18 Apr 2010

Sebuah Catatan Ringan

Hari ini, tidak tahu sudah berapa hari diriku mulai menjadi musafir, lebih tepatnya pengembara hidup. Hal ini tak lepas dari melunturnya kebiasaanku untuk membuat evaluasi harian dengan menulis (habisnya hampir tiap hari pulang larut malam), jadi bawaannya lupa melulu. Kalau tidak keliru sudah hampir tiga pekan, diriku menyatakan walk out (WO) dari mahasiswa rumahan menjadi mahasiswa kos-an (istilah yang sangat dipaksakan) dengan berbagai penyebab yang rasional. Selama itu pula, banyak hal yang telah membentuk guratan tidak berkontur, dari awut-awutan tambah abstrak tidak jelas. Yang pasti ada banyak makna yang terulas, dan satu persatu mozaik hidupku mulai membentuk jati diri yang sebenarnya.


Ini adalah sebuah catatan ringan dari orang yang sering dibilang sama teman-temannya sebagai crazy boy, orang gila, gendheng, etc. Walaupun aku tidak berharap begitu, but it’s me. Dalam metamorfosa menuju yang lebih baik, aku pikir inilah jalan terbaik oleh-Nya.

Mulai packing barang-barang dan mempersiapkan lobi, nyari tempat kos, kendaraan, sampai pada urusan dengan keluarga besar tepat kulaksanakan di tengah-tengah keadaan dimana seharusnya mahasiswa harus konsentrasi belajar, ya tepat ditengah-tengah UTS berlangsung. Aku tidak mungkin menceritakan detailnya, terlalu rumit dan beribet. Yang paling aku ingat adalah saat mau ujian Matematika Rekayasa 2, aku hanya sempat belajar tak lebih dari 3 jam plus buat notenya juga (contoh yang buruk jadi jangan ditiru). Tidak mengagetkan sekali saat hasil Matrek di bagikan, glek! Tidak usah dibahas atau ditanyakan, biarkan berlalu.
Tahukah hal yang menyita energi paling besar? Bukan persiapanku, bukan barang-barangku, bukan pula urusanku. Namun keluarga dan mbakku, sungguh ibarat aku makan sepiring, mungkin separo lebih energinya tersita untuk hal ini. Dan hasilnya? Tubuhku seakan mayat hidup, pikiranku pun terkadang seperti koma walaupun keyakinanku begitu kuat namun aku tidak bisa melawan kondisi fisik.Ah, tidak perlu aku membahas hal ini biarkan menjadi souvenir hidup untuk masa depan yang lebih baik.

Nah, ini yang menarik, hari pertama tidur di tempat kos. Wow, sungguh luar biasa! Diriku seperti setan dauber-uber sama kyai, panaaaasssss sekali. Tidak membawa kipas angin pula, praktis aku tidak bisa tidur. Sungguh, begitu jet lagnya tubuhku, sampai-sampai aku baru bisa beradaptasi empat hari kemudian.
Pilihan telah ku tentukan, konsekuensi pun harus harus segera dilaksanakan. Walaupun terkadang serasa tidak adil dan sering harus mengabaikan orang lain, bahkan aku lebih suka mengistilahkan sebagai sebuah bentuk keegoisan yang nyata. Apa boleh buat, mungkin itulah jalan terbaik untuk semuanya. I’m sorry, afwan. (bagi yang tidak faham, harap maklum).

Kekhawatiranku selama ini pun berbuah kenyataan. Tiga hari pasca mbakku menempati kosnya, dia hilang tanpa kabar yang jelas. Kedua nomorya tidak bisa dihubungi, ibu kosnya pun tidak tahu. Selama enam hari, aku harus terbirit-birit mencari kabarnya, mulai dari hubungi alumni kampusnya, teman lamanya, teman baru, kantor perusahaannya, boyfriendnya, semuanya kita kunjungi dan nihil. Solusi terakhir, kita mau melaporkan ke polisi. Eh di saat harapan hampir hangus, tenaga pun mulai terkapar akibat panasnya matahari Surabaya, dan keputusasaan menggelayuti pikiran kita, kabar baik pun datang. Tanpa kita duga, mbakku pulang ke kosnya dengan segala kabar dan informasi yang cukup melegakan. Syukurlah. Tak jarang, cobaan ini membuat keluarga kami berderai air mata, bahkan pikiran-pikiran negative pun kerap muncul di benak kami. Saking begitu kalutnya, keluarga di Surabaya dan di Tuban pun sama-sama seperti bebek kehilangan paruhnya, bingung kesana kemari. Bayangkan saja, seorang anak manusia berjenis kelamin perempuan tidak ada kabarnya selama 6 hari ! Sungguh pelajaran berharga untuk kami untuk bisa memaknai arti sebuah keterbukaan.

Sehari berselang, informasi yang tak kalah pahit pun datang kembali. Kali ini Fu’ad, teman sebangku abadi selama SMA, bapaknya meninggal dunia. Dan tahukah hal yang paling ironis? EURO, nama kelas kita baru mengetahui hari rabu sedangkan meninggalnya Bapaknya Fu’ad adalah hari sabtu, telat berapa hari? Dan karena yang kali pertama tahu kabarnya aku, maka pagi jam tujuh, ku kabari semua EURO’er yang telah menyebar kemana-mana. Hari itu pula kita langsung bertolak kelas Glagah, Lamongan. Alhamdulillah,ada mobil teman calon dokter yang bisa ngangkut kami. Dengan dua mobil dan satu sepeda, sampailah ke tempat tujuan.

