8 Oct 2011

Mendadak Madura





Derai tawa itu terurai riang di antara siulan kata pagi itu. Senyuman itu teriring terus sampai tawa pecah tak beraturan. Ia menggelegar ritmik dengan desiran hawa pagi hari. Empuk, menakjubkan. Ini bukanlah ajang nostalgia, juga bukan wahana temu kangen, tapi inilah hari kebersamaan kami. Entah atas nama apa. Tanpa nama.

Berempat, minus satu orang, kita merencanakan sarapan super aneh: sarapan di Bangkalan, Madura. Rencana yang memupuskan harapan seorang teman untuk mengikuti job interview di waktu yang sama. Sudahlah, memang ini kan rencana dia sendiri yang (sengaja) ditunda-tunda sejak lama.

"Hah? Iki beneran sido ta? Padahal jam 10 aku ada janji dengan atasan," ia berteriak frontal, khas seperti kebiasaan dirinya.

"Kan wes di SMS dari kemarin, mbok pikir mbujuki?" sergah ku tak kalah lantang.

"Yo opo sih? Iki wes dibela-belani teko, ngenteni sejam lebih, iki malah arep kabur?" 

"Tak pikiran SMS kemarin cuman guyonan, nggak serius," kilahnya.

Dan suasan semakin runyam dengan ketabahan ekstra dari Opi yang sudah sedari sejam menunggu tapi berujung nada protes dari Rifai. Tanpa aba-aba, Anas yang paling telat datang pun, hanya tersenyum mringis menyapa kita dengan balasan senyuman getir dari kita. Gersang, meranggas kering. Tersapu angin kemarau pelan.

Tahukah apa yang kita bicarakan pertama, "Kapan iki undangane rek?". Membicarakan pernikahan adalah konsumsi awal kita jauh sebelum menelaah bagaimana dan kapan kita berangkat. Justru di saat awal pertemuan setelah tiga tahun yang lalu, topik ini adalah hal umum yang biasa kita ulas. Sepertinya memang sudah masanya, bukan hal "tabu" untuk diperbincangkan atau bahkan dijadikan bahan tertawaan. Nah, apakah hal itu cukup pas untuk saya yang notabene lulus kuliah saja belum?

Kita tertawa selalu, senantiasa dan lebih-lebih. 

"Lha jadinya sama Sekumnya sendiri? Atau yang di BEM itu?" pertanyaan meloncat dari Opik.

"Rencananya, awal Ramadhan tahun depan ya. Itu maksimal, " Rifai berultimatum, juga berharap.

"Oke, kita tunggu saja, sopo sing bakal disikan bagi undangan," saya mengakhiri dengan senyum tipis.

Wajah Anas terpancar seberkes cahaya harapan, dia tersenyum terus sepanjang obrolan. Entah apa yang ada di dalam tempurung kepalanya. Saya pun hanya tertawa terus, sambil menertawakan semuanya hal yang bisa ditertawakan -juga diri ini.

¬¬¬¬¬¬¬

Seruan angin menghempaskan daya tubuh untuk stagnan mempertahan diri. Belaiannya terlampau kuat, menelurkan gaya dorong terlalu besar untuk menghentakkan fisik ke kanan-kiri. Terayun-ayun tidak stabil. Di atas lautan selat Madura, mendesirkan nyanyian kecil yang beradu paksa dengan siualan alam. Langit pun memenuhi kuasanya melingkupi semua hal di bawahnya. Tenang. Damai.

Pilar-pilar raksasa gagah menumpu ribuan ton beban di atasnya. Tali pancang di seberang sana justru nampak seperti ornamen khas Suramadu. Mungkin jika tali pancang dibuat asimetris, estetika jembatan ini bisa runtuh saat peresmian perdana. Paduan dua pulau itu tampak samar, tertutup kabut asap industri kota. Sementara nun jauh di sana, hanya nampak laut biru yang tersamarkan oleh Samudra Hindia.

Namun, keruhan air asin di bawah sana selalu melahirkan tanda tanya: apa ikan bisa hidup di sini ya?

"Jangan salah, terkadang di sini aku pernah melihat ikan lumba-lumba," ujar tukang sopir ku, Opik menjawabnya.

Apa? Lumba-lumba? Apakah itu hanya efek fantasi belaka atau kenyataan adanya. Akankah seekor lumba-lumba sudi berkelana di peraian panas ini. Atau dia hanya tersasar karena saking keruhnya perjalanannya. Sungguh malang jika hal terakhir ini adalah kenyataan. Laut ini, yang menjadi muara dari sungai-sungai di Surabaya sudah menggumpalkan kesimpulan ku dengan semua konotasi negatif dari Kali Suroboyo.

