18 Apr 2010

Suci Ingin Mengaji, Mak





Based on the true story

Sia-sia pula dari sejam yang lalu aku mengemis waktu pada Emak. Bukannya mengiayakan saja malah tidak menggubris perkataanku sama sekali. Sibuk mengurusi cuciannya tanpa memperhatikan ekspresiku yang sudah teramat kaku untuk memelas lagi.
“Ayolah Mak, sekali ini saja. Boleh ya?,” pintaku
“Emak lagi repot ini, sana pergi bersama kakakmu,” jawab Emak singkat.
“Suci tadi barusan ada Ujian di Sekolah, capek Mak. Boleh ya, sehari ini saja.”
“Memang kakakmu juga tidak sekolah kayak kamu? Ayo segera susul kakakmu, sudah siang ini. Nanti kesorean lho.”
“Mak, sehari iniiii saja”
Emak langsung bangkit dari tempat duduknya dengan muka berkerut dan sorot mata yang khas. Inilah pertanda khas Emak ku kalau sudah jengkel sekali, jika tidak menyingkir siap-siap saja ada tangan meluncur dipahaku. Ditambah ceramah khas dari Emak. Buru-buru aku lari, menghindari gunung berapi mau meletus. Ungkapan asli dariku untuk Emak jika kedua tanduknya sudah mulai keluar.
Permintaanku hanya satu, tidak lebih dan hanya ku minta untuk hari ini saja. Terkadang aku hanya ingin bermalas-malasan sembari bermain bersama teman-temanku. Bukan perpanas-panasan di pinggir jalan sambil membawa kayu kecil bertahta tutup botol minuman yang telah dipipihkan. Menjalani aktifitas rutin setiap pulang sekolah sebagai musisi jalanan.
Setiap hari sepulang sekolah di SD Kapas Krampung 03, aku bersama kakakku harus berkelana di jalanan sekitar rumahku untuk mengais rejeki. Sebenarnya tanggung jawab ini tidak terlalu berat bagi ku. Walaupun harus seharian berada di jalanan Surabaya yang terkenal dengan panasnya. Toh, Abah dan Emak hanya menyuruhku mencari uang tiga ribu sehari, tidak seperti kakak ku yang sampai lima ribu per hari.
“Tapi hari ini aku ingin bermain…” hatiku meminta
“Melarikan diri dengan bermain bersama teman-teman terus di rumah dimarahi Emak atau tetap di sini menyimpan keinginan bermain untuk hari esok,” pikiranku berontak.
Untuk sesaat tubuhku terdiam. Ku tengadahkan kepalaku. Langit tampak cerah, sebiru mobil yang ada di depanku. Sepoi angin khas jalanan Surabaya berhamburan dengan asap kendaraan. Semakin sempurna dengan bau selokan yang memang sengaja tidak pernah dibersihkan. Ah, sandal buntutku semakin lucu saja di kaki. Mirip mulut buaya yang sedang kelaparan.
“Besok saja lah…”
Ku ayunkan kaki cepat-cepat menuju jalan pertigaan Jalan Ambengan bersama Cak No, penjual beragam jenis Koran dan majalah di seberang trotoar.

Dan mungkin bila nanti
Kita kan berjumpa lagi
Satu pinta……..

Suara bass itu pun berbaur dengan gemericik tubrukan tutup botol.

