18 Apr 2010

Jangan (sok) Sibuk Loe!



Inilah kisah perjalanan panjang dari sekumpulan anak manusia. Bak pemeran utama dalam sebuah drama kolosal. Ya, kami berenam pastinya sudah memenuhi standar aktor drama kehidupan nyata. Tapi inilah indahnya Ukhuwah Islamiah, sarat makna dengan nuansa khas anak muda. Kalau mau dibaca, silahkan. Inilah tulisanku.

Adalah Mirza Ghulam Indralaksana, Dody Vicktorio Fanta, Yudistira Sanjiwani, Dany Ferdiansyah, Trio Jeffi dan Nur Huda yang sengaja menyusuri jalan tak berujung dengan satu tujuan sama. Mereka, berurutan sesuai dengan namanya adalah Ketua, Sekretaris I, sekretaris II, Kepala Departemen (Kadept) PSDM, Kadep Syiar dan Boikoter Lembaga Dakwah Jurusan Teknik Mesin ITS, Ash Shaff. Dan mereka semua, kecuali yang terakhir saya sebutkan, dalam kekuatan intelegensia serta akademik merupakan kalagan menengah ke atas, bahkan ada beberapa yang termasuk konglomerat IP. Lha semester kemarin saja, nama kelima yang saya sebutkan bahkan terancam ber-IP = 4 !


Dan sekali lagi saya sebutkan, inilah indahnya persaudaraan dalam Islam. Di mata kita, kita adalah sama, dengan segala plus minusnya.Mungkin lebih tepatnya, kita harus mau menerima minusnya, walapun harus dipaksa atau terpaksa. Termasuk dalam perjalan menuju kota Brem ini Dalam rangka memperingati hari pengajiuan Proposal Kerja Praktek, kami melakukan seremoni bolos bersama. Yah, inilah skala prioritas kami, kalian boleh setuju atau tidak.

Kalian tahu Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Nganjuk? Baru kemudian Kabupaten Madiun. Nah, kami berenam ini sebelumnya belum pernah melakukan perjalanan panjang nan lama ini. Dan entah naluri dari mana yang menuntun kami untuk memutar Gas kuda besi kita hingga tidak bisa diputar lagi alias sampai batas maksimumnya. Wow, luar biasa! Andai kita tidak memakai helm dan penutup muka, entah ekspresi wajah kami salama di jalan.

Sebenarnya ada banyak hal luar biasa yang kita alami, namun demi privasi kami masing-masing dan agar tidak terkesan cuhat, saya singkat ceritanya. Akhirnya kita sampai tempat tujuan setelah menempuh perjalanan selama lima jam, termasuk sholat dan makan satu jam. Dan inilah sebenarnya yang mau saya sampaikan.

Saya sendiri tidak tahu berapa jarak ITS sampai Kota Madiun, namun dengan kalkulasi kasar, saya bisa memperkirakan. Mungkin 250-300 km. Dan jarak itu kalau kita bandingkan peta tidak lebih dari sepersepuluh panjang pulau Jawa. Mungkin terlalu pembandingnya agak njomplang. Namun ini juga yang ingin saya ceritakan.

Saat kita menunaikan Sholat Jum’at di salah satu masjid di Jombang, saya melihat tulisan di dalam masjid yang isinya informasi tentang pendirian masjid ini. Di situ tertulis angka 1893! Itu artinya masjid yang nampak kecil dari jalan utama ini telah berumur 100 tahun lebih. Mundur ke belakang, kota Jombang mempunyai julukan khas yaitu Kota beriman. Yang tidak lain mungkin di kabupaten tersebut menjamur Pondok Pesantren dan tentunyanya dengan kyai dan santrinya. Mundur lagi kota sebelumnya, kota Mojokerto merupakan bekas pusat pemerintahan kerajaan Majapahit, Kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Untuk membayangkan besarnya kerajaan ini saya sediakan fakta bahwa opsi dasar penetapan wilayah Indonesia pada zaman Pak Sukarno adalah bekas kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Bahkan itu pun pada kenyataannya masih harus di”diskon” lumayan banyak Bagaimana tidak, di luar wilayah negara kita saat ini, wilayah kerajaan Majapahit telah meliputi semenanjung Malaysia, Filipina dan beberapa kepulauan di sekitar Taiwan serta Laut Cina Selatan. Sungguh sejarah yang luar biasa!

