18 Apr 2010

Kisah Zahid


KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup

dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu

dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa. Di

serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat.

Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar

melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya

menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang

memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya

meskipun ia masih muda.

Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling

mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya

ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada

ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban,

pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.



Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai

pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya

mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun

jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit

terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan

kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,

fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.

qad aflaha man zakkaaha.

wa qad khaaba man dassaaha

…”

(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan

ketaqwaan,sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya…)

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang

mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia

termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia

ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang.

Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai

istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlapkerlip

bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya

yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak

terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis

jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu

tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang

menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu

terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,

in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si

musyriqun bi dhau’

wal hubb al wariq

…”

(jika aku pencinta malam maka

gelasku memancarkan cahaya

dan cinta yang mekar…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga.

Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar

syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,

“Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah

baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan

tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah

untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita

banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu

kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah

Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan

tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah.

Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh

darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara

gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik

temannya.

“Be…benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan

kesempatan ini,Yasir!”

“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari.

Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya.

Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang.

Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra

penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,

“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari

dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengkinglengking.

Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***

Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid

menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia

berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia

sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat

saudaranya yang sakit.

Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah

bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus

melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba

dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu

semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan

sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda.

Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya.

Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan

matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah

seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara

kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya.

Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri

tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat

tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik

dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting

jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan

menyapanya,

Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya

yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab

pelan,

Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali.

Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan

Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah.

Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia

membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan,

dari mana dan mau ke mana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih

bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa

dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis

jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu

pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara

gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan

pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan

kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang

sakit.”

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya

cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil

membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana?

Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja

Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis

yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi

situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku.

Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan

datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan

sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau

muda.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan

memberi jalan!”

Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil

menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua

kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah

kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir

mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya

basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian

tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid

bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh

menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orangorang

tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid

semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan

mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tibatiba

air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan

kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia

berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga

terasa sejuk di dalam

hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang

bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada

seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi,

izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan

yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia

akan datang kemari.”

Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata

teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***

Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang

menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan

hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu

dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan

gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar

sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas

dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia

telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah

dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu siasia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa

yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun

Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan

seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah

berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku

cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetesnetes

dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis

takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-

Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta,

dan segala keindahan semesta.

Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta

terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia

meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya

pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada

Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan

mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak

munajatnya ia pingsan.

Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat

tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama

dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca

dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia.

Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia

berdoa,

“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba

dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa

cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk

menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-

Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota.

Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk

melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua

Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah

terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab

untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia

mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya.

Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah

menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam

sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban

yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah

dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan

aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan

baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan

kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara

Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya.

Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan

ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada

Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya.

Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan.

Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di

rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih,

tahlil, istigfhar dan … Afirah.

Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota

Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta

Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat

pendek,

Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta

itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau

selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari,

aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan

kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.

Zahid,

Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa

haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa

memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan

jalan dan waktunya.

Wassalam

Afirah

===========================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa

dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid.

Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban

Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati

berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah

tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Iamenarik nafas panjang

dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia

menulis untuk Afirah :

Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah

semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku

menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai

Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba

yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa

dan murka-Nya.

Afirah,

Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati

kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah

dari neraka. Afirah,

“Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya

aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az

Zumar : 13 )

Afirah,

Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada

yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah

meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan

firmannya :

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik,

dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik

(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik

dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).

Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh

mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik

maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah

yang menentukan.

Afirah,

Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara

dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,

Zahid

===========================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan

karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat

berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang

pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia

berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk

akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat

dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan

dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan

bermunajat pada Tuhannya. Diatas sajadah putih ia menemukan cinta

yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal

yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar

larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.

Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid

menerima sepucuk surat dari Afirah :

Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-

Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku

dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang

melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah

Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,

Afirah

===========================================

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga

cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan

hamdalah.h

No comments:

Post a Comment