Bagi saya, sejarah itu adalah kumpulan puzzle dari masa lalu.
Baik-buruknya adalah akumulasi dari semua hal dari waktu yang telah
berlalu. Juga tentang ITS yang tengah meretas masa gemilangnya sekarang.
Adalah buah implikasi dari rintisan para pendahulunya. ITS adalah
sebuah mimpi puluhan tahun yang menjadi kenyataan.
''Saya lahir 1927,'' ucap pria bertubuh tegap dan tinggi besar itu, khas perwira.
Rambutnya
sudah memutih semua. Di usia yang terbilang senja itu, sehari-hari ia
masih aktif melakukan aktivitas seperti biasa, juga masih masuk kerja,
rutin. Tutur katanya pun masih sangat jelas. Ingatannya juga masih kuat.
Bahkan jika sedang berbicara langsung dengannya, ia nampak jauh lebih
muda dari umurnya. Ada aura kharismatik dari setiap ucapannya, juga
kebanggaan pribadi saya atas kesempatan bertemu dengannya.
Beliau
adalah Kol Laut Ir Marseno Wirjosapoetro, Rektor kedua ITS. Menjadi
orang nomor satu di ITS selama lima tahun sejak 1964, hampir setengah
abad silam. Sejenak, pikiran saya langsung terlempar ke lorong waktu
puluhan tahun lalu. Membayangkan betapa kaya pengalaman orang yang telah
membesarkan kampus perjuangan ini. Juga bersama gulungan waktu yang
telah berlalu, banyak prestasi dan inspirasi yang telah ia torehkan.
Dan
jejak-jejak emasnya sudah terasa waktu pertama saya menginjakkan di
rumah beliau. Foto keluarga besarnya seperti penanda awal dari rangkaian
hal luar biasa dalam hidupnya. Senyum kebanggaan tersungging sepanjang
jawaban dari pertanyaan seputar keluarganya. Semua anaknya sudah
bergelar S2, beberapa sudah S3 dari beragam bidang keilmuan dari dalam
dan luar negeri.
''Dua cucu saya sudah menyelesaikan S2-nya,'' ungkapnya penuh kebanggaan.
Walaupun
berlatar belakang sebagai orang militer, Ia pun tidak bergeming dengan
karir profesionalnya ketika diminta Pemerintah Pusat untuk menggantikan
dr Angka Nitisastro, Rektor ITS sebelumnya. Kala itu, banyak mahasiswa
yang merasa ''gerah'' dengan status Yayasan Perguruan Tinggi Teknik
(YPTT) Sepuluh Nopember yang sudah dinegerikan menjadi Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) namun masih dipimpin oleh seorang yang
bergelar dokter.
''Masak kelak ijazah insinyur justru ditandatangani oleh Rektor dengan gelar dokter?'' gumamnya menirukan suara mahasiswa kala itu.
Desakan
para mahasiswa itu kemudian didengarkan oleh pemerintah pusat, walaupun
baru terealisasikan empat tahun kemudian. Sejarah ITS yang terpapar
oleh puluhan narasumber yang sudah bersedia bercerita dengan kita
memberikan fakta bahwa jabatan Rektor kala itu bukanlah suatu jabatan
yang diincar atau pun enak diemban. Pak dokter Angka pun melepas
jabatannya dengan legowo dan senang -institusi pendidikan
teknik yang beliau dirikan akhirnya dipimpin oleh orang teknik, harapan
yang beliau inginkan sejak awal pendirian YPTT.
''Tidak ada calon
lain yang diusulkan pemerintah. Bahkan tidak ada pula yang keberatan
saya menjadi Rektor. Walaupun sebelumnya saya tidak pernah bersinggungan
apa pun dengan ITS,'' ungkap Marseno, sapaan akrabnya sampai sekarang.
Dedikasi
dan totalitas selama menjadi Pimpinan Proyek (Pimpro) pengadaan
Lapangan Udara Juanda adalah catatan profesi gemilang yang pernah
diemban sebelum menjabat sebagai Rektor kedua ITS. Hal itu pula yang
menjadikan insinyur lulusan Teknik Sipil ITB ini ditugasi untuk
mengemban jabatan di ITS.
Kedekatan sejarah pendirian ITS yang
sangat kental dengan campur tangan TNI AL juga menjadi penguat. Terlebih
seluruh Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) saat itu semua berpangkat
militer, sesuai aturan Pemerintah Pusat.
''Bagaimana kondisi ITS saat itu?'' pertanyaan polos saya pertama.
Ceritanya
pun akhirnya mengular panjang. Kampus-kampus ITS -karena terpencar di
banyak tempat, sungguh jauh berbeda dengan sekarang. Dari rumah pribadi
pendiri YPTT, bangunan hibah Pemkot Surabaya, bekas sekolah Tionghoa
pasca G 30S/PKI, hingga gudang pabrik gula adalah tempat kuliah yang
harus digunakan. Jangan bayangkan rasa nyaman belajar atau pun kemegahan
bangunan, karena tak jarang sekat antar kelas adalah sesek (anyaman bambu,red) yang berlubang-lubang.
