Layaknya sebuah cerita, sosok
orang hebat pun penulisa tafsirkan dengan kacamata sendiri. Jadi ini sebuah
penilaian yang sangat subjektif sekali. Berdasarkan pengalaman dan pertimbangan
penulis sendiri, dengan ditambahi bumbu-bumbu
melankolis dalam tutut bahasa yang ada dalam pikiran penulis
Dalam usia seperlima abad ini,
penulis sering sekali bertemu dengan orang-orang hebat dengan berbagai versi.
Gampang saja menyebut mereka sebagai seorang yang hebat. Asalkan mereka telah
melakukan sebuah pencapaian di bandingkan teman sebayanya atau mereka bisa
mencatat sejarah emas dalam kehidupannya. Mereka adalah orang hebat.
Lihatlah di sekitar kita. Orang
hebat itu telah mencatatkan sejarah dalam lembaran kehidupannya, mereka tidak
sudi hidup biasa-biasa saja. Harus ada torehan catatan emas dalam tapak bekas
perjalanan hidupnya.
Dulu waktu masih sekolah, penulis
pernah menemukan sosok ini. Dia pemuda yang bisa mengubah konsep pengkaderan sekolahnya setelah berjalan turun temurun
selama puluhan tahun. Dia cerdas, ambisius, low profile, dan taat agama. Di
kampus, penulis mengenal Mahasiswa Berprestasi, Presiden BEM, Ketua Himpunan,
Pemenang Lomba, mahasiswa Coumlouder, ataupun mahasiswa Oraganisatoris sejati.
Di luar kehidupan mahasiswa, ada
guru besar yang super jenius, dosen lulusan top ten university in the world,
peneliti yang telah melalang buana ke luar negeri, para traveler sejati,
journalis tulen yang idealis, para pejabat negeri ini hingga para professor
dari luar negeri. Semuanya orang-orang yang tidak biasa, mereka orang hebat.
Di lingkungan komunitas, penulis
juga kagum dengan beberapa keluarga yang harmonis dan demokratis. Keluarga
mempunyai kebiasaan mengaji bersama, satu keluarga yang saling menghargai keterbukaan
satu sama lain, atau pun ada sebuah keluarga yang saling memahami posisi satu
sama lain. Hingga dari mereka lahirlah anak didik yang hebat pula.Mereka semua orang hebat.
Namun ada satu kesimpulan unik
dari semua orang itu. TIDAK ADA
SATU ORANG PUN YANG LAHIR DARI KEADAAN DAN LINGKUNGAN YANG TIDAK BAIK. Penulis
tidak mengatakan bahwa lingkungan yang baik itu sebuah keluarga yang kaya,
tercukupi atau pun miskin sekali. Bukan tentang strata sosial mereka. Bukan
pula tentang tingkap intelejensinya.
Tidak ada satu pun dari semua
orang hebat yang pernah ku temui bisa menjadi seperti itu karena jalan hidupnya
dipilih oleh mereka sendiri. Banyak dari mereka yang secara finansial
berkecukupan, malah banyak yang berlebih. Dibesarkan dari keluarga yang tahu
bagaimana seharusnya membentuk karakter anak. Atau minimal, di sekitar mereka
ada orang memberi arahan tentang jalan hidupnya. Ada pelita yang telah dinyalakan oleh orang
lain untuk dirinya, siapapun itu.
Seketika penulis teringat dengan
adik-adik yang berada di Gang Dolly, the most famous place in Surabaya (lihat note sebelumnya). Jangankan
untuk memikirkan torehan tinta emas, untuk mendiskripsikan apa potensinya saja
mereka masih kesusahan. Pola pikirannya sudah dicetak oleh lingkungannya yang
sedemikian miris. Karaoke, pakaian minim, rokok, bir, mabuk, human trafficking
hingga kekerasan telah menjadi bagian hidup mereka. Begitu pekat pengaruh
lingkungannya, mungkin mereka hanya bisa mengintip dunia yang sesungguhnya.
Pernah juga penulis menyaksikan
sendiri komunitas orang buta tiga hari yang lalu. Apa mereka yang tidak pernah
melihat cahaya itu bakal memiliki peluang yang sama dengan orang normal biasa?
Lebih dari itu, bagaimana dengan anak-anak yang terlahir autis?
Penulis juga mempunyai teman yang
sejak SMA telah menjadi tulang punggung keluarganya. Dia yang memenuhi
kebutuhan keluarganya, pun dengan biaya sekolahnya. Hingga saat ini, biaya
kuliahnya juga dia tanggung sendiri. Orangnya tegar sekali, kuat. Dengan beban
yang sangat berat itu, temperamen psikologinya pun berbeda dengan orang biasa.
Sungguh, guratan beban hidupnya pun ikut keluar dalam setiap kata yang
terlontar. Seringkali akademiknya terbengkalai, hingga dijauhi oleh teman-temannya
karena sifatnya yang aneh. Dia berjalan sendiri di jalan hidupnya untuk
menerangi keluarganya, tidak ada yang menuntunnya.
Penulis mencoba mengkomparasikan
dengan kehidupan junior penulis di Smala, Ya, minimal mereka telah memilki
jalan hidup yang telah ditata orang tuanya. Hingga idealisme mereka tumbuh
seiring dengan tempaan dari orang tuanya. Seperti keluarga dokter yang
menginginkan anaknya menjadi dokter. Berbeda sekali.
Bagaimana mereka bisa menjadi orang
hebat seperti yang telah disebutkan penulis di awal? Secara bekal mereka telah
kalah banyak. Awalan start mereka juga kalah jauh sekali. Mereka berjalan
diatas kakinya sendiri dengan membawa penerang seadanya. Sesekali mereka pasti
akan menginjak duri ataupun terjatuh. Akselerasi mereka juga terhambat oleh
sesaknya lingkungan mereka.
Sungguh paradoksal hidup yang
menyesakkan hati. Seperti potongan mozaik yang tidak kunjung selesai. Realita
hidup akan semakin menyesatkan kalau tidak ditemukan kombinasi yang tepat. Dan
dia akan menjadi sangat indah jika kita memahami detail makna hidup yang telah
di susun rapi oleh-Nya.
Hal ini juga yang membawa
pemikiran penulis bahwa penulis belum menemukan orang hebat yang sesungguhnya. Bukan
orang hebat yang di samping kananya, di kirinya, di bawahnya atau di atasnya
ada sesuatu yang telah menjadikannya lebih dari orang lain. Orang hebat itu
setidaknya adalah orang yang bisa survive di atas kakinya sendiri. Penerang
jalan untuk sesamanya. Wallahu’alam bishawab.
“Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman)
No comments:
Post a Comment