18 Apr 2010

Ramadhan = Renovasi “Villa"





Aku menuliskan hal ini semata mata karena ingin memberitahukan semangat juang orang-orang disekitar kita yang sering diabaikan dan jarang mendapatkan perhatian. Ingin mengajak kawan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabikhul khoirot. Yang terakhir, sebagai sebuah obsesi komplusif diri sendiri untuk membudayakan harus membaca dan menulis! Walaupun masing terseok-seok dan awut-awutan.

Kita mengetahui planet Jupiter adalah planet terbesar dari tata surya pasti bukan karena kita pernah “jalan-jalan” ke sana, namun karena ada seorang penemu yang mempublikasikannya. Pun begitu dengan apa yang ku lakukan dengan tulisan ini. Aku ingin menunjukkan bahwa ada hal besar yang jarang diketahui oleh orang lain. Ibaratnya aku memberitahukan sebuah tambang emas di pekarangan rumah atau aku berhasil menemukan buron teroris di tengah jalan. Unik. Menakjubkan. Absurd.


Bukan bermaksud ghibah terhadap teman-teman sendiri, tapi beginilah ceritanya.

Layaknya alien yang baru datang ke bumi, jam empat sore kamis kemarin (10/9) kita bertiga kebingungan dengan adanya tanda tanya seukuran 16x4 meter menggelayut dalam otak kita. “Nih anak tahu jam nggak ya!,” gerutu ku dalam lisan dan pikiran. Ditelpon nggak diangkat, disms nggak dibales. Padahal sejak tadi kita sudah diobrak-obrak untuk segera berangkat oleh orang yang berada puluhan kilometer dari kita. Arrgahhh

Nah, akhirnya datang juga. Sesosok manusia dengan tampang sok cool dan memasang muka tanpa dosa, kayak anak kecil (aslinya amit-amit). Padahal kita bertiga sedari tadi sudah bingung kayak bebek kehilangan paruhnya. Bukan saatnya berdebat , bukan saatnya mengumbar kesalahan. Tanpa banyak cing cong, bim salabim…

Diriku berduet dengan Ghoni langsung meluncur ke kampus B Unair karena ada orang yang telah menunggu berjam-jam yang lalu. Entahlah, apakah tubuh mereka sudah diolesi dengan lotion anti jamur dan anti lumut. Karena kecenderungan tubuh manusia jika dibiarkan tanpa aktiftas layaknya orang menunggu, dipastikan segerombolan spora akan tumbuh subur dalam tubuh mereka. Diantara dua pilihan, jamuren atau lumuten. Gejala paling akut, tubuh mereka bakal memfosil!

Untungnya sesampai di Kampus sosialnya Unair (kecuali Farmasi), si empunya tidak mengalami gejala-gejala diatas. Memang tampang orang sabar kali atau karena efek puasa? Entahlah. Tapi ku ucapkan terima kasih telah bersedia menunggu. Ayo berangkat ke tempat paling prestisius se-Surabaya.

Dolly, we are coming ! (GJ mode : actived)

Sementara Mafich dan Bahrowi yang bertugas mencari megaphone dan perlengkapan game entah sudah sampai mana. Tidak perlu dikhawatirkan, toh yang menjadi tukang setirnya masih aktif di Gang Motor Cirebon.

Mengunakan slow motion speed, jalanan di Surabaya bisa kita rasakan sekali. Panas. Semrawut. Dan tentunya : MACET. Maklum juga, jam segini memang jam pulang kerja.

Sampai juga di depan plang jalan bertuliskan : Jl. Girilaya. Salah satu akses utama menuju kawasan D (disingkat lebih efektif penulisannya dan lebih enak dibaca), jalan ini selalu menjadi kawasan rutin Patroli Polisi. Apalagi pada jam-jam segini. Macetnya luar biasa. Sepeda motor saja harus merayap, kalau mobil paling cuma bisa menyemut atau membakteri.

Kanan kiri, kulihat saja. Banyak makanan berjejer. Menandakan buka puasa akan segera tiba. “Jangan sampai kita sampai di sana, pas buka!,”. Apa kata dunia?

Akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Namun matahari sudah terlalu condong ke barat. Ternyata memang sudah jam lima sore,  telat banger. Kita sendiri sudah tahu bahwa acara dipersiapkan sebelum ashar. Namun ternyata…

Bak bule masuk kampung, Si Mafich langsung jadi artis dadakan. Dia diserbu sama puluhan adik-adik bak fans berebut tanda tangan idolanya. Sementara kita tampak seperti angin lalu atau seperti pohon di samping kita. Tampak namun seakan-akan tidak tampak alias dicampakkan. Tapi akhirnya ada juga memahami keberadaan kita.

Mereka tertawa. Tersenyum. Ceria. Aku bahagia melihat mereka seperti ini. Didampingi teman-teman dari FLP Surabaya dan mbak mas dari sebuah organisasi mahasiswa, taman baca itu tampak lebih ramai dari pada saat kita rutin datang di sini perpekan. Secara pribadi, aku berharap ini tidak hanya terjadi pada hari ini saja. Harapan kita semua.

Kita harus melangkah ke tempat lain karena di sini sudah overload SDM. Menuju gang di sebelahnya. Ada yang aneh di kawasan ini selama Ramadhan. Aneh yang lebih baik dari pada hari-hari normal. Tambah sepi, tidak ada dentuman suara yang mengelegar. Pun dengan suara bising lainnya. Yang paling terlihat adalah aktivitas “bisnis” di situ libur selama selama Ramadhan. Andaikan hal ini diberlakukan selamanya.