Menuruni jembatan ini berarti meninggalkan kota Surabaya, tidak lagi menapak di Pulau Jawa. Inilah Pulau Madura. Semampang mata memandang, hamparan daratan ini seperti padang gersang. Jalanan memang mulus seperti suara Miley Cyrus, tapi di kanan-kiri jalan hanyalah padang kosong tanpa penghuni. Hanya sesekali ada gubuk kecil yang terlihat menyediakan minuman ringan saja. Itu pun bisa dihitung jari jumlahnya.

Sungguh, mungkin hanya selempang pegunungan kapur jauh di ujung sana yang membuat jalan ini terlihat berbeda. Seperti ular yang menjalar, pegunungan itu memeluk kawasan di sana dengan lebatnya pepohonan. Juga dengan sumber kehidupan di dalamnya.

Memasuki kawasan Bangkalan, jam 10 lebih sementara kita semua menunggu jatah sarapan, bukan makan siang. Di sini, tak lebih dua kilometer dari ketandusan kawasan sebelumnya, sudah dialiri air yang melimpah. Jernih pula. Mungkin di ujung sana, entah dimana tempatnya, ada sumber mata air. Pohon-pohon pun sumngringah memamerkan kehijauan klorofil dan segarnya ia dipandang. Bersama peradaban yang menggeliat terus dan ketenangan alamnya, jauh berbeda dengan Surabaya.

Maaf Stok Habis!

Plang itu meruntuhkan semangat kita, membunyikan genderang perut semakin keras dan sadis. Jauh-jauh datang ke sini, eh malah tempat makan yang kita tuju justru tutup! Mulut yang kering kerontang iki justru tertawa keras. Merayakan nasib buruk bersama.

"Bebek Sinjay, selamat jalaaaannn..."

Apes. Tapi bukankah setiap nasib baik-buruk itu tergantung bagaimana kita memandang? Ahaiii, kita membelokan arah tak sampai 500 meter. Yang ternyata juga ada resto yang menyediakan menu bebek. Pokoknya harus bebek! Itu pekik kita bersama -yang justru mirip bebek. Sejatinya, kita tidak mau membawa iler seember dengan meninggalkan Bangkalan, atau justru sarapan di Keputih-Gebang. Apa kata dunia?

¬¬¬¬¬¬¬¬

Memesan, duduk, bercerita dan ngobrol. Menunggu.

"Lama sekali ya,"

"Ijek dipanggang bebek'e, sabar wah.."

"Temenan ta? Ojo-ojo, bebeke ligek dibubuti," timpalku

"Hahaha...Bukan, iku bebek'e ijek arep di tuku nang pasar"

Hahahaha...

"Iku beli bebek'e nang pasar Suroboyo, lha jam piro sarapane?"

#koplak

¬¬¬¬¬¬¬¬

"Masak dari hari pertama kerja, sudah ada gelagat tidak baik denganku. Setiap hari dia selalu membicarakan kejelekan ku di depan karyawan lain, di depan relasi, bahkan atasanku sendiri!" ceritanya sampai muntab.

"Terus?" tanyaku polos.

"Saking kebacut orang itu, suatu hari pernah tak santap di kosannya.Lama-lama membuat emosiku meledak dewe"

Pengakuan biasa. Kita bertiga hanya melongo selebar empat jari. Eits, itu melongo apa baskom mangap? Kembali, kita mendengarkan dia selesai bercerita semua. Mengejutkan, hal biasa. Rekan profesinya itu pun sampai di larikan ke RS karena mengalami pendarahan. Hingga entah karena trauma atau takut, si revansnya itu tidak pernah melakukan kesalahannya lagi.

Dengan tubuh kekarnya itu, semua orang pasti bisa takut hanya dengan dipelototi saja. Kami hanya menggeleng-geleng kecil, sesekali tertawa polos melihat tingkah laku aneh dari gelagat tidak normal kita.

"Masak sesusah itu sih mengontrol emosi? Apa dengan adu fisik semua persoalan bisa selesai?" tanyaku dengan keras.

"Itu kamu masih beruntung, kalau sampai dia lapor Polisi, apakah kamu siap? Keluargamu?"

"Itu masih persoalan remeh temeh, kalau misalkan itu lebih besar lagi masalahnya, bisa jadi kamu malah kalap dengan membunuh orang? Masak segampang itu menuruti emosi sesaat?"

Dan semua aneka macam nasehat keluar tertutur serempak. Dia hanya menggeleng pelan, sambil menatap teduh semua ucapan kita. Hanya sedikit anggungan, lainnya hanya muka datar yang terpasang.

"Tidak semudah itu, aku di besarkan di lingkungan yang keras sejak kecil. Dari SD-SMA sudah terbiasa adu fisik dengan teman lain, bahkan terkadang untuk hal-hal yang sepele. Semua terjadi begitu saja, seperti ingin meluapkan emosi, itu sudah biasa"

Kita terdiam sesaat. Menatapnya yang semakin gusar. Ronde kedua, aneka macam cerita, curhat, nasihat, tausiah, dan kedekatan emosi yang kita curahkan membuatnya sedikit terhibur. Entah itu adalah solusi atau hanya reaksi semata, kita hanya ingin dia berubah seiring usia, kedewasaan dan tanggung jawab dia di masa depan kelak. Agar tidak sampai, kejadia tiga tahun lalu terulang lagi. Saat justru tangis air mata mengucur deras dari seorang sahabat. Jangan lagi.

