22 Oct 2011

Mengenang Pejuang ITS (1)



Bagi saya, sejarah itu adalah kumpulan puzzle dari masa lalu. Baik-buruknya adalah akumulasi dari semua hal dari waktu yang telah berlalu. Juga tentang ITS yang tengah meretas masa gemilangnya sekarang. Adalah buah implikasi dari rintisan para pendahulunya. ITS adalah sebuah mimpi puluhan tahun yang menjadi kenyataan.


''Saya lahir 1927,'' ucap pria bertubuh tegap dan tinggi besar itu, khas perwira.

Rambutnya sudah memutih semua. Di usia yang terbilang senja itu, sehari-hari ia masih aktif melakukan aktivitas seperti biasa, juga masih masuk kerja, rutin. Tutur katanya pun masih sangat jelas. Ingatannya juga masih kuat. Bahkan jika sedang berbicara langsung dengannya, ia nampak jauh lebih muda dari umurnya. Ada aura kharismatik dari setiap ucapannya, juga kebanggaan pribadi saya atas kesempatan bertemu dengannya.

Beliau adalah Kol Laut Ir Marseno Wirjosapoetro, Rektor kedua ITS. Menjadi orang nomor satu di ITS selama lima tahun sejak 1964, hampir setengah abad silam. Sejenak, pikiran saya langsung terlempar ke lorong waktu puluhan tahun lalu. Membayangkan betapa kaya pengalaman orang yang telah membesarkan kampus perjuangan ini. Juga bersama gulungan waktu yang  telah berlalu, banyak prestasi dan inspirasi yang telah ia torehkan.
Dan jejak-jejak emasnya sudah terasa waktu pertama saya menginjakkan di rumah beliau. Foto keluarga besarnya seperti penanda awal dari rangkaian hal luar biasa dalam hidupnya. Senyum kebanggaan tersungging sepanjang jawaban dari pertanyaan seputar keluarganya. Semua anaknya sudah bergelar S2, beberapa sudah S3 dari beragam bidang keilmuan dari dalam dan luar negeri.

''Dua cucu saya sudah menyelesaikan S2-nya,'' ungkapnya penuh kebanggaan.

Walaupun berlatar belakang sebagai orang militer, Ia pun tidak bergeming dengan karir profesionalnya ketika diminta Pemerintah Pusat untuk menggantikan dr Angka Nitisastro, Rektor ITS sebelumnya. Kala itu, banyak mahasiswa yang merasa ''gerah'' dengan status Yayasan Perguruan Tinggi Teknik (YPTT) Sepuluh Nopember yang sudah dinegerikan menjadi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) namun masih dipimpin oleh seorang yang bergelar dokter.

''Masak kelak ijazah insinyur justru ditandatangani oleh Rektor dengan gelar dokter?'' gumamnya menirukan suara mahasiswa kala itu.

Desakan para mahasiswa itu kemudian didengarkan oleh pemerintah pusat, walaupun baru terealisasikan empat tahun kemudian. Sejarah ITS yang terpapar oleh puluhan narasumber yang sudah bersedia bercerita dengan kita memberikan fakta bahwa jabatan Rektor kala itu bukanlah suatu jabatan yang diincar atau pun enak diemban. Pak dokter Angka pun melepas jabatannya dengan legowo dan senang -institusi pendidikan teknik yang beliau dirikan akhirnya dipimpin oleh orang teknik, harapan yang beliau inginkan sejak awal pendirian YPTT.

''Tidak ada calon lain yang diusulkan pemerintah. Bahkan tidak ada pula yang keberatan saya menjadi Rektor. Walaupun sebelumnya saya tidak pernah bersinggungan apa pun dengan ITS,'' ungkap Marseno, sapaan akrabnya sampai sekarang.

Dedikasi dan totalitas selama menjadi Pimpinan Proyek (Pimpro) pengadaan Lapangan Udara Juanda adalah catatan profesi gemilang yang pernah diemban sebelum menjabat sebagai Rektor kedua ITS. Hal itu pula yang menjadikan insinyur lulusan Teknik Sipil ITB ini ditugasi untuk mengemban jabatan di ITS. 

Kedekatan sejarah pendirian ITS yang sangat kental dengan campur tangan TNI AL juga menjadi penguat. Terlebih seluruh Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) saat itu semua berpangkat militer, sesuai aturan Pemerintah Pusat.

''Bagaimana kondisi ITS saat itu?'' pertanyaan polos saya pertama.

Ceritanya pun akhirnya mengular panjang. Kampus-kampus ITS -karena terpencar di banyak tempat, sungguh jauh berbeda dengan sekarang. Dari rumah pribadi pendiri YPTT, bangunan hibah Pemkot Surabaya, bekas sekolah Tionghoa pasca G 30S/PKI, hingga gudang pabrik gula adalah tempat kuliah yang harus digunakan. Jangan bayangkan rasa nyaman belajar atau pun kemegahan bangunan, karena tak jarang sekat antar kelas adalah sesek (anyaman bambu,red) yang berlubang-lubang.