Jika perjalan di lanjutkan, saya temukan banyak sekali bangunan zaman Belanda mulai dari rel kereta api, pabrik gula, permukiman penduduk maupun banguanan pemerintahan. Dan jika dari Kota Madiun kita teruskan lagi, kira-kira dua jam kita bisa sampai di Solo atau Jogjakarta. Dua kota dengan nuansa kerajaan yang masih sangat kental. Sekali lagi saya ingatkan, itu masih belum separuh pulau Jawa.

Sebenarnya semenjak dari Masjid yang sangat tua tadi, hanya satu yang ada di pikiran saya : bagaimana umat muslim dulu berdakwah di pulau ini? Pulau Jawa yang walaupun tidak masuk dalam 10 pulau terbesar di dunia, tetaplah pulau yang sangat besar bagi saya. Ya, memang tidak lebih besar dari Madagaskar, Greenland atau pun pulau kalimantan dan Sumatra yang juga ada di Indonesia.

Apalagi menurut catatan sejarah yang masih diakui sampai sekarang, Indonesia, lebih khususnya pulau Jawa telah dikuasai oleh kerajaan Hindu atau Budha layaknya Sriwijawa serta Majapahit. Itu belum kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa seperti Kutai dll. Yang otomatis seluruh penduduk pribumi di negara kita kala itu juga beragama salah satu di antara kedua itu. Dan tak luput pula, raja, pengeran, permaisuri, selir dan seluruh pejabat pemerintah juga demikian. Bagimana para Dai dahulu bisa mendakwahkan Islam tanpa keluar darah sama sekali?

Kalian pastinya tahu Wali Songo kan? Yah, persebaran agama Islam di pulau Jawa menurut sejarah juga tidak terlepas dari kesembilan Wali ini. Saya yang asli Tuban juga sudah akrab sekali dengan nama Sunan Bonang, salah satu dari Sembilan Wali tersebut. Bahkan menurut sejarah sejarah, penyebaran Islam kali pertama pasti dilakukan di wilayah pesisir pantai, termasuk pelabuhan Tuban kala itu. Lima tahun hidup di Surabaya, saya juga lumayan faham dengan masyarakat Ampel, Surabaya Utara. Tentunya hal itu tak lepas dari adanya Sunan Ampel zaman dahulu. Sunan Drajat di Lamongan, Sunan Maulana Malik Ibrahim di Gresik dll.

Berdasarkan fakta yang ada, ternyata penyebaran Islam di Jawa memilki pola yang seragam dan sangat rapi. Kita tilik, aja dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, titik-titik penyebaran agama Islam tersebar merata. Saya sendiri membayangkan bagaimana Wali Songo kala itu membagi amanah? Bagaimana mereka berkoordinasi? Bayangan perjalanan kami dari Surabaya-Madiun pulang pergi saja sudah membuat tulang belakangku seperti remuk semua. Lha ini se-pulau Jawa! Misalkan Sunan Ampel mau memberikan informasi ini ke Sunan Muria di Jawa barat, berapa hari satu informasi bisa sampai dan dibalas. Dan itu dilakukan oleh semua Wali Songo tersebut.Medannya pun belum tentu mereka hafal, maklum belum ada peta apalagi GPS. Belum lagi serangan binatang buas atau para pemberontak kerajaan yang biasanya suka mengkompas semua orang yang lewat Bagaimana mereka melakukan hal ini selama bertahun-tahun hingga umat Islam menjadi umat mayoritas di negeri ini?

