18 Apr 2010

Ied itu Biru, Kawan




Semua barang-barang sudah dipersiapkan sejak tadi malam telah siap untuk dibawa. Pun demikian dengan segala keperluan untuk menyongsong belajar di kampung halaman. Buku, diktat, text book dan catatan kuliah menjadi menu wajib yang harus dibawa sebagai konsekuensi dari libur singkat Lebaran tahun ini.

Hari terakhir puasa. Kebahagian yang telah lama dinanti. Bukan karena hari ini adalah hari terakhir kita menahan lapar, haus dan nafsu namun lebih dikarenakan sebentar lagi akan bertemu orang-orang tercinta.

“Uda siap Nung?” tanya Mbak ku.                                

“Siip, ayo berangkat,” ulasku singkat.

Tahun ini seperti biasa kita bakalan mudik dengan menggunakan sepeda motor berdua. Walaupun Om dan Tanteku bakal mudik menggunakan mobil namun kami tetap memilih menggunakan sepeda. Alasan utama adalah setiap tahun mereka pasti baru mudik malam Ied alias saat gema suara takbir bersautan. Terlalu lama bagi kita, maklum sudah tekena sindrom kangen keluarga para musafir Ilmu stadium 16.

Setelah berpamitan singkat, kami pun siap meluncur menuju kampung halaman. Secara geografis, Surabaya-Tuban memang tidak terlalu jauh. Dari Surabaya Barat, Tandes ke Tuban sekitar 110 km lebih. Kalau diriku masih ditambah dari ITS-Tandes (Ujung timur-utara menuju ujung barat-selatan). Tidak perlu dihitung.

Tepat setelah Ashar sepeda kami pun melaju beriringan.

“Wow…Panasnya Surabaya tetap memukau,” pikirku dalam hati.

Walaupun perjalanan kami akan menempuh jarah jauh sekali namun kami tetap santai nan rileks. Mencoba menikmati perjalanan.

Keluar dari kota Surabaya, keadaan tidak terlalu berubah. Beriringan dan salip menyalip dengan aneka jenis kendaraan Industri. Memasuki Kabupaten Gresik, keadaan sedikit berubah dengan banyaknya jalan “goyang”. Jika kawan masuk daerah sini dijamin tidak akan mengantuk! Sentuhan goyangannya akan membuat mata dan pikiranmu ingin mengamuk.

Sampai pula di kota Tahu Campur, Lamongan. Jalan yang diperbaiki sebelum puasa kini sudah berfungsi dengan baik. Halus nian pula. Di ujung barat sana, mendung pekat menghiasi langit bak raja kegelapan mau menginvasi bumi.

“Wadoh, bakal hujan,”

Inilah anehnya iklim dunia saat ini. Pikiranku yang sudah terkamuflase panasnya Surabaya menghasilkan silogisme bahwa dalam waktu dekat Surabaya dan sekitarnya mungkin tidak hujan. Namun apa yang ada di depan mataku meneguhkan pendirianku bahwa aku juga manusia biasa bukan pakar cuaca.

“Jas hujan?”

Pikiranku menjadi kacau di tengah jalan. Beberapa bulan terkahir, jas hujan adalah barang paling layak dimuseumkan. Pikiranku semakin kacau ketika melihat barang bawaanku. Semua bukan barang kedap air. Belum lagi ada beberapa barang yang ku bawa adalah barang titipan untuk saudara.

Ku gunakan jurus yang pernah diajarkan temanku jika diberhadapan dengan keadaan kalut/down/tidak enak yakni agar mengafirmasi pikiran positif ke alam bawah sadar dan yakinlah bahwa semua yang akan terjadi adalah hal yang baik. Yakinlah!

“Bismillah,’ ku bulatkan tekad.

Dan ternyata.

Memasuki area gulungan awan hitam pekat, suasana sore hari itu pun berubah layaknya waktunya berbuka. Hingga lampu sepedapun harus kunyalakan. Semakin jauh, dunia kegelapan semakin menyeruak dalam perjalanan ini. Sungguh mencekam.

Hingga tak terasa ada bau khas yang ku hirup di tengah jalan. Bau air hujan. Walaupun langit tetap terlihat gelap namun ada hawa menyejukkan yang tiba-tiba menyeruak masuk dalam hatiku. Daerah sini terlihat basah akibat guyuran hujan entah beberapa jam yang lalu. Dingin. Sejuk.