Tenaga pengajar pun sangat terbatas. Di awal menjabat, hanya ada tujuh dosen tetap yang mengajar di lima fakultas kala itu.

''Dosen tetap hanya ada Pak Zaki, Pak Sukimin, Pak Jelantik, Pak Untung, Prof Soemadijo, Bu Anggraini, Haryono Sigit dan satunya lagi saya lupa,'' ulasnya. 

Mendengar nama-nama itu, pikiran saya mengingat-ingat nama yang beberapa tidak asing tersebut. Prof Zaki adalah Rektor ke-4, Jelantik adalah pelopor jurusan Arsiektur yang namanya diabadikan menjadi ruangan di jurusan Arsitektur pula, Prof Soemadijo adalah rektor ke-3, Bu Anggrahini adalah dosen senior di jurusan Teknik Sipil, sementara Haryono Sigit adalah rektor ke-5 ITS.

Di pengurusan beliau pula, wisudawan pertama ITS terlahir, karena tak satu pun mahasiswa yang berhasil lulus dari YPPT sampai periode awal ITS. Walaupun hanya satu wisudawan saja, hal ini adalah tonggak pertama ''keseriusan'' ITS untuk menghasilkan insinyur. Internasionalisasi ITS pertama juga terlaksana pada periode ini, berupa bantuan alat labolatorium dari Belanda dan kunjungan ke Jerman.

''Kita dapat bantuan alat labolatorium, walaupun itu juga bekas. Yang penting kerjasamanya bisa diteruskan selanjutnya,'' ulasnya sambil tertawa kecil.

''Ya itulah, itu zaman nggak enak. Sekarang sudah hebat sekali ya ITS. Sekarang jumlah doktornya banyak sekali, kalau dulu hanya satu, Prof Oedjoe saja,'' ungkapnya dengan senyum khasnya.

Setiap detail jawaban yang beliau utarakan, sekadar itu pula ruang perjuangan masa lalu terkuak. Seruas demi ruas ragam kisah yang terlewat menyembul menerbitkan rangkaian mozaik yang terlampau mempesona untuk dilupakan. Dari rahim para founding father inilah sebuah cerita perjuangan kampus ini mulai merangkak, melangkah dan berkembang. Hingga menjadi sekarang, menjadi salah satu kampus teknologi terkemuka di Indonesia.

*****

''Masih sering kontak dengan ITS Pak?'' tanya saya spontan.

''Sudah jarang sekali. Terkadang untuk acara-acara besar seperti Dies Natalis saya juga diundang''

Itu saja. Selebihnya? Saya tidak menemukan jawaban atas apresiasi lainnya. Justru di kesempatan lain, beliau justru menyodorkan beberapa buku dan pamflet tentang ITS yang sengaja dibawa dari Surabaya. Dibawa dari Surabaya, bukan hasil kiriman dari ITS. Semua masih tersimpan rapi. 

Yang lebih mencengangkan lagi, tak sebiji pun majalah ITS Point yang ada di kediaman beliau. Makjleb! Saya sebagai salah satu tim redaksi majalah itu merasa tertampar.

''Oh ya Pak, sebentar lagi ada acara buka bersama dengan alumni ITS, salah satunya dikediaman Pak Nuh kalau tidak salah. Apakah Bapak ikut juga?'' tanya saya lagi sekedar untuk mengalihkan cerita.

''Saya tidak pernah ikut acara buka bersama dengan ITS karena tidak diundang. Kalau buka bersama dengan alumni ITB, undangannya setiap tahun saya terima. Kan saya bukan alumni ITS,'' jawabnya dengan senyuman khasnya lagi.

Lantas, apakah memang nasib para mantan Rektor selalu begitu? Atau mungkin sama seperti pejuang kemerdekaan, ia tidak menginginkan apapun dari ITS selepas pengabdiannya. Tidak juga ia mengharap anak cucunya melenggang bebas ke ITS dengan perlakuan khusus. Tidak pula ia mengeluh dengan minimnya apresiasi dari kampus yang telah dibesarkannya. Inilah mentalitas pejuang, mentalitas pelopor. Memberi tanpa berharap kembali.

Mumpung ada momen Dies Natalis tiap tahun, di luar agenda ziarah ke makam para leluhur ITS yang sangat patut diapresiasi, alangkah bijaknya jika ada sivitas ITS yang berkenan untuk sowan ke rumah salah seorang founding father-nya?


Nur Huda
a.n Tim Djoeang- Buku Memoar ITS

Bisa dilihat di: http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=9092

Nantikan edisi selanjutnya :)

No comments:

Post a Comment