4 Oct 2011

Kuliah, untuk Apa?



Untuk apa anda kuliah? Pertanyaan polos dari lulusan sekolah menengah di tengah aksi boyongan ke dunia kampus. Beragam jawaban terlontar dengan menjunjung keinginan masing-masing. Namun toh, ujungnya hampir bisa disimpulkan menjadi satu kata: kerja atau mencari uang. Itu saja, tidak lebih.

Tapi, apakah memang hanya itu tujuan dari  menuntut ilmu di level pendidikan yang hanya dinikmati 4,8 juta orang dari Sabang sampai Merauke ini?  Lalu, ada pertanyaan skeptis seperti ini: kalau hanya untuk mencari uang, mengapa subsidi miliaran rupiah itu tidak digelontorkan saja dengan mekanisme wirausaha  atau pembukaan lapangan pekerjaan saja?

Nyatanya juga, mayoritas benar saja. Semua lulusan perguruan tinggi dari yang apatis sampai aktivis, juga berujung hal sama: mencari uang. Juga yang idealis, kura-kura (kuliah rapat), kupu-kupu (kuliah pulang), orator demonstrasi, sampai seorang boikoter, semua berujung hal sama. Lihatlah, seorang presiden BEM, figur yang paling gampang dikenal dengan jargon dan wibawa kerakyataannya, ketika ia lulus juga bakal mencari uang, mencari pekerjaan.

Memang, bertambahnya usia selaras dengan semakin suburnya ego dalam diri. Bayangkan, jika saat kuliah, mahasiswa bisa berkoar-koar bebas dengan mengutarakan segala bentuk pembelaan terhadap rakyat, memberikan rapor merah kinerja pemerintah dengan aksi demonstrasinya, mengendurkan ambisi pribadi demi kepentingan publik, dan segala idealisme yang dijunjung tinggi di atas egonya.

Tapi pasca kuliah –dengan dunia yang serba baru dan tidak seideal kampus, apakah suara-suara lantang itu masih tetap bergema? Dengan tanggung jawab kemandirian finansial yang belum mereka perjuangkan sebelumnya, atau justru malah tanggung jawab keluarga jika sudah berkeluarga, akan kah dengungan idealisme itu masih bergaung?

Seorang pernah bertanya, adakah pekerjaan yang bisa mencukupi ekonomi keluarga, mengembangkan keterampilan lain, dan bisa memainkan peran di masyarakat?

Dosen kah? Bisa jadi. Ia bisa bekerja, mendidik, mengabdi dan mengambil peran perubahan dalam masyarakat. Lengkap. Kecakapannya di dalam atau pun luar lingkup pendidikan adalah barometer kualitas dari produk pendidikan tinggi. Sebuah pekerjaan yang mulia dan mendulang banyak manfaat dunia-akhirat bukan?

Tapi cobalah sedikit merenung dan realistis. Tidakkah terkadang ada pula dosen yang bukanlah seorang guru. Ia mengajar dan mendidik, namun hanya seperti melepaskan tanggung jawab pekerjaan. Kenyataannya, bahwa terkadang ada pula dosen yang harus melakukan semua bentuk aktifitas mendidik itu karena dia harus melakukan, karena itu adalah pekerjaannya.

Lihat juga, berapa banyak dosen yang mengajar dengan metode sak karepe udhele dewe, mendidik seperti berhadapan bawahan, tidak mempan dengan kritik dan merasa “paling” di antara semua mahasiswa yang “kurang”. Ah, jika begini apakah dosen masih pantas untuk dipanggil dengan frase tidak digugu lan ditiru (guru,pen)? Atau memang dosen itu bukan guru?

Jika seperti jamak proses berjalan, lulusan perguruan tinggi teknik adalah supplier utama dunia industri. Umum dikatakan bahwa kampus adalah kawah pencetak para kuli, tidak lebih. Taruhlah siapa pun yang memberikan ruang lebih untuk mencengkeram empat frase kramat ini: iron stock, agent of change,  social control terlebih moral force, apakah jimat-jimat itu akan semakin menguat? Atau justru bermetamorfosa menjadi katalisator dunia kapitalisme pasca kampus?

Kalau memang berkuliah hanya untuk mendulang rupiah, justru ada satu jawaban lugas dari seorang teman yang plegmatis sekali. “Kalau untuk kerja, ngapain juga harus dengan kuliah? Mending biaya kuliah empat tahun dikumpulin untuk modal kerja. Hasilnya lebih realistis, toh lulus empat tahun di ITS juga bukan jaminan?”

Ada juga jawaban sejenis. “Ngapain kerja harus nunggu lulus kuliah?”. Lebih berbobot argumennya dari jawaban sebelumnya. Baginya, mengemis uang ke ortu di usia mahasiswa adalah aib. Nah lho?

Mungkin renungan yang terpahat di Westminister Abbey Inggris, tempat pemakaman Isaac Newton bisa menjadi pelajaran.

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifan ku, kudapati dunia tidak kunjung berubah, maka cita-citaku pun kupersempit. Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku, namun nampaknya hasrat itupun tak ada hasilnya.

Ketika usiaku semakin senja dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, tetapi celakanya merek tak mau diubah. Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba ku sadar, andaikan yang ku ubah adalah diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku, lalu berkat aspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi akupun dapat memperbaiki negeriku, kemudian siapa tahu aku bisa mengubah dunia.”

Sekiranya, dengan menjadikan hal ini mandiri dan luar biasa, baik dari sisi emosi, finansial, sosial atau pun bidang lainnya adalah jalan setapak untuk mengubah dunia. Juga dari tapak pertama sebagai mahasiswa. Lulus dan mencari nafkah finansial adalah langkah awal diantara banyak jalan lainnya untuk membuah sebuah perubahan.

Lalu, untuk apa anda kuliah?

No comments:

Post a Comment