Napak tilas hujan yang kita lalui cukup panjang. Hampir satu jam perjalan. Diriku bersyukur sekali karena hujan tidak mengguyur kami dan hawa sejuk ini membuat tubuh menjadi segar karena puasa kali ini memang diriku tidak sempat sahur.

Akhirnya setelah hampir sejam, siluet sinar matahari pun menyembul ke permukaan bumi. Indah. Seperti pagi hari di musim penghujan. Perbatasan mendung hitam perlahan-lahan membentuk garis lurus bertabrakan dengan warna orange sinar matahari. Seakan mempersilahkan matahari untuk menatap bumi. Balutan paradoksal yang sangat Indah sekali. Sementara itu, semilir angin sejuk membalut tubuhku dengan kesejukannya. Bau basah sawah di kanan kiri ku membawa nuansa khas desaku. Percikan kecil air hujan membuat suasana semakin  sempurna. Dan diriku pun melaju dengan seperempat kecepatan suara bak Superman terbang.

Tak terasa kami telah selesai melewati jalan utama kabupaten Lamongan. Memasuki daerah Tuban, kami harus melewati daerah pedesaan di sana agar lebih cepat. Hari sudah beranjak gelap. Bukan karena mendung lagi tapi karena memang sudah menjelang malam

Ternyata gulungan mendung hitam tadi menyapu daerah ini juga dengan air hujannya. Jalannya memang lebih sempit, tidak rata dan ada beberapa yang masih berbatu. Ada tambahan pemandangan indah di sini, Pegunungan kapur Utara menyembul diantara awan kabut tipis yang menyelimutinya. Bentuknya mengular dengan warnanya biru kecoklatan.

Suara Adzan maghrib terdengar nyaring. Tepat saat kita berada di tengah jalan disekeliling hamparan sawah, sawah dan sawah. Masih terdengar jelas saat muadzin melafalkan “Asyhadualla illaha illallah” dan kejadian berjalan slow motion.

Ku lihat dengan sangat jelas sepeda di depan mbakku mulai tidak stabil. Sepeda mbakku juga mulai beradaptasi dengan keadaan di depannya, ikut-ikutan oleng. Tidak sampai sedetik kemudian, dua sepeda di depanku ambruk. Satu ke kanan jalan, yang dibelakang oleng ke kiri jalan.

Semua terlihat jelas sekali bak orang nonton film action, dramatis. Tubuhku sendiri melaju sekitar 60km/jam dan hanya sekitar tiga meter di belakang mbakku seakan berjalan malambat. Entah siapa yang menuntun pikiranku saat itu. Dunia di sekitarku seolah terhenti saat itu juga menyaksikan diriku saat itu.

Sejenak bayangan kedua orang tuaku muncul di depan pandanganku. Senyum ku semasa kecil diantara dekap kasih saying mereka. Adikku sedang menunggu kedatanganku di beranda rumah dengan senyum khasnya. Kakek dan nenekku tersenyum melihat kehadiranku. Ku nikmati pula nuansa khas Lebaran di desaku, jelas sekali.Hingga memori Idul Fitri masa kecilku pun ikut menari dalam pikiranku. Semuanya silih berganti hadir dalam pikiranku. Dan saat itu pula ku mengerti arti keberadaan mereka. Aku merasa seperti seorang kurcaci di dunia ini. Di sinilah ku pahami begitu kecilnya manusia di hadapan-Nya. Dengan sisa energi dan harapan yang ada, ku pasrahkan semua keadaan pada-Nya. Tidak sampai setengah detik kubanting setir ke kanan.

Brrrrakkkkkk

************

Suara takbir berkumandang membahana di seluruh pelosok negeri jagad raya. Khidmad. Nuansa yang sangat ku rindukan selalu. Idul Fitri tahun ini masih bisa kurasakan. Semua terasa seperti sebuah keajaiban bagiku. Hingga tubuhku bisa menatap semua yang ada di hadapanku saat ini.

Adzan Shubuh menyeruak mengajak seluruh penduduk bumi untuk menunaikan Sholat. Mentari pun mulai menghangatkan Bumi dengan cahayanya. Dan aroma Idul fitri pun semakin jelas terurai menjadi suasana sakral nan indah.

Teruntuk diriku, Ied itu biru, Kawan.


“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahman)




No comments:

Post a Comment