¬¬¬¬¬¬¬¬

"Kalau aku sih yang penting bisa menghidupi keluarga, bisa menghidupi dan bertanggung jawab terhadap orang di sekitar, baru menikah. Kalau tanggung jawab besar sudah bisa kita raih, insya Allah bisa menjadi pelajaran berharga jika mau berumah tangga," urainya tentang rencana masa depannya.

Oke. Bagus, sip. Idealisme yang bagus. Sejalan dengan kedewasaan berpikirnya selama kami mengenalnya. Paling kuat memegang omongan dan paling mengemong di antara kita. Sejak mahasiswa, dia sudah menanggung tanggung jawab besar di keluarganya. Yah, kedewasaannya saya acungi 55 jempol!

"Lek aku itu nggak suka, juga tidak setuju dengan anggapan orang umum bahwa kriteria sebelum menikah haruslah sukses dulu," sebelahku menyela.

Kembali, kita hanya tersenyum melihat tingkahnya yang selalu identik dengan "kebelet sesuatu banged". Dari nadanya, gesture tubuhnya, gerak matanya sampai polah tawanya merujuk pada frase dalam tanda kutip itu. Tawa, senyum, tertawa lagi, dan melengos bersama. 

"Terus sido'e awakmu kapan?" tanya kita 

"Wes lah, dido'akan saja secepatnya," jawabnya dengan mringisnya yang khas. Tulen. Come from the his inside heart.

"Sekuat apapun idealisme kalian, masak kalian bisa mengingkari perasaan bahwa kamu ada rasa dengan akhwat?" gelagatnya keras, menyentak. Cerita drama percintaan dimulai.

Sejak empat tahun yang lalu, dia merasakan hal yang sama, gejolak dalam batin, pikiran dan hatinya yang teduh selama itu. Perangainya yang saklak, nyatanya bisa tertembus juga dengan senjata tak berwujud fisik itu. Pertahanan keras dalam hatinya jebol oleh seorang akhwat
 yang justru adalah teman seangkatannya sendiri. 

"Mengapa dia? Padahal kenalanku itu kan banyak. Bahkan sampai sekarang rasa itu tidak berubah dari dia," ia meracau lagi.

"Ahh..Cinta.."

Tawa pun meledak keras. Dia pun ikut tertawa. Kita tertawa bersama dengan wajah yang memerah -antara malu, sungkan dan murni ingin menertawakan diri sendiri.

"Terus apa yang harus ku lakukan? Apakah aku harus menanyakan dulu ke dia atau langsung ke keluarganya?" pertanyaan galau tapi serius terucap.

Satu demi satu  wejangan kita berikan. Sebenarnya itu salah alamat juga, karena mungkin yang dia alami juga kita alami. Dan kita juga berkorelasi sama dengan benang merah: kita sama-sama belum menikah, jadi sangat awam untuk memberi nasehat tentang bab walimah. Juga teramat riskan. Belum tentu solutif, atau malah justru menjerumuskan.

Nasi, bebek panggang, sambel, lalapan, es, tulang bebek, sampai tusuk gigi sudah habis semua. Perbincangaan masih tetap stagnan pada hal yang sama. Saya hanya mringas-mringis, ini saya salah bergabung. Topiknya terlampau tinggi. Tiga orang ini sudah lulus, sudah bekerja. Sementara saya adalah satu-satunya yang menjabat Pengacara (pengangguran banyak acara).

"Okelah...Siapapun yang pertama nyebar undangan, jangan lupa hubungi kita. Pasti ada yang bisa kita bantu," ucap kita serempak. Kompak.

Angin bersorak ria. Menerbitkan selimut turbulensi udara, memeluk jalanan. Bersama dengan siulan debu yang kian menari riang kesana-kemari. Awan pun bersenda riuh, beratapkan birunya langit yang masih kokoh menguasai jagad bumi. Jembatan Suramadu terlihat menyembul kecil, dibalik belokan jalan yang kian menanjak. Seperti seonggok lidi diantara kemegahan ciptaan-Nya.

Inilah sebuah cerita, dari ratapan ria anak manusia yang merindukan perubahan diri. Menapakai kedewasaan menghadapi hidup. Meresapi makna persahabatan seperti bersaudara. Insya Allah kelak, mereka akan menggandeng istrinya masing-masing, tapi semoga kisah persaudaraan ini kekal abadi, seperti awan yang memeluk langit, yang menerbitkan hujan untuk menumbuhkan kehidupan di bumi. 

7 Oktober 2011,
Bangkalan, Madura

No comments:

Post a Comment