh dari kipas angin, buliran keringat seukuran biji jagung siap meluncur deras. Memasuki rakaat terakhir, baju koko para jamaah sudah berubah jadi kain pel keringat tubuh masing-masing.

Saking cepatnya gerakan sholatnya, saya yang masih muda nan energik saja sukses dibuat basah kuyup, apa anda bisa membayangkan dengan para sesepuh di sini? Antara I’tidal sampai berdiri selepas sujud bisa ditempuh tak sampai 15 detik! Memasuki hari ke-3 Ramadhan, sepupuku yang seumuran dengan ku sampai mengeluhkan kram dan linu di pahanya gara-gara tarawih.

Mbah putriku juga sama, malah jalannya agak dipaksakan karena encok. “Lha mbah *** pas sujud malah sampai ndlosor?),” kata Mbahku. Saya justru tertawa cekikikan. (ada yang tahu bahasa indonesianya ndlosor?). Pernah waktu berada di saff kedua, saya menyaksikan seorang Mbah kakung yang tidak pernah sempat melaksanakan duduk diantara dua sujud. Karena saking gerakan imamnya sudah selevel warming up Jujitsu.

Model sholat tarawih seperti ini sudah menjadi adat di desaku. Rekor catatan waktu tercepat adalah 15 menit untuk paket 20-2-1! Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib jamaahnya. Alhamdulillah sampai sejauh ini belum ada yang masuk RS gara-gara tarawih. Sampai ada ustadz di radio yang nyeletuk bagaimana ucapan orang sepuh, “Wes le, ora sholat tarawih yo ora popo, tinimbang ora iso riyoyo”. Artinya : tidak sholat tarawih juga tidak apa-apa, dari pada ikut tapi tidak bisa ikut hari raya (gara-gara terapi encok setiap malam). Duh, salah siapa coba?

Karena perbedaan kualitas dan kuantitas ini pula, waktu saya harus menjadi imam Sholat tarawih bersama teman-teman SMA saya, ada yang request seperti ini, “Hud, rakaatnya pake Muhammadiyah tapi bacaannya pake NU aja ya”. “Heh?!!,” pikir saya. Tapi puasa ke-6 kemarin saya malah merasakan hal sebaliknya, 23 rakaat dengan bacaan muhammadiyah. Tanpa ceramah saja baru selesai jam setengah 9. Sampai Kakiku kemeng kabeh.

Saya tidak bermaksud untuk menjelekan pihak tertentu, hanya saja fenomena sholat tarawih di mana-mana selalu menghadirkan cerita unik. Pernah waktu Ramadhan pertama di Surabaya ketika awal SMA, tiap dua rakaat pasti ada lantunan “Allahumma sholli alamuhammad”. Tebak apa jawabnya? “Ayo Muliiihhhhhhhh,” aungan suara anak-anak brandal melengking tinggi tepat dari barisan saya. Jawaban yang kreatif karena secara vokal hampir mirip dengan “Allahumma sholli alaih”.

Nah, ini yang kelewat a.k.a kebacut. Saat imam selesai membaca ayat terakhir surat Al Fatihah, sebelum makmum menjawab dengan “amin”. Tiba-tiba, “DDDORRRRR! DDDAAARRRRRR!” aneka petasan sengaja dinyalakan di tengah-tengah jamaah. Ramadhan pertama di Surabaya, shocking teraphy.

Bagaimana pengalaman unik Ramadhanmu kawan?

No comments:

Post a Comment