Yeah, keterlambatan kita akhirnya berbuntut layaknya efek domino. Di tempat ini pun acaranya sudah selesai, pas semua anak dibubarkan. Praktis kami hanya bisa berfoto-foto ria saja. Menurut informasi yang kami peroleh tercatat ada 55 anak yang diundang di sini sementara itu yang di taman baca tercatat ada 30 anak.

Tiba-tiba saja aku teringat saat tengah malam kemarin saat kita kumpul untuk mempersiapkan acara pada hari ini. Pada dasarnya kami memang bukan orang yang sering berkutat dengan anak-anak kecil. Mata kuliah yang kami pelajari pun tidak satu pun yang membahas tentang hubungan interpersonal dengan anak kecil. Otak kanan kami sudah beku oleh ribuan rumus, theorema, aksioma, praktikum, membuat laporan dan bala tentaranya. Praktis ide yang muncul pun tidak ada satupun yang ngeh.

Hingga kami putuskan membeli balon saja. Walaupun kami sendiri belum tahu balon itu nantinya akan dibuat seperti apa. Malah ada yang menyeletuk “Lomba meniup balon”. Gila, sekalian aja kita jualan balon. Ternyata tidak sia-sia kita telat pada hari itu. Seumpama tidak telat, entah apa yang kita lakukan di depan adik-adiknya. Hufh…

Dari pada useless tidak bisa memberikan apapun di sini selain senyuman, kami pun ngobrol semua hal tentang TPA (Tman Baca Al Qur’an,red.) ini. Ada dua orang wanita paro baya dan dua orang pria yang setia menjawab pertanyaan kami. Sengaja tidak saya sebutkan namanya serta tulisan tidak saya buat dialogis namun ulasan dari yang saya tangkap.

Kawasan D ini secara administratif terdapat pembagian wilayah yang disebut Blok A, B dan C. Setiap blok mempunyai ciri khusus, misalkan untuk blok C juga disebut daerah kampung karena kawasannya mirip kampung. Pun demikian dengan sejarahnya, tingkat popularitas masing-masing blok juga bervariatif. Kita menggunakan kata “parah” untuk wilayah yang “laris”. Dahulu pernah Blok A yang paling parah namun saat ini prestasi itu berada di Blok B.

Yang unik adalah saat ini, masa Bulan Ramadhan. Memang selama bulan suci ini ada larangan beroperasinya wisma dan segala aktifitas bisnisnya. Memang secara kasat mata, mereka vakum. Namun jika dirunut adat istiadat di situ, selama Ramadhan adalah saatnya berbenah diri mempersiapkan bulan selanjutnya. Hingga tak jarang disepanjang jalan yang kami lewati banyak sekali wisma yang sedang renovasi. Jadi Ramadhan=bulan Renovasi. Diluar Ramadhan=beraksi. Sungguh kultur yang unik sekali.

Sebagian besar warga di sini bukanlah warga asli D. Malah lebih banyak warga musiman daripada pribuminya. Wilayah Otonomi khusus di Surabaya ini seperti menghadirkan paradoksal bagi warganya. Karena ternyata yang menghidupkan bisnis di sini sebagian besar adalah warga pendatang. Yang aku ketahui di setiap bangunan juga mempunyai tanda khusus yang membedakan antara wisma dengan rumah tangga.

Di hari-hari biasa tempat ini bagi diriku masih seperti planet lain. Ada aura lain yang menyeruak seperti bau gudang kemenyan yang kebakaran. Tak heran karakteristik warga di situ juga berbeda dengan orang Surabaya lainnya. Pun begitu dengan anak kecil di situ, yang ada di depan kita.

Dalam pekatnya daerah lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini, masih ada sekelumit pelita yang sengaja dinyalakan oleh segelintir orang. Dan orang hebat itu ada di depan saya. Aku menjuluki mereka sebagai wonderwonan. Dua wanita paro baya ini telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk membina generasi muda di sini. Tidak memandang latar belakang siapapun anak itu. Mau dari anak orang biasa, mucikari, penjaja ataupun anak dengan status yang belum jelas. Setiap hari dua wonderwoman itu setia mengajari mereka dengan ilmu-ilmu agama.

Aku membayangkan betapa repotnya dua wanita ini. Biasanya kita berempat mengurusi sepuluh anak saja dua pekan sekali, waktu pulang energi kita tinggal 5 joule semua. Lha  2 orang ini ngurusi 60an orang tiap hari! Subhanallah.

Diakui bahwa mental psikologis mereka berbeda dengan anak-anak lain yang pernah kita temui. Walaupun diriku hidup 5 tahun lebih di daerah kampung di Surabaya yang notabene juga mempunyai kultur psikologi namun ketika berada di sini, semuanya akan berawal dari nol.

Di sela-sela aktifitasnya tersebut. Ibu ini setiap minggu juga mengadakan pengajian kecil untuk ibu-ibu yang mengantarkan anaknya untuk mengaji. Padahal dua wanita perkasa ini juga ibu rumah tangga yang juga harus mengurusi keluarganya. Sungguh sabar nian wanita ini.

Kunci mereka untuk bisa tetap itiqomah adalah satu : SABAR!

Seperti akan mengukir patung menggunakan batu cadas. Butuh ketekunan dan kesabaran ekstra karena jika lengah sedikit saja bukan patung indah yang didapat namun luka pada diri sendiri karena pahat yang salah sasaran. Sekilas memang seperti menggarami air laut, namun mental mereka tidaklah serapuh itu……..


next edition : hingar bingar konflik di D’s area

No comments:

Post a Comment