Saya sendiri juga tidak tahu detail bagaimana bisa Sunan Bonang menyampaikan nilai-nilai keislaman di kota saya. Bagaimana tidak bingung, sampai sekarang aja di kota ini setiap tahun dengan legal senantiasa berproduksi ribuan liter minuman keras dan tentunya dengan jumlah peminum yang tak kalah fantastis. Apalagi kala itu sebelum banyak yang bertobat? Atau Sunan Muria yang untuk bisa berbaur dengan warga saja harus menuruni lereng curam ratusan meter. Dan harus kembali menaiki setelah urusan selesai. Orang normal saja untuk sekali naik pasti sudah mengeluh dengan sumpah serapah dan beragam ”kata bijak”. Namun ini berkali-kali dilakukan setiap hari oleh Sunan Muria hingga bertahun-tahun. Bagaimana mereka bisa istiqomah di jalan berduri ini? Meninggalkan negara asalnya, menyebarkan Islam dengan ikhlas hingga akhir ajalnya mendidikan masyarakat dari nol hingga membangun peradaban baru. Kesemuanya tidak bisa diperoleh dalam waktu beberapa hari, mingu, bulan atau tahun. Beradad-abad lamanya mereka bahu membahu istqomah menumbuhkan nilai-nilai Islam tanpa darah. Hingga menjadi salah satu faktor, semenjak lahir kita telah memilki keluarga muslim.

Saya kemudian membandingkan dengan diri saya sendiri. Dengan sekelumit kontribusi dawah yang bisa saya berikan, saya sudah merasa sangat sibuk sekali. Beberapa bulan terakhir, saya menjadi orang sok sibuk sedunia versi saya pribadi. Ya, sok sibuk. Padahal sebenarnya tidak sama sekali. Mungkin lebih tepatnya tidak bisa mengatur waktu sendiri. Payah sekali. Dan semoga stigma tersebut bisa hilang walaupun terkadang muncul lagi. Seperti saat kebingungan saya untuk membuat jadwal Syuro’ (rapat,red.), seolah-olah saya merasa tidak memiliki waktu luang untuk mengurusi hal ini. Dan hal ini terjadi di setiap amanah baik dalam skala jurusan, kampus atau eksternal kampus. Benar-benar payah.

Kalau pun kita mau membandingkan kontribusi kita dalam mewarnai dakwah ini, kumpulan dari kita mungkin tidak lebih dari sebuah titik di pojok kanvas dakwah. Yang tidak terlihat, namun selalu bangga dengan goresan titik itu. Terlalu bangga dengan kontribusi diri tanpa tahu seberapa besar dampak yang diakibat pada objek. Sok peting intinya.

Saya teringat kisah Umar Bin Abdul Aziz ketika beliau diangkat menjadi khalifah. Pasca sertijab dan menemui seluruh kepala negara dan beberapa utusan khusus, tubuhnya mengalami keletihan yang sangat. Diputuskanlah untuk istirahat sebentar. Baru mau istirahat sang putranya yang masih berumur 10 tahun mengingatkan bahwa di depan pintu gerbang ada ratusan rakyatnya yang membutuhkan perhatiannya saat ini. Dan sang Khalifah yang sangat terkenal kearifannya sepanjang sejarah kekhalifahan Islam ini pun beranjak dari tempatnya untuk melayani rakyatnya, menunaikan amanahnya. Walaupun dirinya juga mengalami kelelahan. Tidak menjadi merasa (sok) sibuk walaupun gelar Khalifah itu jauh lebih besar dari pada pemimpin negara.

Bagaimana dengan kalian? Jangan membenadingkan dengan perjuangan dakwah Rasulullah dan generasi terdahulu, jauuuuhhh banget boi. Jangan (sok) sibuk loe!

Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajkan, menyuruh (berbuat) yang makuf dan mencegah yang mungkar. Dan merekalah orag-orang yang beruntung (QS Ali Imron : 104)


No comments:

Post a Comment