Tangis pun meledak, aku hanya bisa berdiam diri sambil berkata seadanya. Aku baru tahu bahwa, adiknya Fu’ad itu baru berumur 3,5 tahun ! Sedangkan dia sendiri sebaya dengan kita, dia kuliah di Farmasi Unair semester empat. Katanya ibunya, sebenarnya selain si kecil tadi, Fu’ad pernah mempunyai adik berumur 4 tahun, namun telah meninggal. Kita hanya bisa mendengar dan menghibur mereka. Satu pelajaran berharga yang bisa kuambil, ternyata temanku lebih tegar dari diriku yang penggila Bridge ini, dia mengalami hal ini di tengah-tengah UTS pula dan dia masih bisa tersenyum untuk temannya.

Aku nyampe rumah kira kira hampir jam sembilan, ku charger HP yang sedari tadi drop, beberapa sms masuk. Isinya? Ada teman yang barusan kecelakaan. Duh, kenapa kabar buruknya bisa maraton? Setelah ku tanyai kabarnya, temanku yang kuliah di D3 Teknik Kimia ini hanya bilang nggak parah, cuman kemeng tok(tidak tahu bahasa Indonesianya kemeng). Alhamdulillah deh.

Bak orang menahan muntah berhari-hari, pasca semua kejadian itu aku pun harus melakukan semua agenda hidup yang terbengkalai. Mulai dari mengerjakan laporan, tugas, PR, belajar, liputan, dkk. Kalau di dunia nyata, ada orang yang bisa menahan muntah berhari-hari, pasti bakal punyenk tuh kepalanya. Tak jauh berbeda dengan aku, segudang aktifitas yang wajib ku jalani, ada beberapa yang tersangkut dan akhirnya merobek luka yang belum mengering(metafora yang terlalu dipaksakan). Bagian ini juga tidak usah diceritakan, biar menjadi pembelajaran diriku.

Tidak sampai sepekan berselang, pagi-pagi hari senin kemarin. T-bone, nama keren EURO’er yang bernama asli Gales Sanowari, memberi kabar duka bahwa, suaminya bu Endang wali kelas kita pas kelas 3 meninggal dunia dan pada hari itu juga segera dimakamkan. Innalillahi wannailaihi roji’un, hari itu pun kami berangkat, walaupun agak telat. Di sana, dengan mata sembab, bu Endang beriterima kasih kepada kami atas kedatangan dan dukungan moralnya. Kalimat yang aku ingat “semua orang pasti akan seperti itu (meninggal red.) hanya jalam menuju ke itu yang berbeda-beda”. Yah, kita semua juga pasti akan kembali kepada-Nya, hanya kita tidak tahu kapan pastinya.

Saat beliau berjalan dengan cucunya yang keduanya perempuan secara naluriah guru Biologi, beliau sempat bercanda dengan mengatakan “Cucu saya semuanya cewek sedangkan anak saya semuanya laki-laki, memang bawaan dari sana, bawaan DNA,” ungkapnya sambil tersenyum. Dalam keadaan duka seperti ini, beliau masih bisa mengibur kita, pikirku. Tak lupa, ungkapan do’a ari beliau untuk kita. Tahu do’anya yang pertama? Bukan semoga kuliahnya lancar atau semoga karir kita sukses tapi semoga jodoh kita lancar, kami hanya bisa cengar cengir sambil mengamini, =) . Semoga beliau dan keluarganya diberi kesabaran dan ketabahan dari-Nya.

Tidak semua yang kutuliskan ini menyedihkan, ada yang unik pula. Begini ceitanya, pasang teliga dan hati lebar-lebar. Setiqp hari sabtu, aku, beberapa EURO’er dan beberapa anak ITS mengagendakan Liqo’, semacam Birama di Smala atau mentoring kalau bahasa kampus. Yah, bisa dibilang sebagai ngaji mingguan lah. Pasca liqo’, si dimas yang barusan ulang tahun metraktir kita-kita. Pilihan pun jatuh di Caffee Corner, mengingat sudah jam sepuluh lewat. Kami berempat (aku, dimas, mafich, dan papi) datang bak alien datang ke bumi. Pake sandal jepit, atribut kampus dan jurusan pun tak luput dibawa dan pastinya dengan perut kosong bersuara bak konser musik keroncong level Internasional, terutama mafich yang memang belum makan entah sejak kapan.

Dentuman alunan musik, kepulan asap Sisha (rokok khas Timur Tengah, red. ), penyanyi yang menurutku suaranya cemprang, obrolan-obrolan nggak jelas turut mewarnai kepolosan kami. Di tengah hangar bingar kaum hedonis, tak jarang diriku hanya bisa geleng-geleng kepala karena tidak faham betul dengan pola piir mereka yang menuruku sangat irrasional. Yang paling mencolok adalah ternyata hampir semua pengunjung di sini, beraliran fesbukiyah, yang ini tidak jauh beda dengan kami, he3x. Begitu lamanya kami menunggu makanan datang, obrolan-obrolan nggak jelas pun enjadi iburan utama kita, sambil melamun nggak jelas pula. Sajian pun datang, yah khirnya bisa makan juga pikirku. Selesai makan, aku semat mnyeletuk begini “Kalau sepekan saja aku makan di sini, bisa-bisa aku harus puasa satu bulan”, tahu sendiri maknanya. Begitulah ketika kalau anak ITS harus dikomparasikan dengan kehidupan hedon anak kota, ataupun dengan anak Unair. Aku tidak bisa memberikan alasan yang tepat kenapa ini aku bilang unik, bisa dinilai sendiri keunikannya.

No comments:

Post a Comment