18 Apr 2010

Bersyukurlah dan Dunia akan Tersenyum Padamu

Cerita ini saya alami di tengah hiruk pikuk amanah yang bejibun. Mengekang dan menekan hingga sampai ubun-ubun bahkan alam mimpi. Dan kejadian ini dengan sengaja menyentak naluri saya. Naluri seorang manusia yang terkungkung oleh kehausan nikmat duniawi. Sungguh, tanpa bermaksud menggurui, semoga apa yang saya ceritakan ini bisa menjadi sebuah hal yang bermanfaat bagi kawan-kawan. Silahkan disimak.

Dalam liburan panjang pergantian tahun ajaran baru kemarin, saya dengan beberapa teman berkesempatan magang selama satu bulan di salah satu surat kabar di Surabaya. Di sini, kami tidak ubahnya disulap menjadi wartawan professional. Walaupun dalam strata wartawan kampus, kami bisa dibilang masih amatiran. Tiap hari kami berempat pun merasakan sensasi menjadi the trully journalize yang bertolak belakang dengan dunia engineering yang kami geluti.

Hari itu masih pagi, ada instruksi liputan dari redaktur pelaksana tentang sebuah forum mingguan yang dilaksanakan oleh Dewan Kota Surabaya. Akhirnya saya pun meluncur ke tempat sasaran. Dari informasi yang saya dapatkan, tidak terlalu banyak hal special yang ada di acara ini. Begitu langkah kaki pertama saya masuk, seperti hipotesa saya terbukti. Memang tidak ada yang special. Sama seperti acara di belahan kota di Indonesia, pasti molor dan pembicaraannya sering membuat mata terbuai alias ngantuk.

Namun tiba-tiba saya merasakan hal yang berbeda. Ketika saya sudah duduk diantara kerumunan peserta dan pembicara. Astaghfirullah, betapa tamaknya diriku selama ini. Dalam forum tersebut dihadiri sekitar 50-an peserta dari berbagai latar belakang dengan enam pembicara. Kira-kira sepertiga dari total peserta tersebut adalah tuna netra alias buta!

Saya sendiri pernah melihat orang buta sebelumnya, namun di sini ada belasan orang buta diseliling saya. Sontak hati saya seperti tersayat oleh perasaan bersalah dari dalam diri. Berada diantara mereka, saya juga bisa merasakan beratnya hidup mereka. Yang datang diantar keluarganya masih harus tertatih-tatih meniti jalan menuju tempat duduk. Yang datang sendirian harus berjuang dengan tongkatnya untuk sekedar memastikan jalan di depannya bisa dilalui. Yang sudah duduk, ketika minum air putih pun sampai harus berkucuran tidak hanya dimulutnya. Pun begitu saat mereka makan, sungguh tidak bisa saya tuliskan.

Banyaknya kalangan yang diundang dalam forum tersebut, memang disengajakan untuk membahas nasib kaum penyandang cacat. Ada guru, aktifis LSM sosial, pejabat pemkot, anggota DPR, dosen, profesor dan lain-lain. Dalam pembahasannya, layanan umum yang tersedia dalam kota Surabaya, hanya segelintir tempat yang menyediakan tempat khusus penyandang cacat. Walaupun penyandang cacat adalah golongan minoritas, golongan ini adalah yang paling rentan mengalami depresi dan stress akut. Bisa dibayangkan, setiap harinya mereka hanya berkutat dalam rumah saja. Masih beruntung yang mempunyai keluarga yang faham dengan kebutuhannya, bagi yang keluarganya antipasti? Hal ini akan mereka alami sampai berbulan-bulan, tahunan bahkan bisa seumur hidup mereka. Itu pun jika masih ada keluarga mereka yang peduli. Jika tidak, entah bakal seperti apa nasib mereka. Hanya bisa menatap gelap tanpa tahu bagaimana bedanya dunia sebenarnya dengan warna putih.