Tenaga pengajar pun sangat terbatas. Di awal menjabat, hanya ada tujuh dosen tetap yang mengajar di lima fakultas kala itu.
''Dosen
tetap hanya ada Pak Zaki, Pak Sukimin, Pak Jelantik, Pak Untung, Prof
Soemadijo, Bu Anggraini, Haryono Sigit dan satunya lagi saya lupa,''
ulasnya.
Mendengar nama-nama itu, pikiran saya mengingat-ingat
nama yang beberapa tidak asing tersebut. Prof Zaki adalah Rektor ke-4,
Jelantik adalah pelopor jurusan Arsiektur yang namanya diabadikan
menjadi ruangan di jurusan Arsitektur pula, Prof Soemadijo adalah rektor
ke-3, Bu Anggrahini adalah dosen senior di jurusan Teknik Sipil,
sementara Haryono Sigit adalah rektor ke-5 ITS.
Di pengurusan
beliau pula, wisudawan pertama ITS terlahir, karena tak satu pun
mahasiswa yang berhasil lulus dari YPPT sampai periode awal ITS.
Walaupun hanya satu wisudawan saja, hal ini adalah tonggak pertama
''keseriusan'' ITS untuk menghasilkan insinyur. Internasionalisasi ITS
pertama juga terlaksana pada periode ini, berupa bantuan alat
labolatorium dari Belanda dan kunjungan ke Jerman.
''Kita dapat
bantuan alat labolatorium, walaupun itu juga bekas. Yang penting
kerjasamanya bisa diteruskan selanjutnya,'' ulasnya sambil tertawa
kecil.
''Ya itulah, itu zaman nggak enak. Sekarang sudah
hebat sekali ya ITS. Sekarang jumlah doktornya banyak sekali, kalau
dulu hanya satu, Prof Oedjoe saja,'' ungkapnya dengan senyum khasnya.
Setiap
detail jawaban yang beliau utarakan, sekadar itu pula ruang perjuangan
masa lalu terkuak. Seruas demi ruas ragam kisah yang terlewat menyembul
menerbitkan rangkaian mozaik yang terlampau mempesona untuk dilupakan.
Dari rahim para founding father inilah sebuah cerita perjuangan
kampus ini mulai merangkak, melangkah dan berkembang. Hingga menjadi
sekarang, menjadi salah satu kampus teknologi terkemuka di Indonesia.
*****
''Masih sering kontak dengan ITS Pak?'' tanya saya spontan.
''Sudah jarang sekali. Terkadang untuk acara-acara besar seperti Dies Natalis saya juga diundang''
Itu
saja. Selebihnya? Saya tidak menemukan jawaban atas apresiasi lainnya.
Justru di kesempatan lain, beliau justru menyodorkan beberapa buku dan
pamflet tentang ITS yang sengaja dibawa dari Surabaya. Dibawa dari
Surabaya, bukan hasil kiriman dari ITS. Semua masih tersimpan rapi.
Yang lebih mencengangkan lagi, tak sebiji pun majalah ITS Point yang ada di kediaman beliau. Makjleb! Saya sebagai salah satu tim redaksi majalah itu merasa tertampar.
''Oh ya
Pak, sebentar lagi ada acara buka bersama dengan alumni ITS, salah
satunya dikediaman Pak Nuh kalau tidak salah. Apakah Bapak ikut juga?''
tanya saya lagi sekedar untuk mengalihkan cerita.
''Saya tidak
pernah ikut acara buka bersama dengan ITS karena tidak diundang. Kalau
buka bersama dengan alumni ITB, undangannya setiap tahun saya terima.
Kan saya bukan alumni ITS,'' jawabnya dengan senyuman khasnya lagi.
Lantas,
apakah memang nasib para mantan Rektor selalu begitu? Atau mungkin sama
seperti pejuang kemerdekaan, ia tidak menginginkan apapun dari ITS
selepas pengabdiannya. Tidak juga ia mengharap anak cucunya melenggang
bebas ke ITS dengan perlakuan khusus. Tidak pula ia mengeluh dengan
minimnya apresiasi dari kampus yang telah dibesarkannya. Inilah
mentalitas pejuang, mentalitas pelopor. Memberi tanpa berharap kembali.
Mumpung
ada momen Dies Natalis tiap tahun, di luar agenda ziarah ke makam para
leluhur ITS yang sangat patut diapresiasi, alangkah bijaknya jika ada
sivitas ITS yang berkenan untuk sowan ke rumah salah seorang founding father-nya?
Nur Huda
a.n Tim Djoeang- Buku Memoar ITS
Bisa dilihat di: http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=9092
Nantikan edisi selanjutnya :)
No comments:
Post a Comment