******

“Dibilang tidak boleh yang tidak boleh!,” bentak emak sembari mengangkat kursi mininya ke arahku.
“Tapi Mak…”
“Sudah bilang berapa kali? Sekali tidak boleh ya tidak boleh,” Emak semakin menggeram.
Melihat kursi yang tinggal diayunkan ke arahku, ku pakasakan tubuhku untuk berlari saja. Walaupun keinginanku sampai saat ini tidak surut sedikit pun. Aku ingin bermain.
Sengatan matahari Kota Surabaya semakin panas. Melelehkan sedikit demi sedikit semangatku yang masih tersisa. Menyisakan panasnya aspal jalanan yang semakin melepuhkan sandal buntutku. Atau semilir angin tak beraturan dengan hobinya menyapu debu-debu jalanan hingga menyebabkan orang enggan melintas dengan tanpa penutup kepala. Dan siang ini pun semakin terlihat keruh saja.
Ku rebahkan tubuhku di bawah pohon. Sejenak untuk meredam kekesalanku. Mengikis rasa kesalku pada Emak. Walaupun aku sendiri tidak mengerti bagaimana cara menghilangkan rasa jengkel ku ini. Dan satu hal lagi, aku juga tidak mengerti dengan alasan kenapa  Emak tega dan sering menolak permintaanku walaupun itu sangat sederhana. Ah, entahlah kenapa.
Matahari semakin condong menuju tempat istirahatnya. Hari pun semakin sore dengan semakin berkurangnya hawa panas musim kemarau panjang ini. Setidaknya sekarang tidak sepanas tadi siang.
“Hari ini kan hari jumat,” pekik ku dalam hati serasa ada yang menyetrum.
Tanpa banyak pertimbangan, langsung ku dorong semangatku untuk segera menuju rumah. Dengan tubuhku yang ringkih, memang tidak terlalu sulit lari menyusuri lorong-lorong gang yang sempit. Pun karena aku memang pernah jadi spinter Sekolah.
Langsung ku menuju kamar ku yang mini. Mungkin lebih tepatnya kamar bersama karena ini kamar adik dan kakak ku juga.
“Mana hasil hari ini?,” tiba-tiba suara Emak menggelegar masuk ruangan ini.
Waduh, pikiranku berputar-putar tidak karuan. Sepulang lari dari rumah tadi, aku hanya tidur-tiduran di bawah pohon saja. Tidak ada aktifitas lain yang ku kerjakan lagi. Itu artinya hari ini aku tidak mendapatkan uang tiga ribu, bahkan sepeser pun tidak ada. Otak ku semakin bingung mencari alasan.
“Brakk!,” suara pintuku terbuka dengan kasar.
“Mana uangnya? Mau Emak pakai buat tambahan beli beras,” pinta Emak tepat di depan ku. Aku semakin merinding. Tidak bersuara.
“Mak..”
“Ayo cepat. Setelah ini Emak mau menyetrika sebelum memasak untuk nanti malam”
“Suci nggak dapat uang,” suaraku lirih.
“Kamu pakai untuk beli jajan lagi?,” Jawaban reflek khas dari Emak.
“Nggak”
“Lalu kamu pakai apa? Kamu mau nanti malam kita tidak makan semua?”
Aku semakin mengggigil ketakutan. Membayangkan apa yang kan terjadi setelah ini. Kiamat bagi diriku.
“Jawab? Kenapa diam?,” bentak Emak sembil menjewer telingaku.
“Suci tadi nggak ngamen Mak, tadi Suci tidak dapat uang sama sekali”
Air mata pun tak terelakkan. Menerobos bola mata ku.
“Pasti kamu bermain terus seharian ini,” Emak ku semakin ganas hingga tangannya pun mendarat di paha kecilku. Tak lekas di situ saja, cubitan pun semakin merajam tubuhku.
Tidak mempedulikan tangisan ku atau pun air mataku yang membasahi tangannya, Emak langsung menyeretku ke depan pintu rumah.
“Keluar sana, jangan kembali sebelum dapat uang,” titahnya.
Diriku semakin berontak untuk masuk ke kamarku. Hari jumat ini seharusnya aku mengaji bersama kakak-kakak di sebelah masjid Muhajirin. Aku mencoba menerobos pertahan tubuh Emak untuk mengambil pakaian ngaji dan buku kecilku.
“Heh, mau kemana? Cepat keluar!,” Tidak sampai pintu kamar, tubuhku sudah diseret keluar lagi ke luar rumah.
“Mak, hari ini Suci mau mengaji,” rintihku dengan mata sembab karena kehabisan air mata.
“Mengaji sana kalau sudah dapat uang,” bentak Emak meluruhkan semangatku seketika.
“Mak…”
Brakkk!!
Pintu rumahku tertutup sudah. Dengan tubuh mini ku mustahil aku bisa menjebol pintu ini. Mata ku semaki perih, namun hati ku lebih perih lagi. Hari ini Emak tampak seperti makhluk dengan tanduk di kepalanya. Aku semakin membencinya dengan semua alasan yang aku punya.
Sesenggukan diriku menyusuri jalanan gang sempit ini. Mencoba menyeka air mata namun yang ada hanyalah rasa pedih hati ku yang semakin menganga. Tepat disamping trotoar, ku tumpahkan kekesalanku. Menangis sejadi-jadinya di dekat pohon tadi siang.
“Suci ingin mengaji…”

Note  :
Pasca lulus SMA, aku sudah tidak tahu kabarnya Suci. Entah dimana dia sekarang. Bahkan di tempat yang dulu dia sering mangkal, tidak ku temukan. Pun begitu dengan teman-temannya. Ya Allah, semoga lindungan-Mu senantiasa menyertai mereka semua.

No comments:

Post a Comment