Itu adalah potret. Sedikit dari beban hidup orang yang ada disekitar kita dan lebih banyak tidak kita pedulikan. Potret itu tidak lebih baik dari hal terburuk yang pernah kita alami. Atau pun dengan apa yang anda frustasikan. Dan sungguh mereka yang hadir kala itu lebih banyak menerima keadaan sembari mencoba menutupi dengan kelebihannya. Sering senyuman kecilnya seperti meluapkan kegembiraan sejenak untuk masih bisa tetap bersyukur atas karunia-Nya. Walaupun masih banyak orang seperti mereka yang frustasi dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Sekarang cobalah lihatlah 180 derajat dari depan pandangan kita yaitu pada diri kita sendiri. Tanpa mempedulikan bagaimana latar belakangan yang menuntun anda hingga saat ini. Atau pun dengan semua kekurangan yang anda miliki. Pastinya anda pernah atau mungkin sering mengeluh dengan penatnya musibah serta cobaan bertubi-tubi yang sering membuat kita frustasi? Bahkan sampai enggan menjalani hidup ini.

Saya sendiri juga pernah merasakan beratnya masalah yang harus saya hadapi sendiri selama puluhan tahun tanpa ada sandaran atau pun orang yang mau mengerti dengan apa yang saya alami. Saking frustasinya, bahkan saya pernah berstigma bahwa Tuhan tidak adil membagi cobaan bagi hamba-Nya. Walaupun secara sadar, saya sendiri juga faham bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dan ayat itu tinggallah teori untuk keadaan saya waktu itu. Semua terasa pekat, hanya ada saya dan Dia di dunia ini. Orang lain, mana peduli dengan beban hidup ku, pikirku.

Dengan segunung kekurangan yang telah dikaruniakan-Nya seolah semakin melengkapi masalah menjadi lebih berat. Karena alam bawah sadar serta lingkungan saya mejustifikasi diriku untuk senantiasa berfikir tentang kelemahan diri dan rasa ketidakbergunaan diri sendiri. Semua terjadi selama puluhan tahun seperti awan gelap yang membutakan padangan hidup saya. Hitam, suram nan kelam.

Hingga secercah cahaya itu menyeruak sedikit membukakan mata hati saya. Ketidakberuntungan saya menyentak nurani hingga membelalakkan mata saya. Di sini, dunia seakan baru terbit, memancarkan semangat pagi ke seluruh urat nadi saya. Memberikan aura penyesalan yang sangat dalam. Bahwa ternyata selama ini kesalahan fatal yang saya lakukan adalah, tidak pandai bersyukur!

Bahwa diriku masih lebih beruntung dari pada orang-orang yang ada disekitarku ini. Setidaknya, bukankah aku memiliki indera yang lengkap? Seandainya diriku diciptakan seperti mereka, apakah aku bisa lebih tegar daripada mereka? Pernah ku baca sebuah biofrafi remaja asal Jepang yang buta sejak lahir yang bercita-cita mengabdi di Yayasan Panti Jompo. Walaupun dia sendiri memiliki kekurangan, namun dia tidak menyesali keadaannya. Bahkan dari pengalaman susahnya menjadi orang buta, menginspirasi dia untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Bersyukurlah dan dunia akan tersenyum padamu, mungkin ini yang bisa saya katakan.


Tidak ada satu pun manusia mau dilahirkan dengan segunung kekurangan. Tidak akan ada satu pun makhluk-Nya yang diciptakan dengan sempurnah, Nothing perfect person. Semua memilki kekurangan dan kelebihan yang saling beradu. Tinggal bagaimana kita bisa melebihkan kekurangan kita agar bisa menjadi potensi yang positif. Yang semuanya akan bergantung sepenuhnya oleh kehendak kita. Bukan orang tua, lingkungan, latar belakang anda atau pun orang lain yang memaksa anda. Tidak!

Beratnya beban hidup serta cobaan yang anda hadapi bukanlah penghalang untuk menjadi lebih daripada orang lain. Justru bersyukurlah, dengan semakin besarnya cobaan yang anda alami itu berarti Allah membuka peluang lebih lebar kepada anda untuk menjadi pribadi yang hebat. Toh, seberat apapun hal itu, Dia sudah menakar dengan perhitungan rinci bahwa hal itu sesuai dengan kemampuan anda. Jika ternyata memang sangat berat sekali berarti Allah siap menyiapkan label “”Orang besar” kepada anda. So, jangan pernah memohon kepada-Nya untuk diringankan beban hidup ini namun mohonlah agar semakin dikuatkan punggung anda untuk memikulnya.

Adalah hak kita untuk menjadi luar biasa!

By Nur Huda



No comments:

Post a Comment